"Udah nentuin mau ikut apa?" Ying mendudukan diri di sebelahku. Dia bertanya perihal ekstrakulikuler yang akan aku ikuti.
"Belum," aku mengacak-ngacak rambutku frustasi. "Masih bingung." Aku gundah gulana. Ini hari terakhir MPLS, setelah para peserta menyaksikan demo ekstrakulikuler kemarin, sekarang kami diwajibkan untuk memilih salah satunya.
Ying memutuskan untuk tidak mengikuti ekskul, ia lebih memilih untuk masuk OSIS. Katanya, dia ingin memaksimalkan pemikiran dan kemampuannya. Ia mau belajar bertanggung jawab. Ia bahkan sudah berencana mencalonkan diri pada pemilihan ketua OSIS mendatang.
"Gak mau ikut ekskul bela diri? Atau ekskul terkait olahraga? Biar badanmu banyak gerak." Ying mengusulkan.
"Males banget." Pada dasarnya aku memang tidak meminati olahraga—kecuali bersepeda. Aku tidak terlalu suka melakukan kegiatan boros energi. Mengikuti ekskul bela diri adalah keputusan yang buruk.
Aku kembali melamun. Mataku memperhatikan jarum detik dari jam dinding di atas papan tulis yang terus bertedik tiada henti. Ramainya kelas tidak menghalangiku untuk tenggelam dalam renungan.
"Kakak kelas itu keren banget! Katanya dia jadi ketua OSIS terbaik sepanjang angkatan ya?" Gadis berambut pendek tampak membuka obrolan dengan teman sebayanya.
Telingaku menangkap pembicaraan antara dua insan yang baru saja memasuki ruangan. Aku mendengarkan.
"Iya! Gila, keren banget. Udah ganteng, pinter, bertanggung jawab, kurangnya apa sih?" Si cewek rambut panjang bergelombang menanggapi.
"Kurang nyat—"
"Ketua osis angkatan 28 siapa emangnya?" Aku memotong ucapan gadis berambut pendek, menggabungkan diri ke dalam pembicaraan.
"Kamu belum liat mading sekolah ya? Ada foto ketua OSIS angkatan 28 disana. Dia dapet penghargaan ketua OSIS paling disiplin." Si gadis berambut panjang menjawabku.
"Selama dia menjabat, sekolah ini gak pernah mendapat laporan murid bolos, seluruh agenda tahunan juga berhasil dilaksanakan secara sistematis. Semua anggota OSISnya juga ga ada yang males-malesan, pokoknya dia keren abis." Ocehnya panjang lebar.
"Kenapa kamu ngga coba lihat sendiri? Mading lagi rame tuh." Si gadis rambut pendek menyarankan.
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
"Beneran ganteng, anjir." Aku memuji.
Lelaki bernama Gempa ini waktu di kandungan dikasih makan apa sih, kok pas lahir bisa serupa cowo ghibli.
"Berarti aku harus jadi kayak dia, pas menjabat jadi ketua OSIS angkatan kita nanti." Ying menyunggingkan senyum percaya diri.
Aku memutar mata.
"Eh, [Name], kamu lapar gak?" Ying menoleh ke arahku.
Aku mengangguk. "Aku juga lapar. Ayo beli makan di kantin." Tadi pagi aku cuma sarapan pakai satu potong roti tawar yang diisi selai srikaya. Ngga bikin kenyang memang, tapi lumayan buat ganjal perut. Aku trauma pingsan lagi.
Ying menarik tanganku menjauh dari kerumunan. Mungkin karena masih terbawa suasana tahun ajaran baru, dan berita-berita di mading terlihat menarik untuk dibaca, tempat ini penuh dengan siswa-siswi dari angkatanku.
Ying menuntun aku ke arah kantin. Tangannya tidak berhenti menggenggam tanganku—kami melewati gedung kelas sebelas. Mereka punya gedung yang artistik, berbagai tanaman hias terawat seperti monstera, alocasia, bahkan tanaman menyerupai sayap kupu-kupu; oxalis, tertanam subur di pot sekitar selasar, menyegarkan tiap jiwa yang melintasinya. Ada pula lukisan-lukisan beraliran surealisme, realisme dan ekspresionisme buatan murid, yang terpajang rapi di tembok-tembok, senantiasa memanjakan mata setiap kali memandangnya—sebelum ia mendadak melepaskannya sepihak.
Ying membungkuk dan melingkari tangannya di perut. "Aduh, [Name], kamu duluan aja ke kantin, nanti aku nyusul. Urgent banget ini. Panggilan alam. Oke? Bye." Ying mengucapkannya dalam satu tarikan napas. Sontak, ia berlari pontang-panting ke arah yang berlawanan. Pergi mencari toilet wanita terdekat dari gedung kelas dua.
" ... oke?" Aku tetap menjawabnya meski terlambat. Sepintas kemudian, aku kembali melangkahkan kakiku ke arah timur. Menuju kantin yang terletak persis di belakang lapangan basket. Aku terlanjur ke kantin lewat jalur depan, perlu bagiku melewati lapangan basket yang belum lama selesai dicat ulang.
Aku memperhatikan anak-anak club basket, yang meluangkan waktu istirahatnya untuk mencetak score dengan memasukkan bola ke dalam ring. Bisa kulihat di deretan kursi penonton samping lapangan, diisi oleh sejumlah anak-anak perempuan dari berbagai kalangan, yang ikut menyisihkan waktunya demi menonton pertandingan tidak resmi.
Aku hanya melirik sebentar. Perutku prioritas utama. Dia sudah meminta jatahnya sedari 30 menit yang lalu.
Kakiku mulai menapakki keramik porselen yang mengkilap, memantulkan semua bayangan objek di puncaknya. Aku melihat refleksi bayanganku sendiri di sana, tak terkecuali bayangan para individu kelaparan lain yang berlalu-lalang.
Aku beralih menatap kedai bakso di ujung zona konsumsi. Kedainya nggak besar-besar amat, tapi antriannya sepanjang rambut Rapunzel sebelum dipotong oleh seorang buronan Kerajaan; Flynn Rider. Katanya kedai itu baru buka beberapa hari yang lalu, namun peminatnya hampir melingkupi seantero sekolah.
Rame banget. Aku ogah ngantri lama-lama begitu. Tapi para perempuan di kelasku membicarakannya seolah-olah bakso itu mampu menyetarai kenikmatan mi rebus pake telur setengah mateng.
Setelah beradu dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan ikut mengantri di posisi paling belakang. Posisiku tidak bertahan lama, sebab beberapa orang menyusul, memposisikan diri di belakangku, ikut mengantri 'bakso terenak sepenjuru sekolah'.
Aku mengetuk-ngetuk sepatuku ke lantai. Mataku sibuk mengeksplorasi menu pada spanduk di belakang gerobak. Aku memilah menu yang akan kupesan nanti. Mungkin aku harus membelikan satu untuk Ying. Membiarkannya mengantri ulang hanya akan membuat waktu istirahatnya terbuang sia-sia.
Setiap satu pembeli selesai dilayani, aku memajukan langkahku satu demi satu. Hingga tiba giliranku untuk membeli.
"Bang Kasim, bakso 2 porsi ya." Aku mengangkat tangan kananku. Kontan melipat jempol, jari manis, dan kelingking, menyisakan jari telunjuk dan jari tengah untuk diperlihatkan. "Yang satu bakso urat, yang satu lagi bakso aci. Dua-duanya gak pedes." Aku melanjutkan.
"Siap!" Bang Kasim mengiyakan. Ia mengambil dua mangkok dan mengisinya sesuai pesanan dengan telaten.
Aku suka pedas. Tapi kupikir, perut Ying saat ini belum bisa mentolerir olahan cabe, aku takut dia malah bolak-balik ke kamar mandi nanti. Jadilah aku memesan kedua-duanya tidak pedas, supaya aku dan Ying bisa saling coba menu masing-masing.
Kepulan asap kala penutup panci kuah baksonya dibuka, dan mengenai wajahku, membuat indra penciumanku dibaluti aroma kaldu. Asapnya menari-nari di udara, seakan memyuruhku untuk mencicipi jamuan utamanya.
Aku melamuni hidangan yang telah terhidang dalam dua mangkok bergambar ayam jago. Aku memperhatikan bola-bola daging dan bola-bola tepung yang mengambang di mangkok yang berbeda.
Aku bisa melamuninya sampai sore, jika saja Bang Kasim tidak membuyarkan fantasiku.
"Totalnya 15 ribu ya, dek." Bang Kasim menginformasikan, sembari menaruh dua mangkok tadi di atas nampan.
Aku merogoh kantong seragamku, mengorek isi dalamnya. Alangkah paniknya aku ketika sadar jika kantong seragamku kosong. Aku beralih merogoh saku yang terletak pada rok, meraba-rabanya panik. Namun nihil, tak sepeser pun uang ketemukan di dalamnya.
Aku mengelap keringat yang bercucuran dari dahi. Sepertinya uangku ketinggalan di tas. Kupikir kita hanya akan menengok mading, jadi aku tidak kepikiran mengambilnya.
Aku diam membisu. Aku takut digaplok Bang Kasim. Aku mencoba menguatkan hati, dan memberanikan diri untuk menjelaskan situasi. "Bang Kas—"
"Bayarnya barengin sama punya saya aja Bang." Ucap seseorang di belakangku.
Kalimatku terpotong. Aku spontan menoleh ke belakang, dan menemukan Beliung yang sok-sok an jadi pahlawan kesiangan.
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

KAMU SEDANG MEMBACA
Perlahan Sirna || Beliung x Reader
Fanfiction「Beliung x Reader」 Aku siswi SMA ceroboh yang terlambat di hari pertama masuk sekolah, dan berujung ditabrak pengendara motor amatir yang belum punya SIM. Kecerobohan sepele pagi itu, membuatku harus berurusan dengan pemuda berisik yang terus mengi...