8. Mencari Celah

112 11 0
                                    

"Bagaimana menyakinkan dirimu,
lebih dari sekedar berkata?"
—Revan A. Wijangga

🍃

Selepas kepergian Revan sore itu, perasaan dan pikiran Selina tidak pernah tenang. Dia mempertanyakan banyak hal dan kemungkinan. Pertanyaan apa, kenapa, mengapa, dan bagaimana ia ingin sekali rasanya lontarkan pada pria teman masa kecilnya. Namun sayang sepertinya ia bisu, lalu terlalu terkejut dengan kecepatan waktu yang terjadi.

Selina mencoba menata bagian dari bagian memori bersama dengan Revan, mencoba mencari celah dimana letak Revan menunjukan ketertarikan padanya. Nihil, ia tak dapat sedikitpun bisa mencari. Apa dulu ia terlalu tidak peduli pada Revan, hingga kebaikannya hanya ia anggap sebagai bentuk persahabatan.

Sederhananya, mengapa ia tak berusaha menghubungi Revan sejak minggu sore itu. Malah ia memilih untuk mencari dan bertanya-tanya sendiri dalam otaknya. Jawabannya tentu Selina tak siap bila harus menerima kenyataan yang lebih mengejutkan lagi.

"Bengong mulu" Natalie menghampirinya dengan semangkok mie yamin ditangan kiri dan segelas es jeruk ditangan kanan. Meletakannya tepat di depan Selina yang sedari tadi mendiamkan sepiring batagor yang telah sempurna diaduk dengan bumbu kacang.

Natalie melanjutkan "diem mulu dari kemaren, kaya gada semangat idup lu" bersama satu suapan mie dengan ayam potong diatasnya.

"Dih sibocah, sariawan lu mbak" perempuan seperempat batak itu jadi kesal sendiri.

"Nat.." Selina akhirnya mau bersuara.

Dijawab hanya dengan gumanan oleh Natalie "Hmmmm.."

"Nat.."

"Apa sih nyet? Jangan bikin emosi hari pertama nih"

"Revan mengalamar gue, hari minggu kemarin. Papa mama setuju." Selina berkata lirih dengan tanpa ekpresi melihat sahabat didepannya ini.

Sedang Natalie diam terpaku menatap Selina, dia juga sama terkejutnya. Natalie menelah sisa kunyahannya, kemudian menegak es jeruk hingga tandas setengahnya. Ia menatap tak percaya, "lu gak lagi bercandaa kan?" kalimat pertamanya adalah sebuah pertanyaan.

Hembusan kasar dari mulut Selina keluar, "muka gue lagi keliatan bercanda?"

"Engga sih" Natalie langsung menjawabnya.

Perempuan berambut sepinggang itu melanjutkan makannya, "terus lu jawab apa Sel?"

"Belum gue jawab" jawab Selina frustasi.

"Gue kira Revan nanya tentang lu dan kehidupan percintaan lu cuman karena penasaran doang karena lu sering ngelamun di kafe si Arka."

Kini giliran Selina yang terkejut dengan satu fakta yang baru ia tau, diam-diam Revan banyak bertanya keadannya kepada sahabatnya itu. Namun mengapa ia merasa Revan hanya tiba-tiba datang saja tanpa ada maksud yang berarti.

"Maksudnya? nanya kaya gimana?" Selina butuh penjelasan yang lebih.

Natalie masih sibuk mengunyah, seakan keterkejutan sebelumnya bukan satu hal yang besar. Selina menatapnya jenggah karena tak kunjung menjawab. "Apasih nyet buruan?".

Sang lawan bicara hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh, membuat Selina jengkel sendiri. "Tanya aja langsung sama orangnya, susah amat." Natalie akhirnya bersuara.

Selina tak terima, "Ya lu juga tinggal ngomong susah amat."

Makanan Natalie sudah tandas, "males ah takut salah mending lu tanya langsung orangnya. Yuk bentar lagi meeting suppliers baru noh, cepet nanti telat."

Alih-alih menjawab Selina, Natalie malah langsung pergi begitu saja dari kantin meninggalkan Selina dengan penuh penasaran. Ini kenapa semua temannya bikin mumet dan bertanya-tanya sendiri sih. Heran.

Rapat supplier bahan baku untuk produk baru tahun depan sudah selesai, setelah minggu-minggu sibuk dua bulan lalu selesai dan satu bulan rehat untuk membereskan dokumen serta menyerahkan peranan ke tim marketing. Tim Selina dan Natalie sudah harus kembali bersiap menyusun rangkaian pengembangan produk yang sudah rilis. Proyek kali ini adalah mengganti bahan baku tambahan dengan kualitas yang lebih baik untuk mendapatkan formula yang lebih bagus di produk skincare perusahaan mereka.

Rapat kali ini dihadiri oleh tiga supplier, masing-masing dari mereka mempresentasikan keunggulan dari produknya juga memberikan penawaran yang menarik bila mereka dapat berkerja sama untuk selanjutnya.

Selina membereskan barangnya lalu bergegas untuk pulang. Saat bekerja ia bisa menyampingkan pikirannya, namun saat diperjalan pulang dengan kemacetan orang pulang kerja seperti ini, otak Selina tidak bisa diajak untuk berkompromi.

Awan yang mendung sedikit gerimis, juga menambah beban dalam perjalanan Selina nantinya. Dua ratus meter didepan ada kafe Agha, maka ia memutuskan untuk belok sebentar menunggu hingga kemacetan sedikit berkurang.

Lelaki jangkung pemilik kafe itu sepertinya sedang tidak ada ditempat, hari Selasa seperti ini Agha akan ada di kedai ayam, resto makanan cepat saji miliknya juga. Selina memesan satu hot matcha latte favoritnya, kali ini tanpa dessert. Seleranya sedang tidak ada. Selina duduk ditempat favoritnya satu kursi pojok menghadap ke jalan raya, memperhatikan setiap kendaraan yang berjalan perlahan dalam kemacetan. Ia biarkan pikirannya melayang bebas tanpa khawatir.

Suasana membawanya pada sesosok laki-laki yang dulu amat ia cintai, pacar pertamanya. Senyum Selina sedikit tersungging dia teringat betapa lucu dan indah kisah mereka, bahkan tak perlu berpikir panjang untuk Selina menerima ajakan lelaki itu untuk bertunangan.

Senyum itu berubah menjadi getir tat kala ingatannya berlanjut pada kisah pahit cinta pertamanya. Sosok pria yang begitu ia kagumi dan puja karena kebaikannya itu ternyata tak sebaik apa yang ia sangka. Sebulir air mata jatuh dipipi Selina, saat memorinya masuk dalam penghiatan pria berbungkus baik itu. Dadanya sedikiti sakit, napasnya mulai tak beraturan. Selina menundukan kepalanya, ia mencoba membungkam tangis dirinya dalam diam.

Sepuluh menit berlalu, Selina sudah mulai bisa mengontrol emosi sedihnya. Ia akhirnya mengangkat kepalanya kembali, menghapus jejak air mata dipipinya.

Jalanan dihadapannya sudah mulai lenggang, hot matcha latte pesanan Selina sudah mulai mendingin. Ia meraih gelasnya lalu meminumnya air berwarna hijau itu. Sedikit membuat Selina merasa lebih baik.

Otaknya yang lelah setelah ia bawa bekerja seharian juga perasaan yang entah sembuhnya kapan itu seakan tak mau membuat Selina rehat sejenak. Pikiran Selina kini terbang menuju Revan. Pria pembuat kejutan diantara hari sedihnya ini.

Sekeras apapun Selina mencari celah dan alasan dibalik sikap Revan padanya selama ini, ia tak menemukan jawaban sedikitpun. Apa mungkin karena selama ini ia tak pernah melihat Revan sebagai pria, ia hanya melihat Revan sebagai teman masa kecilnya tidak lebih. Maka ia kesulitan untuk mengetahui dan membedakan sikap pria seperti Revan.

Lalu Selina teringat akan ucapan Natalie tadi siang, ada benarnya juga mengapa ia terlalu sibuk menerka padahal ia dengan mudah bisa bertanya langsung kepada Revan. Pria itu juga seharusnya tidak keberatan untuk menjawab pertanyaan yang ada di kepala Selina. Bukankah bila benar serius, Revan akan mengusahakan apapun untuknya, sekedar menjawab pertanyaan Selina mudah tentu bagi Revan.

Kadang pikiran itu rumit sekali, mengapa harus berputar-putar dahulu kepada banyak hal. Ditambah lagi si perasaan yang ikut nimbung menambah bumbu-bumbu pikiran.

Hujan sudah sempurna berhenti, jalanan juga sudah lenggang. Selina menghabiskan minuman hijau itu hingga tandas lalu ia bergegas pergi dari tempatnya.

"Mbak Sel, udah selesai." satu pegawai Agha menyapanya ketika Selina sedang menuruni anak tangga.

Selina tersenyum, "iya, thank you Ndri" sambil berlalu.

Mobil Selina melaju jalanan kota B, menuju ke rumahnya.

🍣

MusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang