11

232 41 1
                                    

Aku menahan geli, lantaran tekstur halus dari helaian rambut yang menggelitik leherku. Aku nggak bisa bergerak. Aku takut kalau aku bergerak, aku akan membangunkan pria—yang sebetulnya agak kurang ajar—di bahu kananku.

Aku menenggelamkan kesadaranku dalam lautan memori. Aku mengingat-ngingat, memangnya sejak kapan dia jadi sedekat ini denganku, hingga ia bisa mengakuisisi bahuku sebagai tempat sandarannya?

Aku bingung. Aku nggak yakin kenapa aku mau-mau saja. Padahal aku bisa menolak, atau minimal mengata-ngatainya sewaktu dia baru menyandarkan diri. Tapi aku tidak melakukannya. Aku yakin kalau aku berniat menolak, tapi mulutku justru diam membisu. Kira-kira kenapa ya?

Aku merasa ... kalau aku nggak sedekat itu dengan Beliung. Kupikir hubungan kita hanya sebatas teman sekelas. Beliung tidak pernah secara blak-blakan mengatakan kalau ia suka aku. Dan aku pun tidak.

Aku nggak mau terlalu percaya diri. Tapi Beliung, walau nggak mengatakannya secara langsung, tindakannya menjelaskan semuanya. Aku nggak sebodoh itu untuk tidak tau kalau Beliung lagi caper. Pengalamanku banyak. Beberapa lelaki yang dulu kupacari semasa SMP juga sebelas duabelas. Mereka cari muka.

Hanya saja, apakah selama ini aku meladeni Beliung dengan alasan yang sama seperti aku meladeni cowo-cowo di sekolahku dulu? Apakah ... aku meladeninya karena aku bosan hidup monoton? Apa aku hanya menganggapnya sebagai pelampiasan?

Dengkuran halus tertangkap oleh panca indraku. Syukurnya, dia tidak terbangun walau aku menolehkan kepala. Dia pulas sekali, kayak abis begadang semalaman. Aku jadi nggak tega mau membangunkannya.

Tangan kiriku tergerak menyusuri rambutnya. Rambut Beliung terlalu menggoda untuk tidak disentuh-sentuh. Beliung bergerak ketika aku mengelus kepalanya, ia mencari posisi yang nyaman supaya bisa bersemayam di sana untuk waktu yang lama. Ketika dia bergerak, rambutnya kembali menggelitik leherku, tapi kali ini, aku tidak menahannya, aku terkekeh geli.

Tidak. Kurasa, untuk yang kali ini aku serius. Aku meladeninya karena terdorong perasaan. Aku tidak punya alasan untuk membencinya. Aku tidak punya alasan untuk mempermainkannya. Aku tidak punya alasan untuk meninggalkannya. Tapi aku punya alasan mengapa aku mencintainya.

Mendadak, Beliung menggeliat di bahuku. "Aku maunya punya anak cowo." Ia berkata sayu.

Hah? Lagi mimpi apa dia?

Aku menyeringai. Aku tertarik menyauti ucapannya. "Kalo aku sih, maunya punya anak cewe."

Beliung bergerak-gerak lagi, ia mendesah tak nyaman. "Tapi punya anak cowo itu lucu [Nameee]." Beliung memprotes.

"Lah, siapa yang bilang aku mau punya anak sama kamu?" Aku membalas sengit.

Beliung reflek melotot, ia bangun dari bahuku dan menatapku sambil cemberut.

Aku tertawa singkat. "Iya, iya, aku bercanda." Tanganku menyuruh Beliung untuk kembali menaruh kepalanya di posisi semula. Aku menahannya dengan tangan agar ia tetap di sana. "Emang kalo punya anak cewe sama aku, kamu gamau?"

Beliung tidak menjawab, ia malah menenggelamkan wajahnya di bahuku, sembari menggeliat kecil. Aku bahkan bisa merasakan deru napasnya yang menerpa kulitku.

Aku heran. Memangnya si Beliung ini nggak malu apa, dijadikan bahan tontonan teman sekelas? Apalagi dijadikan bahan ledekan. Contohnya oleh Blaze; ia sudah lima kali pura-pura buang sampah ke luar kelas, dan saat ia melewati kami untuk kembali ke bangkunya, mulutnya meledek begini, "cie cieee, pasangan baru netes nih yee." Kali kedua dia lewat, kalimatnya termodifikasi, "gak nyangka anak Papa udah gede, udah punya cewe. Pj dong pj." Aku tidak sanggup memberitau semua kalimatnya. Aku kesal, mulutku menahan rasa gondok.

Sebenarnya aku tidak begitu mempermasalahkannya. Aku pribadi juga malas kalau harus duduk sendirian sepanjang hari. Inilah akibatnya kalau berteman dengan anak OSIS. Hobinya menghilang entah kemana, padahal sudah mau jam pulang.

Aku menyandarkan kepalaku di atas kepalanya Beliung. Aku jadi ikutan ngantuk. Aku mengabaikan suara-suara riuh di belakang, dan memilih menikmati aroma rambut di bawah kepalaku.

"Halo [Name]? permisi."

Aku tadinya mau ikutan tidur, aku sudah memejamkan mata, tapi panggilan dari seseorang menggagalkan rencanaku.

Aku membuka sebelah mataku, untuk melihat siapa gerangan yang berani-beraninya mengacaukan aksi tidur sore kami. Walau dengan satu mata, aku tetap bisa melihatnya dengan jelas. Orang itu, Sai. Rekanku di ekskul fotografi.

"Oh, ya. Kenapa?" Aku menjawabnya ogah-ogahan. Dia bukan orang yang harus dihormati secara formal. Dia tau kelakuan-kelakuan jelekku, jadi aku tidak perlu sungkan.

"Kamu, kita, dan seluruh anggota ekskul, diminta mendatangi ruangan samping perpustakaan lantai satu. Sekarang." Sai mengumumkan. "Ada yang mau dibahas."

Aku memutar bola mataku. Aku malas. Pasti pembahasannya soal pembagian area foto saat acara agustusan nanti. Aku harap, aku kebagian memfoto-fotoi lomba bola bekel, agar aku tak perlu cape-cape lari ke sana ke sini untuk mengikuti peserta.

Aku menghela napas, "Aku malas. Absenkan aku ya. Bilang aja, [Name] sakit." Aku kembali memejamkan mata.

Cekrek

Mataku melotot kala mendengar suaranya. Aku bergegas menatap Sai, menunggunya klarifikasi.

"Kamu pilih ikut aku sekarang atau," Sai menunjukkan foto di galeri ponselnya. Foto itu baru saja diambil. Fotoku, dengan Beliung. "Akan kusebarkan foto ini."

Aku menggertakkan gigi. Sialan si Sai. Bisa-bisanya aku diancam begini. Aku mendadak berdiri. Kelakuan mendadakku membuat Beliung terkejut, dia linglung karena baru bangun tidur.

"Maaf Liung. Kapan-kapan lagi ya! Aku ada urusan!!" Aku agak berteriak supaya Beliung masih bisa mendengar suaraku yang menjauh dari kelas. Aku sama sekali tidak sempat untuk melihat raut wajahnya. Aku keburu berlari mengejar Sai yang sudah turun ke lantai satu dengan kecepatan sepatu super.

Aku harap Beliung nggak ngambek karena aku meninggalkannya tiba-tiba.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Aku kebagian memfoto lomba makan kerupuk. Yah, itu lumayan. Walau areanya lebih luas dari pada area lomba bola bekel, seenggaknya para peserta tetap diam di tempat.

Aku menaiki sepedaku dan menaikkan standarnya. Cahaya oranye mendominasi jumantara, atmosfer teduh menyelimuti bentala. Ini sudah lewat dari jam pulang biasa, aku harus pulang sedikit terlambat karena rapatnya lebih lama dari yang kuduga.

Lelah sekali. Terlebih karena aku sudah memasuki kelas dua belas, banyak agendanya yang perlu kutuntaskan. Aku mau pulang. Aku mau makan masakan Mama sambil membicarakan harga pasaran minyak goreng yang naik, aku mau tidur-tiduran di kamar, menonton film sambil bergulung dalam selimut.

Tapi di lain sisi, aku juga tak sabar menjalani hari esok. Aku nggak sabar ke sekolah lagi. Aku mau kembali duduk bersama Ying dan melanjutkan obrolan kami yang tertunda, aku mau membeli dan memakan siomay batagor kantin lagi, dan aku masih mau mesra-mesra dengan Beliung, aku masih ingin mengelus kepalanya.

Aku mengayuh sepedaku sesudah keluar dari parkiran. Aku mengayuhnya pelan. Aku menikmati silir-semilir angin yang menerpa wajahku, menerbangkan sejumlah helaian rambut yang kubiarkan tergerai.

Aku mendongak menatap langit, melihat burung-burung yang terbang bergerombol menghiasi luasnya angkasa.

Suasana damai ini ... aku menyukainya.

Hidup begini nggak buruk. Memang lelah, tapi juga menyenangkan. Aku cukup menikmati kehidupanku yang sekarang. Aku berharap, rasa damai dan tenang ini pun akan terus berlangsung. Besok, dan sampai seterusnya.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Perlahan Sirna || Beliung x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang