9. Perbincangan Malam

127 13 0
                                    

"Cinta datang dan tumbuh kapan saja tanpa diminta"
—Penulis

🍃

Jendela kamar tetangga sebelah Selina terbuka. Menampilkan seorang laki-laki sedang duduk memangku gitar, memetik setiap senar dan melantunkan nyanyian. Samar dapat Selina dengar, sebuah lagu cinta favorit lelaki itu beralun.

Selina memperhatikan cukup lama, mungkinkah pria ini benar memilihnya. Kemudian ia meraih ponsel diatas nakas lalu men-dial nomor lelaki diseberang sana.

Revan teralih melihat layar ponsel hitam yang berdering, nama Selina tertera dalam panggilan masuk, sontak ia menoleh ke arah luar jendela. Selina ada disana dengan ponsel ditelinga kanannya. Revan tersenyum dan menjawab panggilan tersebut. Kini mereka sedang saling berhadapan dengan jarak yang sedikit memisahkan. Melalui telepon, mereka berbincang.

"Hai Sel, kenapa?"
"Re?"
"Ya?"

Hening yang cukup lama, mereka masih setia bertatapan. Keduanya masih saling menunggu.

"Kenapa gue?"
"Apanya?"
"Kenapa memilih gue?"

Tak perlu berlama-lama untuk berpikir, Revan tau persis jawaban untuk pertanyaan Selina.

"Karena lo layak untuk dipilih"

Layak dipilih katanya, bukan jawaban yang Selina sangka sebelum ini.

"Sejak kapan?"
"Gua gatau pasti, mungkin saat kita mulai remaja"
"....."

Selina memberi ruang untuk Revan dapat menjelaskan, selebihnya dia penasaran dalam diam.

"Awalnya gue menganggap ini sebagai rasa sayang dengan sahabat. Berlalu sikap lo ke gue mungkin juga jadi pemicu tumbuh perasaan yang lain."

Revan membenarkan rambutnya yang sedikit diterpa dinginnya angin malam. Lalu ia melanjutkan.

"Mungkin lo ga pernah merasa, kalau sikap saling dari pertemanan kitalah yang membuat gue melihat lo sebagai perempuan bukan teman."

Selina masih setia mendengarkan lewat sambungan telepon dan menatap lekat laki-laki di sebrang sana.

"Gue udah pernah coba, untuk bersikap yang sama ke perempuan selain lo. Ternyata yang gue dapat ya hanya tuntutan ingin lebih."

"Dari semua bualan classic gue barusan, jawabannya ya yang tadi. Lo layak untuk dipilih."

"Gue tau ini mengejutkan buat lo, gue pun udah siap dengan semua jawaban yanga akan lo kasih."

"Karena selain dipilih, lo juga berhak memilih."

Kalimat terakhir itu membuat Selina sedikit merenung, kesedihan akan kandasnya hubungan dengan Damar membuat ia merasa seperti seseorang yang tak berarti. Namun Revan melihatnya sebagai seseorang yang layak, menepis bahwa perempuan tak hanya dipilih tapi dapat juga memilih.

Perempuan berhijab hitam itu mengasihani dirinya sendiri, betapa ia terlalu berlarut dalam rasa sedih. Hingga sesulit itu ia menerima kenyataan. Revan mengintrupsi lamunannya.

MusimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang