04

236 37 14
                                    

"Aku kan udah minta maaf. Sumpah, aku gak sengaja. Aku lagi buru-buru, takut gerbang sekolah keburu ditutup." Beliung menjelaskan.

Beliung duduk dihadapanku, memperhatikan aku yang menyuap satu per satu bakso ke dalam mulut. Dan memutuskan meminta maaf lagi karena aku tidak membalas satu pun obrolannya. Aku sengaja mencuekinya.

"Emangnya cuma lo yang buru-buru ke sekolah? Gue juga kali." Aku menjawabnya, tanpa mengalihkan pandanganku dari bawang goreng dan seledri yang mengambang di kuah bakso. Menatapnya saja aku malas, apalagi meladeninya.

Beliung tidak menyerah. Ia menengok lagi ke arahku dengan semangat menggebu-gebu. "Yaudah, gimana kalo gini, itu uang baksonya gak usah kamu ganti. Tapi sebagai balasannya, kamu maafi—"

"Lo ga ikhlas nolongin gue?" Aku mendahului ucapannya dan menyimpulkannya secara sepihak. "Gak usah, nanti di kelas gue ganti." Putusku

Lengkung senyum Beliung menyurut, dia menghela napas putus asa.

"[Name]!" seseorang memanggil namaku dari pintu masuk kantin, dia lekas menghampiri mejaku.

Aku menengok. Oh, rupanya Ying.

"Nih, udah kubeliin bakso. Gak pedes kok, makan aja. Mumpung masih panas." Aku menggeser semangkok bakso yang berisi setengah bakso urat dan setengah bakso aci, ke hadapan Ying. Aku mencampurkan sendiri baksonya sewaktu Ying belum datang.

"Wah, makasih." Ying duduk disampingku, dan mulai mengaduk isi mangkoknya dengan sendok. Ying lalu menggeser bokongnya supaya bisa duduk lebih dekat denganku, dia berbisik, "Eh, dia ngapain di sini?" Matanya melirik ke anomali—Beliung—di depanku.

"Gatau, cuekin aja." Aku mengendikkan bahu. Aku tetap makan, tanpa menoleh sedetik pun pada yang bersangkutan. "Orang gila kali."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku membatu di depan cermin kamar mandi. Riuhnya ruangan, tidak menggangguku dalam upaya memperhatikan sesosok wanita ramping bertubuh tinggi, dengan rambut lurus panjang yang sengaja dibiarkan terurai ke depan, sedang berdiri di belakang wastafel. Matanya tak berhenti menatapku. Aku melihatnya menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya, menyisirnya ke belakang telinga. Aku tadi penasaran, siapa sebenarnya wanita cantik di depan cermin yang wajahnya mirip karakter Putri film Disney ini? Tapi saat aku bisa melihat wajahnya yang cantik dengan sempurna, tanpa terhalang helai-helai rambut, barulah aku sadar. Rupanya wanita cantik itu ialah aku.

Aku meletakkan satu tanganku dipinggang, dan memain-mainkan rambut dengan tangan yang menganggur. Aku memasang ekspresi seolah-olah aku adalah model fashion yang sedang dipotret untuk mempromosikan busana keluaran terbaru.

Aku tidak bisa berhenti mengagumi pesonaku yang terlalu memukau, akibat pancaran dari seragam pramuka yang tengah kukenakan. Seragam pramuka tampak membuatku tampil necis.

Seragam sekolah baru dibagikan tiga hari yang lalu. Dan aku baru bisa memakai seragam ini saat lonceng pertanda waktu istirahat telah berbunyi. Aku tidak bisa memakainya dari rumah, karena pelajaran pertama pada hari rabu ialah olahraga.

Jadi di sini lah aku, dan seluruh teman kelas perempuanku. Pelajaran olahraga telah usai, jadi kami mengganti baju lusuh dan bau keringat itu dengan baju yang—menurutku—super eksotis ini.

"Berhentilah mengkhayal. Kamu tampak menggelikan." Ying keluar dari bilik toilet, tangannya mengancingi kancing pada kerah seragamnya. Dia menarikku kembali pada realita.

Aku menengok, memperhatikan Ying yang kini ikut berdiri dan bercermin di sampingku. "Setidaknya, aku tidak semenggelikan orang yang memotret dirinya sendiri pakai kamera depan, dengan nuansa kamar gelap gulita, pakai filter kacamata, dan berpose melet-melet sambil memamerkan jari tengah, lalu dengan pede mempostingnya ke instagram." Aku menyindir.

Ying reflek terbatuk, mengalihkan padangan ke arah sebaliknya. "Itu masa lalu, gak usah diungkit lagi dong."

Aku mendecih. "Kamu sendiri pernah lebih parah dariku. Jadi, jangan sok mengkritik aku."

"Kalau sikapmu begini, gak akan ada yang mau berpasangan denganmu." Ying membalas sengit. "Beliung aja ogah." Gumamnya.

Aku tersentak. "Gue juga ogah kali sama Beliung!" Oktaf bicaraku naik. Aku tidak terima disangkut-pautkan dengan Beliung.

"Heh, udah-udah! Ayo balik ke kelas." Ketua kelas melerai. Membuat aku dan Ying terpaksa menurut.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku tak sudi mengakuinya, sama halnya seperti Malin Kundang yang tidak mau mengakui Ibu kandungnya. Harga diriku seolah diuji. Hatiku bergetar, hanya karena melihat entitas menjengkelkan—yang belakangan ini terus mengikutiku, memaksa aku menerima permintaan maafnya—sedang berdiri menyambutku di ambang pintu, dengan seragam yang sama persis seperti yang tengah aku dan seluruh teman sekolahku kenakan. Pesona seragam pramuka memang bukan main-main.

"Hai, [Name]. Kamu udah jajan? Kalo belum, ke kantin bareng yuk!" Beliung mengajak.

Karena dari kemarin aku menolak berbicara dengannya, si Beliung Beliung ini jadi sok kenal sok deket sekali denganku. Menyapaku lah, mengintili aku ke kantin lah, ikut-ikutan izin ke kamar mandi waktu pelajaran padahal bolos lah. Intinya, dia menyebalkan sekali.

Aku berniat melangkahkan kakiku melewati batas pintu, tapi tangan yang tiba-tiba terentang di depanku, menghalangiku memasuki kelas. Dia menutupi akses masuk.

Ah, Beliung bangsat. Mulanya, aku jalan paling belakang bersama Ying waktu menuju ke kelas tadi. Dan setelah memastikan bahwa seluruh teman perempuanku sudah masuk kelas—termasuk Ying. Dia langsung mencegatku. Dia membuat aku menjadi satu-satunya orang yang masih berada di luar.

"Lo asik, asik sendiri." Aku terpaksa mendongak, dan menatap wajahnya. Aku tidak mau ada di luar sampai istirahat selesai. "Sekarang, minggir." Aku memerintahkan.

"Kamu cocok banget, pake seragam pramuka. Cantiknya sampe nembus jantung." Beliung mengalihkan pembicaraan. Memuji penampilanku.

Spontan, aku menerbitkan senyum angkuh. "Gausah meleberkan fakta. Tanpa kamu bilang, aku pun sadar." Aku tertawa pongah.

Aku kembali memperhatikan Beliung, menatap penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Matanya berbinar, mengharapkan sesuatu.

Kalau yang dia harapkan adalah pujian dariku, mungkin aku akan mempertimbangkan. Sejujurnya, Beliung ini, wajahnya bisa dibilang lumayan lah, ganteng. Egoku menolak mengakui, tapi hatiku menyetujui.

Baiklah. Aku akui, dia memang ganteng. Beliung ganteng banget. Hatiku sudah siap memberikan seribu satu puji-pujian untuknya.

"Lo kayak gembel." Aku berdusta

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Perlahan Sirna || Beliung x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang