Sai tewas. Jasadnya ditemukan mengambang kaku di dalam toren air milik warga. Subuh tadi, saat si pemilik toren hendak mandi, ia mencium bau tidak sedap pada air kerannya. Warna airnya pun tidak jernih seperti hari-hari biasa, padahal belum ada sebulan torennya dibersihkan.
Ayuyu, selaku pemilik toren, memberanikan diri mengecek toren air di belakang rumahnya. Semenjak ditinggal suaminya, ia jadi janda anak dua, jadi engga heran kalau dia harus cekatan mengurus segalanya sendiri. Keberanian Ayuyu patut diapresiasi karena berani mengecek isi dalam toren air tanpa ada yang mendampingi. Sepertinya ia sudah berdamai dengan kesendirian.
Namun keberaniannya pupus seketika, saat melihat tubuh pemuda laki-laki mengambang di dalamnya. Wajah jasadnya pucat, bajunya compang-camping, badannya penuh luka sayat dan tusukan.
Ayuyu menjerit hebat. Ia berlari ke rumah pak rt untuk meminta bantuan. Dia melaporkan kejadiannya dengan napas tersengal-sengal, suaranya bergetar, ia menangis ketakutan.
Pak rt yang mendengar laporannya, segera memanggil para warga dan bergegas menuju rumah Ayuyu untuk melihat TKP. Mereka sama terkejutnya dengan Ayuyu saat mata mereka menyorot jasadnya. Mereka takut salah ambil langkah, jadi mereka memutuskan untuk memanggil polisi.
Beruntungnya, Sai masih mengenakan baju seragam sekolah, sehingga polisi langsung mengetahui identitasnya lewat jahitan name tag di atas kantongnya.
Seragamnya memamerkan dengan jelas logo sekolah, jadi polisi bisa dengan sigap melaporkan, sekaligus bisa mengusutnya lebih lanjut.
Aku benar-benar mambatu kala beritanya sampai ke telingaku. Telingaku berdenging, aku seakan tidak bisa mendengar Ying yang memanggil-manggilku dari tadi. Aku nggak menyangka. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku, aku berpikir akan mendengar kasus pembunuhan terhadap temanku sendiri.
Aku meluaskan pandanganku. Mataku melihat Shielda—saudari kembar Sai—yang sedang mengamuk di depan kelas. Ia meronta-ronta tak terima. Ia menolak percaya bahwa saudaranya telah tewas karena di bunuh, bahkan jasadnya berada dalam toren air semalaman. Air matanya mengucur deras, bercampur dengan keringat, membasahi seluruh wajahnya. Ia dan Sai lebih dari dekat, mereka saudara. Mereka sering bertengkar, tapi tidak lama akan kembali berbaikan. Mereka anak kembar yang kalau satunya sakit, maka yang satu lagi akan ikut sakit. Mereka anak kompak, dimana jika salah satu dari mereka diganggu, maka yang satu lagi akan maju sebagai garda terdepan. Mereka selalu berdua kemana-mana. Mereka tak pernah terpisahkan. Tak ada yang berani memisahkan mereka, tak ada yang pernah bisa, kecuali Tuhan.
Shielda berteriak nelangsa. Ia tidak marah pada Tuhan karena mengambil nyawa saudaranya. Ia justru marah pada sang pembunuh yang tega mengirim Sai pada kematian, lebih cepat dari yang seharusnya. Menurut Shielda, Sai orang yang baik. Ia tidak pernah mencari-cari masalah dengan orang. Shielda tau, Shielda lebih tau dari pada polisi, guru-guru, dan semua teman dekatnya, Shielda saudarinya. Shielda lebih tau Sai dibandingkan semua orang di muka bumi ini.
Sulit bagi Shielda untuk menerima, bahwa setengah dari dirinya telah sirna, mendahuluinya pergi pada sang pencipta. Shielda berakhir jatuh pingsan, setelah mengamuk hampir satu setengah jam. Batinnya terlalu terguncang. Ia butuh waktu.
Sekolah kami dipulangkan lebih awal karena masalah ini. Baik murid maupun guru, tidak akan ada yang masih fokus melakukan kegiatan belajar-mengajar.
Anak murid diperintahkan untuk langsung pulang, karena pelaku masih diselidiki, bisa jadi pelakunya masih berkeliaran di luar sana. Pihak sekolah tidak mau ada korban kedua dengan kasus yang sama. Biarlah polisi yang menyelidikinya.
Aku setuju. Sekolah memang harus dipulangkan lebih awal. Aku menatap ke luar jendela, para adik-adik kelas, maupun murid-murid angkatanku, mulai berbondong-bondong berlari menuju gerbang. Mereka juga manusia, tentunya mereka punya rasa takut. Rasa takut akan menjadi korban selanjutnya.
"[Name], ayo pulang." Ying menepuk bahuku, ia berkata pelan. Ying mungkin merasa kalau aku masih berkabung atas kematian Sai. Ying takut aku masih sensitif.
Ying nggak sepenuhnya salah. Ia benar soal aku masih berduka karena Sai, tapi perasaanku tidak sekompleks seperti yang dia duga. Aku memang sedih, tapi aku diam karena terpikirkan sesuatu. Hari ini, ada yang harus aku pastikan.
"Maaf Ying, kamu duluan aja." Aku mencoba menunjukkan senyum. Aku menolak ajakan pulangnya. Aku harus mengahadapinya sendiri. "Sebelum pulang, ada seseorang yang mau aku temui."
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Aku mengendap-ngendap di balik pohon-pohon. Kesempatanku cuma sekali, aku harus bisa melakukannya dengan sempurna tanpa kecacatan.
Mataku menajam, memindai satu per satu wajah adik kelas yang sedang menuju gerbang keluar. Sekilas wajah mereka keliatan sama, aku nggak bisa mengenali mereka dengan baik karena tempo jalan mereka cepat-cepat. Aku memutuskan untuk mendiskualifikasi orang pendek dari daftar pencarianku.
Enam puluh detik berlalu, pencarianku masih belum mengeluarkan hasil. Tapi dewi fortuna memihakku, aku menemukannya tidak lama setelah aku menggeser ke samping.
Setelah mengunci pandanganku padanya, aku maju selangkah demi selangkah agar dia tidak menyadari keberadaanku. Aku bergerak perlahan, sambil memperhitungkan banyaknya murid-murid yang berlalu-lalang. Aku tidak mau aksiku terlihat oleh orang.
Tap!
Aku meraih tangannya. Aku bergegas menariknya menuju belakang sekolah dengan cepat. Aku tidak mempedulikannya yang memanggil-manggil namaku. Aku harus melakukan ini, apapun resikonya.
Aku melepaskan genggamanku setelah kami sampai di belakang sekolah. Tampat ini cuma berisi tanaman-tanaman hias dan satu pohon mangga. Tidak akan ada yang akan kemari pada situasi ini. Tidak ada kecuali tukang bersih-bersih yang sayangnya, sekarang sedang cuti karena istrinya lahiran.
"Jelaskan semuanya sekarang," aku membalikkan badan, menghadap penuh pada lelaki yang baru saja kubawa secara paksa. "Rimba."
Rimba gelagapan, ia sudah cukup terkejut karena aku yang mendadak membawanya kemari, dan sekarang ia terkejut karena pertanyaanku. "Jelaskan, jelaskan ... soal apa?" Rimba memundurkan langkahnya perlahan.
Aku nggak bisa diam lagi. Aku nggak bisa mengacuhkannya lagi seperti sebelumnya. Aku butuh penjelasan. Penjelasan atas semua kebingunganku selama ini. Aku perlu jawabannya, sekarang.
Aku menghentakkan kakiku maju menghampirinya, aku lantas menarik kerahnya. "Gausah pura-pura goblok. Aku yakin kamu tau sesuatu. Kalau sesuatu itu sangat berat untuk kamu ceritakan, seenggaknya beritau aku soal Beliung. Beritau aku semuanya. Apakah dia terlibat atau tidak, apakah dia jahat atau tidak, beritau aku Rimba. Semuanya. Apa yang perlu aku takuti dan khawatiri dari Beliung? Jelaskan padaku." Aku memelototinya, aku menuntut penjelasan.
"Jelaskan padaku, selagi aku masih memintanya baik-baik." Aku mempertegas ucapanku. Aku nggak bisa berdiam diri lagi. Sekarang lah waktunya. Aku sudah bertekad, hari ini aku akan mengetahui kebenarannya, apapun yang terjadi.
Rimba nampak ragu. Ia berdiam cukup lama. Dia punya banyak hal untuk dipertimbangkan.
Setelah menunggu Rimba yang berdiam diri, aku melihat Rimba menghela napas berat, ia mengusap wajahnya frustasi. "Beliung itu gila [Name]! Dia itu gila!" Rimba memegang kedua pundakku, ia berteriak pasrah.
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
KAMU SEDANG MEMBACA
Perlahan Sirna || Beliung x Reader
Fanfiction「Beliung x Reader」 Aku siswi SMA ceroboh yang terlambat di hari pertama masuk sekolah, dan berujung ditabrak pengendara motor amatir yang belum punya SIM. Kecerobohan sepele pagi itu, membuatku harus berurusan dengan pemuda berisik yang terus mengi...