[CHAPTER 10]

43.7K 1K 12
                                    

"Gapapa, Aruna, nanti kamu juga terbiasa, kok. Aku juga awal-awal di sini mikir gitu kok, tapi Mega nggak ngapa-ngapain kok, kalau kita-nya nggak setuju."

Kayak gitu kalimat penenang yang diucapin sama Kak Bella setelah gue rela-relain nungguin Kak Bella pulang buat curhat terselubung.

Tentu saja, gue cuma bisa diam nggak percaya. Gue pikir Kak Bella bisa memahami gue, karena ini hal yang terjadi di dalam kos ketika jam kerjanya. Nyatanya, gue cuma disuruh buat membiasakan diri. Gue mungkin bisa sedikit tenang tentang perkataan Kak Bella tentang Mbak Mega yang ternyata masih sadar diri tentang sistem suka sama suka, tapi bagaimana dengan orang lain yang nggak terlibat dan ternyata nggak ngerasa nyaman dengan itu? Apakah mereka nggak mikir sampai ke sana?

Gue yang awalnya optimis, mulai mempertanyakan kesungguhan diri gue. Apakah seharusnya memang sejak awal gue mendengarkan ucapan Lily? Apa memang seharusnya kami sudah minggat dari hari pertama, sejak tau tentang pembayaran opsional yang memang nggak lazim itu?

Kak Bella yang kayaknya tau kalau gue lagi overthinking, langsung nepuk kedua bahu gue agak keras. "Aku ngerti kalau kamu ngerasa nggak nyaman, Aruna. Kalian bertiga memang baru lulus dari SMA dan baru tau tentang dunia sebenarnya."

"Apa ada banyak hal yang belum kuketahui di dunia sebenarnya?" tanya gue.

Tanpa gue duga, Kak Bella malah nyubit kedua pipi gue dengan gemes. "Aduh, Aruna, Aruna. Mungkin satu-satunya yang salah di sini adalah Mega yang nyaring anak-anak polos kayak kalian bertiga."

Gue mengerutkan alis gue dengan sedikit kesal. "Aku dan teman-temanku udah punya KTP, kami bukan anak-anak lagi."

"Iya, iya." Kak Bella mengacak-ngacak rambut gue setelah itu, ketawa tanpa beban, jelas tidak serius mengiyakan. "Mana Shannon dan Lily?" tanyanya.

"Masih tidur siang di kamar, kayaknya," jawab gue.

"Nah, tuh kan. Orang dewasa mana yang tidur siang?" ledek Kak Bella.

Gue nggak bakal referensiin soal Shannon yang nggak terbiasa tidur di tempat 'biasa' kayak gini, atau Lily yang nggak bisa tidur karena denger suara bokep yang bising dari kamar Kak Hani, atau gue yang nggak bisa tidur karena habis menyaksikan kejadian antara Kak Shakira dan Mbak Mega.

"Ya, kami kan masih menikmati masa-masa pengangguran kami," jawab gue lagi.

"Memangnya mulai masuk kampusnya kapan?"

"Bulan depan. Ada ospek dulu sih," jawab gue.

"Lah, emang masih zaman ospek-ospek gitu?" tanya Kak Bella.

"Masih, tapi sekarang kalau ada yang bully-bully gitu bisa dilaporin ke kampus," jawab gue.

"Kalian ngampusnya di kampus deket sini?" tanyanya lagi.

"Iya, Kak," jawab gue.

Kak Bella tiba-tiba tersenyum mengejek. "Hati-hati lho, ada kakak senior galak."

"Tau dari mana?" tanya gue, waswas.

Kak Bella pun berdiri dari sofa, menenteng tasnya dan berjalan menuju lorong kamar. "Adaa deeeh."

Setelah itu dia masuk ke kamar nomor sepuluh, gue cuma bisa merenung sendirian di ruang tamu. Sekarang, bisa dilihat kan siapa yang sifatnya kayak bocah?

Belum lagi gue masuk ke kampus, langsung denger begituan kan agak nyeremin ya. Tapi bisa-bisanya Kak Bella berniat nakut-nakutin gue.

Tapi, gimana kalau ternyata Kak Bella serius dan gaada niatan buat nakut-nakuti?

Belum lagi gue berhasil mencerna semua kejadian di sana, tiba-tiba ketukan pintu kedengaran lagi. Gue langsung mikir, apa ada paket lagi ya? Soalnya semua penghuni kos kan punya kunci masing-masing. Gue ngelirik ke kamar nomor tujuh yang referensi posenya belum kelar dari siang tadi, dan karena belum ada tanda-tanda ada yang keluar dari sana, gue akhirnya beranjak dari duduk gue dan membukakan pintu.

KOSAN MEGA [GXG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang