Epilog

307 46 67
                                    

Aku melemparkan tusuk lidi ke arah tong sampah organik yang terletak di bawah pohon, setelah menghabiskan olahan sagu berbumbu gurih—cilung—yang tertancap di sana sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melemparkan tusuk lidi ke arah tong sampah organik yang terletak di bawah pohon, setelah menghabiskan olahan sagu berbumbu gurih—cilung—yang tertancap di sana sebelumnya.

Lemparanku sempurna tanpa kecacatan. Sesuai prediksi, tusuk lidinya berhasil masuk walau aku melemparnya dari jarak sepuluh kaki.

Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari minuman dingin dari pedagang kaki lima di sekitar. Aku sedikit haus setelah mampir ke monumen nasional tiga jam yang lalu.

Tahun ini, tepat sudah lima belas tahun semenjak aku diresmikan menjadi seorang polisi. Berprofesi sebagai polisi, menjadikanku jarang mengunjungi tempat kelahiranku sendiri. Aku bukannya lupa diri, sampai tidak mau menjenguk keluarga kandungku. Hanya saja, sekarang aku orang sibuk, persis seperti Papaku waktu itu, yang selalu cosplay jadi Bang Toyib yang nggak pulang-pulang. Aku benar-benar mengikuti jejak karirnya.

Saat mendapat cuti, alih-alih langsung pulang menemui Mama dan Papa, aku malah iseng membelokkan destinasi ke monumen peringatan yang dibangun pada tahun 1961, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno—Monas. Aku ingin mengobati rasa rindu. Mengenang berbagai kenangan masa lalu yang tak pernah raib dalam benakku. Sewaktu aku masih kecil, Papa sering mengajak kami sekeluarga pergi ke sana. Papa selalu membawa kami setiap tahunnya. Tidak lupa mengabadikannya dalam foto, sebagai bukti perkembanganku dan Adikku yang perlahan beranjak dewasa. Kami selalu ke sana. Dari umurku yang masih berusia dua bulan, belum bisa bicara, ataupun berjalan.

Sekarang, aku mengunjungi tempat itu sendirian, mengilasbalikan memori yang terkubur dalam ingatan. Aku memang rindu mengunjungi tempat itu bersama-sama, tapi masa lalu hanya bisa dikenang, bukan diulang.

Lagi pula sekarang aku sudah dewasa. Aku sudah bekerja, aku sudah punya rumah yang kubeli hasil dari jerih payahku sendiri. Aku sudah bisa memasak, aku bisa bertanggung jawab, aku bukan penakut lagi. Satu-satunya hal yang belum terjadi dalam proses pendewasaanku hingga saat ini adalah kenyataan bahwa aku belum menikah.

Aku mendudukkan diri di bangku panjang di bawah pohon rindang, setelah membeli air putih dingin yang ada manis-manisnya.

Cuacanya panas sekali, padahal sudah lewat tengah hari. Aku memang naik taksi dalam perjalanan dari monas ke sini. Niat awalku naik taksi, adalah supaya aku bisa menghindari radiasi sinar ultraviolet yang akan merusak kulit. Tapi aku kena apes. Supir taksinya seorang kakek-kakek, yang walau sudah tua, ia masih harus tetap mencari nafkah. Aku nggak keberatan soal dia yang membawa mobilnya pelan-pelan, dan penuh kehati-hatian, justru menurutku dia sudah melakukan hal yang benar, safety number one kawan. Cuma yang jadi masalah, si kakek ini tidak menyalakan pendingin di mobilnya. Sebenarnya aku mau meminta, tapi aku takut si kakek nggak kuat dingin. Aku takut dia jadi menggigil. Jadilah aku menahan gerah, sumpek, dan sesak selama perjalanan. Mana pula jarak antara monumen dan rumahku itu agak jauh. Jadilah aku mampir ke taman ini dulu karena aku mau mendinginkan pikiran.

Eh, nggak juga sih. Alasan sebenarnya aku mampir ke sini itu karena aku malas  pulang ke rumah. Aku malas beradu argumen dengan Mama dan Papa yang terus memaksaku untuk mencari pendamping hidup. Kalau aku masih belum mendapatkannya, maka merekalah yang akan mencarinya.

Aku tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, karena sebetulnya mereka cuma khawatir aku tidak menikah tepat waktu. Semakin tua, semakin sulit juga mencari pasangan. Mereka memberikan aku pilihan untuk mencarinya sendiri, tapi sampai sekarang, belum ada laki-laki yang kuperkenalkan pada mereka. Yang mana membuat mereka beranggapan kalau aku tidak becus mencari suami.

Menurutku sih, jodoh nggak kemana. Ngapain di cari, kalau bisa dateng sendiri?

Drtt drtt

Ponselku bergetar, menandakan adanya panggilan masuk. Tanpa melihat nama kontak si penelpon, aku segera menggeser layarnya ke kanan, dan mendekatkannya ke telinga.

"[Name]! Gimana perkembangannya? Undangannya udah kamu bagiin ke temen-temen kamu?" Si lawan bicara menghamburkan tanya padaku dengan semangat berapi-api, tanpa salam yang mengawali perbincangan kami.

"Sudah. Tenang saja. Aku tau kamu gugup, tapi aku yakin pernikahannya akan berjalan lancar." Aku menjawab si pria, sekaligus memberikan kalimat penyemangat.

"Aku gugup, tapi aku juga nggak sabar! Kamu jangan sampai terlambat. Tanpa kamu, pernikahannya nggak bisa dimulai!" Ini sudah ketujuh kalinya si pria mengingatkan aku.

"Aku tidak akan terlambat. Percayalah." Aku tau kalau aku orang penting, tidak mungkin aku akan menterlambatkan diri. "Lagi pula hal ini jugalah yang kutunggu-tunggu."

Aku melirik jam tanganku, pukul dua lewat empat puluh menit. Sepertinya aku harus kembali ke rumah, kalau tidak mau dimarahi Mama.

"Baiklah, sampai sini dulu ya, aku harus pulang. Sampai jumpa di pelaminan, Rimba." Sebelum aku mendengar jawaban, aku sudah menutup sepihak panggilan suaranya.

Oh benar. Kalian nggak salah lihat. Pria yang barusan menelponku memang Rimba. Benar-benar Rimba. Bukan arwah ataupun setan. Itu Rimba, teman satu SMAku dulu.

Heran ya? Sama. Aku juga. Entah amalan baik apa yang Rimba lakukan sampai membuatnya masih hidup walau sudah kehilangan sejumlah darah. Tapi aku bersyukur waktu mendengar kabar ia masih bernapas, meskipun harus dibantu oleh alat-alat medis.

Semenjak insiden 'itu', aku dan Rimba menjadi dekat secara natural. Ia menganggap dirinya berhutang budi padaku. Aku sudah bilang tidak perlu sejauh itu, tapi dia tetap bersikukuh.

Yasudahlah, aku pribadi sebetulnya cukup senang. Tapj yang lebih menggembirakan, sebentar lagi, Rimba akan menikah. Tentu saja dengan wanita lain. Ia akan menikah dengan wanita yang ditemuinya di kantin rumah sakit sewaktu ia dirawat dahulu. Dan Rimba bilang, ia mengundangku sebagai tamu penting. Ia berpikir kalau tidak ada aku, dia tidak akan bisa hidup sampai sekarang, apalagi sampai menikah. Jadi dia menegaskan, kalau aku tidak ada, maka dia akan menunda pernikahannya.

Itu cukup bodoh, aku pernah memarahinya waktu dia bilang begitu. Tapi dia sangat keras kepala, memepertahankan pendiriannya. Aku jadi berakhir menyetujuinya, karena selain malas berdebat, aku juga yakin kalau aku tidak akan datang terlambat. Rimba sudah kuanggap sebagai saudara laki-lakiku. Aku pasti akan datang ke pernikahannya.

Dengan percaya diri dan penuh keyakinan, aku melempar botol plastik yang telah kosong sambil menutup mata. Aku tersenyum senang saat lagi-lagi mengenai sasaran. Oke, aku tidak boleh terus menunda-nunda. Aku harus pulang sekarang.

Bersamaan dengan berdirinya kedua kaki, angin kencang menghantam wajahku, menerbangkan rambutku ke udara. Aku mengabaikannya. Sekarang rambutku pendek, jadi aku tidak perlu repot-repot mengikatnya atau menyelipkannya di belakang telinga karena semilir angin menerpa.

Baru lima langkah berjalan, aku kembali terhenti karena tangan yang menahan pundakku.

Tanpa ragu, aku membalikkan badan ke belakang, mewajahi si penghenti perjalanan.

Oh ... wajah ini keliatan familier. Rambut biru alami dengan segelintir surai putih di dalamnya. Tubuh tegap tinggi, seperti rata-rata pemuda laki-laki. Mata sebiru ombak di lautan, yang selalu berhasil menenggelamkanku jauh ke dasar.

"Long time no see, [Name]." Pemuda itu menatapku dalam, menampilkan senyum senang.

Aku menyerigai. Kutunjukkan padanya lencana kepolisianku. Dan dengan tegas, aku berseru, "Anda kembali ditahan! Tuan Beliung."

TAMAT

Horeee tamatt🥳🥳🥳 akhirnya kubikin open ending hehe, jadi kalian bebas berimajinasi lanjutannya yaa. Kalau lanjutan dari book ini sendiri, mungkin kapan-kapan aku buat bonchapnya. Cuma gak tau kapan. Jangan ditungguin ya😔

Anyway makasihh banyak banyakkk yang udah baca dan support book inii, it means a lot for mee <3

Sebetulnya aku udah ada beberapa ide buat next book sih, cuma gatau kapan bisa teralisasi. So buat yang mau req chara x reader mungkin, entah itu boel, fusion, atau boy ori boleh komen ajaa, kalau lagi senggang bisa jadi aku buatt

Okayy sampai ketemu di book selanjutnya yaaa

Perlahan Sirna || Beliung x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang