Sial. Aku menggerutu. Aku sudah terlambat 15 menit dari jadwal upacara pembukaan.
Ini semua bermula saat Ying merekomendasikan aku salah satu drama Korea dengan 3 season yang tiap seasonnya kurang lebih punya 24 episode. Karena penasaran, aku jadi lupa waktu dan menghabiskan berjam-jam dengan mengurung diri di kamar; maraton drakor. Semalam, aku resmi menamatkan season ke-3nya tepat pada pukul 4 subuh. Aku keasikan menonton, sampai lupa bahwa hari ini adalah hari pertamaku menuntut pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Jika aku bertemu dengan Ying nanti, akan kupastikan dia mendapat pukulan di wajahnya.
Aku menaikkan kedua kakiku di atas pedal sepeda, lantas mengayuhnya dengan cepat, melaju menuju tempat menimba ilmu di pinggir jalan raya. Aku kesulitan menyalip, jalanan begitu ramai dikarenakan ini hari senin pagi. Lalu-lintas terlalu padat. Meski begitu, aku tidak melihat adanya polantas yang membenahi ramainya pusat kota.
Ini buruk. Aku memang tidak akan dikeluarkan dari sekolah hanya karena terlambat di hari pertama. Tapi aku tidak bisa menghindar untuk tidak menjadi buah bibir panas di angkatanku, di kalangan kakak kelas, bahkan di ruang guru. Aku membayangkan wajahku yang akan dicetak seukuran kertas A4, memakai font Comic sans bold pada bagian bawahnya, dan akan terpampang secara nyata di mading sekol—TIDAK.
Aku memcengkram stang sepeda, dan mengayuh pedalnya lebih kencang. Adakala rantai sepedaku berderit, menandakan bahwa aku jarang melumasinya dengan oli. Sekilas, aku melirik smart watch yang tersemat di tangan kiri; pukul 07:27. Baiklah. 3 menit, sebelum gerbang benar-benar ditutup. Itu lebih dari cukup.
Dari dulu, sepeda sudah menjadi sarana transportasi favoritku. Waktu kecil, aku dan dua temanku sering berlomba untuk membuktikan siapa yang paling cepat—walau aku senantiasa menjadi juara dua. Kami berpetualang ke seluruh penjuru kota, berangkat saat fajar dan pulang saat senja. Sayangnya, kami sudah lost contact semenjak lulus SD. Kalau sekarang, paling aku CFD-an sendiri tiap minggu pagi.
Hanya perlu melewati satu traffic light, melaju beberapa ratus meter ke depan, lalu sampai. Itu mudah. Jika memang tidak ada hambatan lain.
Di tempat ini, yang bisa kudengar hanyalah deru knalpot motor dan mobil yang saling saut-menyaut. Itu normal. Lumrahnya memang begini keadaan jalan raya waktu weekdays. Bersamaan dengan siswa-siswi yang berangkat sekolah, para pekerja kantoran yang berangkat kerja, para pedagang juga mulai berangkat mencari nafkah.
Tapi ada satu bunyi yang cukup mengusik telingaku. Bunyinya nyaring. Aku memang tidak punya waktu untuk menengok dan melihat, tapi aku meyakini kalau itu adalah bunyi knalpot motor yang sudah dimodifikasi.
Tadinya kupikir terlambat ke sekolah di hari pertama, dan desak-desakan di jalan raya adalah kesialan terakhirku pagi ini. Tapi nyatanya, tepat setelah aku mendengar deru knalpot super nyaring itu, aku mendengar suara klakson susul-menyusul. Dilanjut sorakan-sorakan gusar dari para pengguna jalan. Di belakang ada apa sih? Copet?
Suaranya berisik sekali. Aku berencana menengok jika suara-suara itu tak kunjung berhenti. Namun naas, detik berikutnya, permukaan kasar dari body motor sport fairing—atau kerap kali disebut motor ninja— bergesekkan langsung dengan kulitku. Gaya dorong mendadak dari arah kanan menjadikanku tehempas dan terjatuh di sisi kiri jalan.
Seragamku kotor. Banyak tanah dan debu yang menempel pada tiap jengkal kainnya. Sial. Baju putih itu susah sekali dicuci kalau kena kotor begini. Persis ketika aku mendongak, kepulan asap knalpot dari motor yang menabrakku barusan, memuntahkan emisi gas karbon monoksidanya tepat di wajahku.
Aku terbatuk. Tanganku tergerak bebas di udara, mencoba mengurangi asap dengan mengipas-ngipasinya. Aku tidak bisa bernapas dengan benar. Aku terlalu lama menghirup gas polutan. Kekurangan oksigen menyebabkan jantungku memompa darah lebih cepat, wajahku rasanya memanas karena tekanan darahku melonjak naik. Aku mencengkram rok biru yang kukenakan, membuat beberapa kuku jariku kemasukan tanah.
Aku mendongak lagi. Mencari si pelaku tabrak lari. Mataku bergulir ke segala arah. Mencari-carinya di antara himpunan pengguna jalan. Oh, ketemu. Aku melihatnya, di sisi kiri, tepat di belakang lampu lalu lintas. Berhenti karena menunggu warna merah tergantikan dengan warna tas sekolahnya; hijau.
Aku mengunci pandanganku padanya. Pada motornya. Pada plat nomernya. Aku mengambil napas dalam-dalam, merasakan gairah berang merasuki tiap saraf-saraf tubuhku.
"WOI BANGSAT! BISA BAWA MOTOR GAK?" Aku meneriakinya. Tangan kananku terulur ke aspal, memunguti batu-batu kerikil yang berserakan, dan melemparkan batunya satu demi satu. Lemparanku payah. Banyak yang meleset. Tapi aku yakin ada satu atau dua batu yang lolos mengenai kepalanya.
Lelaki itu memutar lehernya, memandangiku sekejap. Matanya memincing, pupil matanya bergerak memindaiku dari atas ke bawah. Menatapku sinis.
Ting
Lampu berganti warna. Tanpa sepatah kata, lelaki itu kembali menaruh pandangannya pada aspal. Mengeratkan pegangannya pada karet stang, menarik gasnya dan mulai melaju dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya. Dia mencampakkan aku. Tanpa satu pun embel-embel kata maaf. Tidak bisa dimaafkan!
Aku menepuk-nepuk seragamku, meminimalisir kotoran yang menempel padanya. Lalu mendirikan sepedaku yang terpental ke ujung trotoar. Aku kembali menaikinya. Aku sudah bersepeda sejauh ini. Aku hampir sampai. Aku tidak mungkin kembali ke rumah, Mama akan mengamuk jika menemukan keadaanku yang seperti jelmaan tikus got. Dia juga akan tambah marah kalau tau aku membolos di hari pertama aku sekolah.
Lagi pula sedikit lagi aku sampai ke destinasi tujuan, jadi mengapa aku harus kembali ke titik nol hanya karena halangan dari seseorang?
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Setelah memohon-mohon pada pak satpam dan menyogoknya dengan sebungkus kopi hitam bersama gorengan-gorengannya, aku akhirnya diperbolehkan masuk. Katanya perbuatanku—terlambat di hari pertama masuk—masih bisa dimaafkan karena aku peserta didik baru. Tapi jika hal ini terulang lagi, maka aku harus membuat surat pernyataan berbuat salah minimal 3 lembar.
Aku menyelinap masuk di antara barisan siswa siswi berseragam putih biru. Tinggi badan mereka semua tidak jauh beda, tidak sulit bagiku untuk membaurkan diri ke salah satu barisan. Aku memilih barisan yang paling dekat dengan pintu masuk. Aku tidak tau barisan ini disusun sesuai dengan asal sekolah atau apa, tapi yang jelas, barisan ini bukan asal sekolahku. Aku tidak melihat Ying atau kenalan-kenalan lamaku di antara rombongan anak SMP yang baru lulus ini.
Aku menghela napas peluh. Setelah semua yang ku lewati, akhirnya aku berhasil tiba di sekolah. Walau terlambat empat puluh lima menit.
Aku mengusap siku kiriku. Hanya karena aku langsung kembali menaiki sepeda dan bergegas menuju kemari, bukan berarti aku tidak terluka. Aku hanya tidak punya waktu untuk sekedar merasakan sakit yang menjalar di seluruh tubuh. Sakitnya baru terasa sekarang.
Aku menyikap lengan bajuku. Lenganku terluka. Lenganku yang pertama menahanku ketika aku terjatuh. Tapi itu membuat jaringan kulitnya robek karena tergores oleh aspal. Lukanya tidak parah, hanya lecet-lecet biasa dengan darah yang sudah mengering di sekelilingnya.
Rasa nyeri kembali menyeruak di area lututku. Sepertinya kakiku terluka karena terjatuh pada area yang penuh dengan batu-batuan tajam. Aku memakai rok sepanjang mata kaki, jadi aku tidak bisa sembarangan membuka untuk melihatnya.
Setelah upacara selesai, mungkin aku akan izin ke toilet untuk mengecek kondisi tubuhku, sekaligus meminta obat merah dan plaster pada panitia. Aku tidak tau di mana letak UKS, aku tidak menghapal denah sekolahnya.
Upacara akan selesai sebentar lagi. Dari awal, aku sudah melewatkan bagian pengibaran bendera, sekarang tinggal menyanyikan lagu nasional dan menunggu doa saja.
Kakiku bergetar, aku baru ingat kalau aku belum sarapan. Telingaku berdenging. Oh, gawat. Ini gejala orang mau pingsan. Semisal aku pingsan dan ditolong oleh kakak kelas ganteng blasteran Belanda sih, aku tidak keberatan.
Aku masih berdiri tegak kala seluruh peserta upacara tengah menyanyikan lagu Tanah airku ciptaan Saridjah Niung—Ibu Soed. Tadinya aku berpikir bahwa aku cukup mampu untuk bertahan sampai berakhirnya upacara, sebelum mataku mendadak kehilangan titik fokusnya. Pandanganku mengabur dan menggelap secara perlahan.
Dengingan pada telingaku mendominasi pendengaran. Kakiku gemetar, menandakan tak lagi mampu untuk menopang bobot tubuh. Tubuhku terhuyung ke samping. Aku tak bisa lagi merasakan seluruh anggota tubuhku. Aku pingsan. Tepat pada saat lagu Tanah airku selesai dinyanyikan.
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
KAMU SEDANG MEMBACA
Perlahan Sirna || Beliung x Reader
أدب الهواة「Beliung x Reader」 Aku siswi SMA ceroboh yang terlambat di hari pertama masuk sekolah, dan berujung ditabrak pengendara motor amatir yang belum punya SIM. Kecerobohan sepele pagi itu, membuatku harus berurusan dengan pemuda berisik yang terus mengi...