"Hidup terlalu cepat berlalu, aku kewalahan menyeimbanginya."
—Selina Asha Rakasura🍃
Hari minggu waktunya bermalas-malas ria, seperti saat ini Selina hanya sedang berguling-guling dikasurnya dan menjelajahi sosial media menikmati potongan vidio pendek yang lucu. Semakin tua semakin tidak ada energi untuk pergi hura-hura, bahkan untuk sekedar olahraga juga.
Pintu kamarnya diketuk oleh sang ibu, perlahan terbuka dan memunculkan Erina dengan pakaian yang sedikit rapi. Biasanya ia akan memberi tau bahwa dia akan pergi bila seperti ini. Namun kali ini tidak, Erina tidak akan berpergian kemana-mana.
"Ka, lagi apa?" saat pertama kali pintu dibuka pertanyaan itu sudah keluar.
Selina melirik sejenak dan menjawab asal "lagi salto Ma."
Dasar, "mau ada tamu sebentar lagi, kamu siap-siap gih. Mandi udah jam segini juga!" titah Erina.
"Loh aku gak janji sama siapun loh Ma hari ini." Selina protes, udara kota hari ini sedang sejuk-sejuknya dan dia malas sekali mandi. Tubuhnya tidak berkeringat dan besok dia juga akan mandi lagi, jadi tidak perlu repot untuk mandi sekarang.
Erina yang sebal tanpa kata pun akhirnya menarik lengan Selina untuk bangkit, "cepetan mandi, gadis ko ga mandi jorok banget. Nanti sudah dapet jodoh."
"Ish ko begitu ngedoainnya?" Selina tidak terima.
Pertanyaannya malah dijawab oleh omelan panjang dari Erina, cerocosan tiada henti dan dorongan di lengannya untuk menuju kamar mandi berhasil membuat Selina dengan ogah melangkah.
Dalam hati Selina bergumam, aneh sekali ibunya itu biasanya dia pun tidak pernah masalah atau menganggu minggu sorenya.
Tiga puluh menit kemudian, pintu kembali di ketuk. Lagi-lagi menampilkan Erina yang memeriksa untuk memastikan anaknya sudah mandi atau belum. Selina yang sedang duduk di depan cermin menoleh.
"Ka kalau sudah selesai langsung ke ruang tamu ya, tamunya sudah datang." Erina berlalu setelah memberitahu maksudnya.
Tamunya presiden kah, harus banget sampai dicek dua kali, harus banget ketemu gue. Dateng mah dateng aja ga perlu nganggu me time gue. Begitu kiranya pikiran Selina.
Saat menuju ruang tamu dia melihat hanya ada mama dan papanya juga seseorang yang tidak asing yaitu Revan, ia sedang duduk dengan wajah yang sedikit tegang namun tetap tenang. Jadi mana tamu yang dimaksud oleh mamanya yang mengharuskan dia mengorbankan minggu sore berharga ini.
"Ka, sini duduk!" Dami yang melihat kedatangan Selina langsung menyuruh putri sulungnya untuk duduk. Selina duduk tepat dihadapan Revan sedang Erina berada di sebelah kirinya. Sebentar posisi duduk seperti ini rasanya aneh sekali. Suasananya entah mengapa berbeda, padahal ini ruang tamu mereka namun rasanya asing menjadi lebih dingin. Selina menjadi sedikit gugup, ia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi.
Dami membuka suaranya setelah melihat anaknya datang dengan wajah menuntut penjelasan. "Ka, Papa sudah berbicara dengan Revan minggu kemarin. Hari ini nak Revan memberitahu maksudnya kepada Papa dan Mama. Nak Revan meminta izin pada Papa untuk melamar kamu sebagai istrinya." Seolah bukan hal yang mengejutkan Dami menyampaikannya dengan tenang.
Mengetahui hal itu, mata Selina membola sempurna hingga hampir keluar. Ia terkejut. Perasaan tidak ada angin dan hujan sedari tadi pagi. Namun mengapa ada kabar konyol ini.
Selina masih diam membisu, hingga Dami melanjutkan kalimatnya "kalau Papa dan Mama sih setuju saja, kalian juga sudah kenal lama. Papa mama juga tau bagaimana keluarga nak Revan." Belum selesai ternyata kejutannya, persetujuan Dami lebih membuat jantung Selina merosot. Yang benar saja, papanya sedang tidak melawak bukan.
Revan yang hanya menyimak dengan serius, terlihat tenang dan tidak berkomentar apapun. Selina meliriknya sejenak, manusia ini benar sedang dalam moda serius. Berarti tiga manusia diruangan ini sedang tidak bercanda.
"Jadi bagaimana Ka?" suara Dami mengintrupsi percakapan dalam kepala Selina.
Tangan Selina digenggam oleh Erina, dia mencoba meredakan kerterkejutan anak sulungnya. Mereka saling bertatapan, seakan memberikan isyarat pada Selina bahwa mereka tidak memaksakan kehendak dan akan menerima keputusan apapun yang Selina pilih.
Wanita dengan kerudung hitam itu mengambil napas dalam, lalu melayangkan sebuah pertanyaan "Asha boleh minta waktunya berpikir sebelum menjawab Pa?". Semua ini terlalu mendadak dan tiba-tiba bagi Selina.
Dami berpikir sejenak, dia melirik pada Revan meminta persetujuan kepadanya. Pria didepan Selina itu mengangguk, maka Dami dengan bijak memberikan kesempatan yang sama bagi Selina memikirkan pinangan ini dengan matang.
"Tapi jangan terlalu lama ya Ka, tidak baik takut menimbulkan kesalah pahaman. Papa kasih waktu dua minggu cukup?" Dami khawatir, ia tidak ingin memberikan kesempatan fitnah terjadi di dalamnya.
Terpaksa Selina mengangguk setuju. Setelahnya mereka berempat menikmati hidangan yang telah disiapkan di meja, kecuali Selina yang hanya meminum sedikit teh hangat yang ada didepannya. Pikirannya sekarang penuh sekali dengan banyak pertanyaan.
Sejujurnya ia ingin bertanya saat ini juga pada Revan, namun dia urungkan. Orang tuanya merancang pertemuan ini sedikit formal, terlihat dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Kalau Selina bertanya sekarang, dia takut akan merusak momen ini dan tidak menghargai Dami dan Erina.
Revan terlihat begitu tenang dalam perbincangan tersebut, seakan dia telah mempersiapkan momen ini secara matang. Dia meminta dan menawarkan hidup baru bagi Selina, disaat wanita itu masih berada dalam kolam kesedihan. Entah apa pertimbangannya.
Selina sendiri ingin sekali menggeplak kepada pria itu dengan vas bunga mawar yang terdampar cantik di meja. Siapa tau dia sedang bercanda, tapi gelagatnya dalam obrolan sesantai inipun seakan menunjukan ia benar serius.
Perbincangan itu akhirnya mereka sudahi ketika Revan merasa telah cukup, dia tak mau terlalu lama mengganggu waktu keluarga ini. Dia juga mau memberikan waktu kepada wanita pilihannya untuk dapat mempertimbangkan tawaran serius itu.
"Om Tante saya pamit dulu, sebentar lagi mau gelap. Terima kasih untuk hidangannya, saya pamit." Setelah kalimat itu terlontar Revan bangkit dari duduknya untuk menyalami Dami dan Erina. Lalu dia menatap Selina, "Sel, balik dulu". Tiga kata itu dibalas dengan Selina hanya dengan anggukan.
Pria bertubuh tegap itu melenggang menuju pintu keluar rumah, Selina menatap kepergian Revan dengan banyak pertanyaan. Salah satunya mengapa pria ini datang secara tiba-tiba dalam hidupnya kembali.
Di halaman rumah, Revan berpapasan dengan Syana yang baru saja pulang bermain bersama temannya. Syana menggenakan tas selempang berwarna pink yang diberikan oleh Revan. Sepertinya calon adik iparnya ini sangat menyukai hadiah pemberian Revan.
"Ka Revan abis ngapain?"
"Abis ngobrol aja sama Om Tante Dek" tak mungkin Revan berkata jujur setelah perbincangannya dengan Arka tentang perasaan Syana padanya.
Syana mengerucutkan bibirnya "Ihh, ko udahan aku ga diajak dong" ujarnya sedikit kesal. Dia juga ingin mengobrol dengan Revan, sudah beberapa waktu ini Revan seakan sedikit menjauhi dirinya. Syana merasa Revan sedikit berubah, saat di kantorpun mereka tidak banyak berinteraksi. Diam-diam Syana merindukannya.
Pria ini tersenyum "sudah dari tadi, main mulu sih. Gue balik dulu ya". Kalimat itu hanya dijawab anggukan oleh Syana. Syana tak mampu berkata ketika melihat senyum yang Revan lemparkan padanya.
"Ka Revan!" seru Syana ketika Revan sudah sempurna menutup kembali pintu pagar rumah milik Dami.
Syana melanjutkan "hadiahnya terima kasih, aku suka" kalimat yang diakhiri dengan senyum malu itu segera di balas oleh Revan "warnanya dipake cocok sama lu Dek." Kalimat itu sukses membuat pipi Syana merah merona sempurna.
Hari yang indah bagi Syana dan Revan dengan dua hal yang berbeda. Syana memasuki rumah dengan rasa bahagia, dia bahkan mencium pipi satu persatu tiga orang yang sedang duduk diruang tamu itu tanpa curiga. Lalu ia menuju kamar sambil bersenandung kecil. Jatu cinta begitu menyenangkan.
Anggota keluarga yang lain saling berpandangan heran dengan tingkah anggota paling kecil dirumah mereka. Minggu sore dengan suasana berbeda yang dirasakan oleh setiap orang.
🍣
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim
ChickLitMusim dan cuaca berubah. Mendung taakan lama, pun dengan cerah. Begitu juga dengan hidup tak selamanya sedih, tak selamanya bahagia. Semua berganti, semua ada porsi waktu dan masanya. Namun semua tak selalu dapat menerima apa yang seharusnya. (n.) M...