05

244 37 17
                                    

Aku menendang ban sepedaku, seolah menendang barang rongsok. Sepedanya terguling. Aku kehilangan minat untuk mendirikannya lagi, dan malah manjambak sisi kanan dan kiri rambutku dengan penuh emosi. Aku kesal sekali. Entah apa penyebabnya, ban sepedaku bisa bocor begini. Perjalanan pulangku jadi terhambat.

Ini sudah lewat dari jam 5 sore, dan aku masih di sekolah. Cahaya senja mulai raib di cakrawala. Aku sudah coba ke pos satpam untuk minta bantuan pada Pak Ejojo, si satpam yang kerjaannya ngopi sambil nengok majalah pagi. Namun aku tak bisa menemukannya di mana pun, padahal ini belum jadwal pulang bagian keamanan.

Aku nggak takut gelap, aku juga nggak takut hantu. Tapi kalau dibayangkan, berada di sekolah sendirian, tanpa satu pun cahaya atau manusia yang mendampingi, pasti rasanya mengerikan.

Aku benar-benar menyesal karena menolak tawaran Ying, untuk pulang bareng naik mobil 2 jam silam. Aku baru tau sepedaku bocor saat Ying sudah pergi. Dan aku malah mencoba mengotak-atik sepedanya sendiri selama 2 jam, sadar-sadar, sekolah sudah sepi, dan usahaku tidak membuahkan hasil. Sungguh, rasanya, aku ingin mentolol-tololkan diriku saat ini juga.

"Loh, [Name]? Belum pulang?" Seseorang memanggilku dari belakang.

Aku kaget bukan main, saat merasakan dinginnya tangan asing menyentuh pundakku. Aku bergidik ngeri, dengan patah-patah, aku menengok ke belakang.

Saat mataku berhasil menangkap personanya, aku merasa, lebih baik ketemu kuntilanak, tuyul, suster ngesot atau setan varian lain, ketimbang harus bertatap wajah dengan anomali jelmaan peri. Aku bakal mentoleransi kalau perinya kayak Tinkerbell atau minimal temannya, Rosetta. Tapi kalau perinya model Beliung? Yang bener aja? Rugi dong.

Air muka ku masam. Maksudku, ayolah, dari banyaknya insan di dunia, mengapa harus Beliung yang masih di sekolah pukul lima lewat dua puluh menit?

Aku menggeram jengkel, ketika Beliung memilih untuk membungkuk dan mengecek kondisi sepedaku.

"Wah, ini sih, bukan bannya doang yang bocor." Matanya memincing, Beliung mengelus dagu. "Kayaknya, rantainya juga putus deh." Beliung kembali menegakkan tulang belakangnya. Dia beralih menatapku.

Aku merapikan helai-helai rambutku yang berselerakan tersapu angin. "Aku tau." Ucapku. Aku telah mengotak-atik isian sepedanya secara serampangan selama 2 jam. Tidak mungkin aku tidak tau kalau rantainya putus.

Aku menghelas napas lesu. Kakiku memaksa melangkahkan tapak kakinya ke depan. Menuntunku untuk duduk di atas batu bata yang terlekang pada saat tahap pengecoran, dan malah dipakai untuk mengganjal pot-pot bunga yang permukaannya tidak rata.

Aku memungut tusuk lidi bekas yang tergolek di tanah. Tanganku tergerak melukis-lukiskan tanahnya. Secara alami, aku menggambar dua gunung dan matahari yang terhimpit di antara keduanya, berikut dengan sawah yang padi-padinya sudah memanjang dan beberapa burung yang terbang leluasa di awang-awang─gambar yang biasa digambar anak SD.

Beliung ikut berjongkok di depanku, turut menonton aku yang tengah menggurat-gurat permukaan tanah. "Kalo kamu, ikut pulang denganku, mau nggak?" Celetuknya.

Aku mengkerutkan kening, menatapnya tak percaya. Dia menawarkanku pulang, bersamanya? Naik motor ninja? Ogah.

Aku membuka mulut, hendak memprotes.

"Motornya bukan yang waktu itu kok." Seakan tau apa yang kupikirkan, Beliung lebih dulu menjelaskan. "Ayo." Beliung bangkit. Ia mengulurkan tangannya padaku.

Aku menimbang-nimbang. Ini sudah hampir jam setengah enam sore. Tentu aku tidak mau terjebak di sini sendirian. Aku juga tidak mungkin berjalan sampai rumah kalau masih sayang dengan kedua kakiku. Aku tidak punya pilihan lain. Dengan berat hati, aku menyetujui.

Aku ikut berdiri, tanpa menerima uluran tangan Beliung. Aku jaim.

Beliung tersenyum sekilas, ia lalu memimpin jalan menuju parkiran.

"Ini artinya, permintaan maafku diterima, dong. Kamu udah gak benci aku 'kan?" Tanpa menghentikan perjalanan, Beliung melontarkan tanya.

Aku memutar mata. "Iya deh, aku maafin." Aku menurunkan egoku, dan menjawab pertanyaannya murni dari hati.

"Aku gak bisa benci kamu selamanya. Yang lalu, biarlah berlalu." Aku menjawab, tanpa mengalihkan pandanganku dari bidang kasar yang kujejakki.

"Kurasa, aku bisa coba menyukai, dan menerima kamu sebagai teman." Aku iseng berucap.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku tidak membenci matematika. Tapi fakta kalau aku harus menghapal semua rumus-rumusnya, membuat rasa dongkol menimbun di hatiku. Apanya yang, 'jangan dihapal, tapi dipahami?' Masalahnya, aku masih tak kunjung paham walau sudah puluhan kali membaca ulang.

Aku tidak kuasa mendengarkan Papa Zola yang tengah membahas kisi-kisi ujian. Biarlah, aku akan menyalin punya Ying saja nanti. Lagi pula menurutku, sistem mengajarnya Papa Zola ini sangat tidak terstruktur, berbanding terbalik dengan istrinya; Mama Zila.

Aku lebih tertarik melihat rintik hujan yang membasuh halaman sekolah. Memperhatikan endapan embun-embun di kaca jendela, yang mengalir tatkala tetesan air hujan  mengenainya.

Ctak!

Aku tersentak. Mataku menjatuhkan pandangannya pada penggaris kayu sepanjang lima puluh centimeter, yang terbanting keras di mejaku. Mataku bergulir, mengikuti dari mana penggaris panjang ini berasal, dan menemukan tangan Papa Zola di ujung sisi satunya.

"Wahai anak murid kebenaran! Kamu ini mau belajar, atau mau PACARAN?!" Papa Zola berteriak lantang di depan wajahku.

Tunggu, apa tadi katanya? Pacaran? Oke, aku akui, aku salah, aku melamun dan mengacuhkan Papa Zola yang sedang menjelaskan kisi-kisi. Aku tidak menghargainya selaku guru matematika. Tapi siapa yang dia sebut pacaran? Jelas-jelas aku cuma memandang rintik hujan lewat jendela.

"Pacaran apa Pak?" Aku mengerutkan kening. "Saya cuma lagi lihat jendela." Telunjukku terulur, menunjuk jendela. Aku mencoba menjelaskan.

"Kamu melihat jendela, atau melihat orangnya?" Papa Zola menunjuk samping kanannya dengan penggaris.

Orangnya? Aku mengulangi ucapan Papa Zola dalam hati. Mataku kemudian mengikuti kemana arah penggaris ini menuju. Ujung penggarisnya mengarah pada jendela, oh, bukan, lebih tepatnya, pada orang di bawah jendela.

Beliung menyengir sewaktu mata kami bertemu. Beliung, orang yang duduk persis di bawah jendela.

Sepintas kemudian, aku tersadar, walau pada kenyataannya, aku memang sedang melihat ke luar jendela, tapi dalam pandangan orang lain, aku tengah memperhatikan 'orang di bawah jendela'. Yang tak lain dan tak bukan adalah, Beliung.

Aku sontak kembali menengok kepada Papa Zola. "Saya betulan lagi lihat jendela Pak! Suer!" Aku buru-buru klarifikasi. "Saya juga gak pacaran sama dia. Suka aja engga." Aku menambahkan penjelasan.

"Oh, mau bohong ya." Papa Zola mendongak, ia mengelus-ngelus dagunya, tampak mempertimbangkan sesuatu. "Kalau begitu, kamu keluar dari kelas ini, SEKAR—"

"Tapi, [Name]," Beliung memotong seruan Papa Zola. "Bukannya kemarin kamu bilang, kalau kamu suka aku?" Beliung menyuarakan presumsinya, ia berkata nyaring dari kursi tempatnya duduk.

Semua mata tertuju padaku. Aku melihat Ying, dia mengulas senyum. Satu dua orang di kelasku, saling bersiul-siul. Mulut Papa Zola terbuka lebar, tapi dia diam membisu.

Aku menunduk malu. Kemarin, dia pasti cuma mendengar sepotong dari ucapan isengku saja.

Beliung sialan.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Perlahan Sirna || Beliung x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang