10

192 33 8
                                    

Tangan kiriku setia memegangi pinggangku yang nyeri-nyeri. Bukan cuma pinggang, aku pun merasakan hal yang sama pada kedua kakiku. Kakiku cenat-cenut, digerakkan sedikit saja, rasanya kayak dibelah dua.

Keringat bercucuran dari dahiku, pertukaran oksigen ditubuhku tidak tercipta dengan baik, karena aku mengambil napas dan membuangnya dengan cepat berulang kali; aku ngos-ngosan. Mataku sayu, aku mengantuk, karena harus terjaga sepanjang malam.

Aku menggunakan staminaku untuk berolahraga semalaman. Dan sialnya, aku tetap harus memakai sisa staminanya untuk melanjutkan kegiatan itu pagi ini.

"Aduh! Liung, pelan-pelan!" Aku mengaduh, menatap sinis pada Beliung.

Beliung ini hatinya ada di mana sih? Sudah tau aku masih sakit, masih saja mendorongnya kencang-kencang. Tenaganya Beliung bukan main, dia terlalu bersemangat, aku tidak mampu mengimbangi permainannya. Kendati begitu, aku tetap berusaha mempertahankan posisiku.

TAK!

"ADUH, ANJING!" Aku berteriak kesakitan, semasa Beliung berhasil menaklukan aku. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Aku menunduk dan meratapi rasa sakitnya yang luar biasa.

"Eh, maaf-maaf. Aku kekencengan, ya?" Beliung panik melihat aku yang kesakitan, ia meminta maaf.

"Lagian, kamu tiba-tiba banget ngajak aku adu panco." Beliung menarik tangan kananku yang belum lama terbanting ke dekatnya, ia mengelus-ngelusnya lembut.

Aku menenggelamkan wajahku pada tangan kiri yang kulipat di atas meja, sembari meredakan sakitnya. Sejauh ini, sudah tiga orang yang kuajak adu panco. Yang pertama, aku mencobanya dengan Gopal, aku menang dengan mudah. Yang kedua, aku mencobanya lagi dengan Ice, anak lelaki pendiam yang duduk di paling belakang, dan aku memenangkannya lagi.

Tapi saat aku menantang Beliung, aku menggagalkan tiga kemenangan berturut-turut, aku kalah. Aku tidak terima, jadi aku minta rematch, tapi walau sudah empat kali mengulang, aku tetap tak kunjung menang, dan punggung tanganku harus berakhir kesakitan karena dibanting berkali-kali. Mana dibantingan yang terakhir itu kencang sekali, aku yakin Beliung pasti sengaja.

Ying brengsek. Aku tidak akan sejauh ini kalau bukan karena dia yang diam-diam mendaftarkan namaku pada lomba tarik tambang. Aku marah-marah waktu tau, tapi kata Ying, jumlah anggotanya sudah pas, jadi nggak bisa diganggu-gugat lagi. Intinya, aku sudah tidak bisa mengundurkan diri.

Aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri, jadi sudah kuputuskan, kalau aku akan membuktikannya, pada Ying, dan pada semua orang, kalau aku juga bisa.

Aku mulai berolahraga dari dua hari yang lalu—karena Ying sengaja memberi tau soal pendaftarannya mepet-mepet. Masalahnya, dari semasa aku kecil, aku tidak suka berolahraga. Jadi ketika aku mulai olahraga siang-malam, ototku jadi tegang, dan berakhir sakit-sakit.

Apalagi waktu Beliung mulai sering mengantar-jemputku ke sekolah, aku mulai jarang naik sepeda. Kini aku menyesalinya, aku janji akan mulai bersepeda ke sekolah lagi saat masuk kelas tiga.

Pada lomba ini, nama kelasku, dan harga diriku dipertaruhkan. Aku tidak mau kalah, walau ini hanya sebatas event classmeet. Jadilah aku begadang untuk menguatkan otot-ototku yang tidak pernah terlatih, termasuk mengajak adu panco beberapa teman sekelasku pagi ini, supaya otot lenganku nggak letoy-letoy amat waktu menarik tali. Malangnya, sekarang justru tanganku ikutan nyeri.

Aku mengangkat separuh wajahku, menyembulkan mata. Aku melihat Beliung yang juga melihatku dengan tatapan khawatir.

Aku mengangkat wajahku sepenuhnya. "Tega ya kamu. Tanganku sakit nih." Itu nggak hiperbola, tanganku beneran sakit. Tapi aku mau membuat Beliung semakin merasa bersalah.

Perlahan Sirna || Beliung x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang