01 • Keluarga?

58 11 6
                                    

Bagaikan sebuah soundtrack yang familiar didengar tetapi begitu menyakitkan, suara menggelegar dari dua orang berbeda jenis kelamin di balik pintu masuk menuju tempatku berpulang dari sekolah memenuhi pendengaran. Muak. Setiap hari mulut-mulut kedua orang tuaku yang saling beradu suara menjadi teman yang tak pernah pergi dari telinga.

Aku berdiri mematung di ambang pintu, menyaksikan mereka saling melontarkan hinaan dan tuduhan. Hatiku sakit dengan setiap kata-kata penuh kebencian dan tidak bisa menahan diri untuk tidak tersentak setiap kali suara mereka meninggi karena marah. Bahkan melihat kedatanganku sekalipun, mereka tidak pernah menghentikan perdebatan yang tidak ada habisnya.

Langkahku pelan, tertunduk kepala ini saat melewati keduanya yang masih saling tunjuk sambil terus saling menghina. Namun, kaki ini terhenti ketika suara berat Ayah berkata, "Mau ke mana kamu?"

"Mau ke mana lagi, Yah? Ya masuk kamar." Aku menjawab malas.

"Anak gak tau diri! Pulang sekolah bukannya beri salam dan cium tangan malah merengut dan main pergi gitu aja. Di mana sopan santunmu sama orang tua?" Ayah berkata demikian dengan suara baritonnya.

Sial. Ini bukan salahku. Bukan salahku jika tidak ingin menginterupsi pertengkaran mereka. Namun, ini juga sudah biasa menjadi makanan sehari-hari menjadi pelampiasan amarah Ayah setiap kali ia bertengkar dengan Ibu. Dia hanya mencari-cari alasan, menganggap hampir setiap hal yang kulakukan sebagai kesalahan agar dia punya alasan untuk menumpahkan emosinya yang belum tuntas.

Aku terdiam tidak menanggapi. Ibu yang menyaksikan ini pun segera mengambil alih. Lagi-lagi dia mengacungkan jari telunjuknya pada Ayah seiring dengan bibirnya yang berucap, "Jangan mengalihkan emosi pada anakmu! Dia tidak salah apa-apa!"

"Salah! Pasti kamu gak mendidik dia dengan benar makanya jadi kurang ajar. Gak becus jadi Ibu!"

"Ngaca dulu kamu sebelum bicara! Memangnya kamu Ayah yang baik buat dia? Kamu juga gak becus jadi Ayah!"

"Ini nih alasan aku cari perempuan lain buat dinikahi, karena kamu emang cuma bisa ngeluh! Jadi istri gak guna!"

"Kamu jadi kepala keluarga juga gak ada bener-benernya! Bisanya cuma nyalahin tapi sendirinya keluyuran cari banyak wanita!"

"CEWEK SIALAN NGOMONG SAMA SUAMI YANG BENER!"

"UDAH CUKUP!" Aku berteriak, mataku memanas melihat pertengkaran keduanya yang tak ada habisnya. "Kalian gak capek tiap hari bertengkar? Kalian kalau udah gak ada niat buat bersama mending cerai! Aku lebih sudi liat kalian cerai daripada kayak gini! Punya orang tua tapi gak kerasa kayak orang tua! Nyebelin!"

Oh, tidak. Entah keberanian dari mana aku sampai menyerukan beberapa kalimat panjang dan mengutarakan isi hatiku tersebut. Mataku membulat, mulai berkaca-kaca seiring dengan melihat ekspresi Ayah yang sudah memandangku dengan melotot. Wajahnya tampak memerah, mungkin karena emosinya yang semakin memuncak akibat perkataanku tadi. Yang jelas, suasananya semakin kacau ketika Ayah melangkah mendekat hingga tubuh tingginya menjulang di hadapanku dan melayangkan satu tamparan keras di pipi.

Air mataku jatuh tanpa harus berkedip, rasa panas dan perih menjalar di pipi bagian kanan, tanganku bergerak spontan menyentuh pipi yang sekarang berkedut nyeri tersebut. Aku mendongak sesaat, hanya untuk melihat Ayah kembali mengangkat tangan untuk memberikan tamparan kedua kalau saja Ibu tidak menghalang. Tangan Ayah dipegangi oleh Ibu, suara isak tangisku bercampur dengan tangisan Ibu setelah melihatku mendapatkan kekerasan.

"Dasar anak durhaka!" Ayah berseru murka.

Sebelah tangannya yang bebas mendorong Ibu dengan kuat hingga membuatnya jatuh ke lantai. Setelahnya Ayah menjadi lebih bebas menjambak rambutku dan menarikku pergi hingga ke halaman samping rumah. Di sana terdapat sebuah kolam lele. Dengan mudahnya Ayah mengangkat tubuhku dan melemparku ke sana. Bisa kurasakan ada banyak ikan lele berukuran besar mulai mengerubungiku. Ikan menggelikan ini membuatku merasa jijik, tetapi aku rasa itu lebih baik dibandingkan dengan rasa sakit karena Ayah sekarang mulai melempariku dengan batu dari atas sana.

Ibu histeris, mendekat dan mencoba menghentikan Ayah meski harus mengorbankan dirinya menjadi sasaran pukulan. Suara tangisku dan ibuku menggema, menjadikan suasana di tempat itu ramai dan mengundang kehadiran para tetangga untuk menonton. Ayah sepertinya tidak suka menjadi tontonan, dia berhenti dari aksinya setelah mendorong Ibu jatuh ke tanah.

"Punya istri dan anak cuma bikin kesal aja!" umpatnya lalu melenggang pergi ke dalam rumah.

Aku pernah mendengar dari seorang guru di sekolah bahwa kehidupan bertetangga yang baik akan memberikan kebaikan kepada kita. Namun, perbuatan baik Ibu dan aku ke sekitar rupanya tak cukup untuk membuat hati tetangga tergerak membantu. Mereka malah secara terang-terangan berbisik-bisik ke siapapun yang berdiri di sebelah mereka sambil terus menonton Ibu yang sekarang sudah membantuku naik dari kolam lele yang cukup dalam.

Rok abu-abu pendek selutut yang kukenakan sekarang basah, kotor oleh lumut-lumut yang menempel. Bagian atas seragam putih ini juga terkena cipratan, pun kotor akibat bebatuan basah yang dilemparkan. Ibuku memelukku begitu aku naik hingga ke tepian, dia menangis dan mengusap-usap rambut hitam panjangku sembari berkata, "Yang sabar, Nak. Yang sabar."

Air mataku semakin deras, tidak tahu harus menanggapi Ibu bagaimana. Yang jelas, telingaku mendengar suara motor dari garasi rumah. Motor itu terdengar semakin menjauh. Tidak perlu dipertanyakan itu siapa, sudah bisa kutebak dalam keadaan seperti ini Ayah akan pergi ke mana. Itu cukup menguntungkan karena rumah sekarang tinggal aku dan Ibu. Kami berjalan pelan, masuk ke dalam rumah dan aku segera pergi ke kamar. Membersihkan diri dan mencuci seragam sekolah yang aku tidak punya ganti untuk dipakai esok hari.

Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kulihat di sana Ibu sedang menggoreng tempe untuk dijadikan makan siang-ah, sore maksudnya. Aku mengambil nasi dari periuk dan satu potong tempe sudah cukup untuk dijadikan santapan sore ini. Ibu jelas duduk di samping kursiku dengan nasi dan lauk yang sama.

Aku memandangi Ibu beberapa saat, memperhatikan wajah tak muda lagi itu sembab bekas menangis lama. Napas panjang kuhela setelah beberapa sendok menyantap makanan, aku menatap Ibu dengan serius lalu mulai berbicara, "Ibuk gak ada niatan mau cerai sama Ayah?"

Seketika, Ibu berhenti menyendok makanan. Dia menatapku dengan ekspresi yang ... entahlah, tidak dapat kutebak atau kudeskripsikan. Dia hanya menanggapi ucapanku dengan membalas, "Makan makananmu aja jangan mikir macam-macam."

"Ini bukan mikir macam-macam, Buk. Tapi Ayah emang udah keterlaluan. Aku gak tahan punya Ayah kayak dia. Mending aku gak punya Ayah sekalian!"

"Natasya!" Ibu meninggikan suara. "Jaga mulut kamu. Gak boleh kayak gitu."

Aku berdecak sebal. "Kenapa? Karena aku seorang anak jadi aku harus menjaga ucapan sedangkan Ayah aja gak jaga ucapan, gak jaga kelakuan. Ayah gila, Buk. Sadar, dong. Ayolah cerai sama Ayah, Buk."

Hening. Ibu tertunduk dengan wajah sedih setelah pernyataan panjang dariku. Dia tidak berbicara apapun dan cepat-cepat menyelesaikan makannya lalu pergi dari dapur. Helaan napas panjang kembali aku keluarkan. Tanganku reflek menjambak rambut sendiri dan berteriak frustrasi. Sial. Aku benci keluarga yang menyakitkan ini.

.

01 Juli 2024

🌹Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang