12 • Pindah

24 5 0
                                    

Hari-hari berikutnya, tidak ada lagi gangguan di sekolah. Tiga orang perundung itu sudah tidak bisa lagi melakukan gangguan. Mungkin salah satunya dikarenakan ucapanku saat itu, anak-anak sekelas tidak lagi takut pada ketiganya dan justru mengucilkan mereka. Katanya sebagai balasan atas tindakan sok yang tiga orang itu lakukan di hari-hari sebelumnya.

Sebenarnya kemarin juga Elis di kantin sempat membuat kehebohan dengan hendak menyerangku lagi kalau saja Farid tidak datang menengahi. Saat itu, Farid mengatakan dengan tegas, "Kamu kan yang katanya suka sama aku dan tukang bully? Sorry aja, ya. Kamu jelek dan perilakumu bikin kamu tambah busuk. Jangankan suka, ngelirik aja rasanya mataku gatal pengen dicuci karena udah ngeliat sampah."

Aku yang mendengar penuturannya sampai melongo, tidak bisa lagi berkata-kata. Ucapannya tegas, penuh penekanan sampai Elis menangis dan dijadikan bahan tertawaan. Aku tahu bahwa Farid berkata demikian juga salah, tidak seharusnya dia berucap yang berlebihan. Namun, katanya itu agar Elis introspeksi diri dengan apa yang selama ini dilakukan dan kekerasan verbal yang dia lakukan. Bahwa setiap ucapan menusuk pasti akan menyakiti orang lain. Dia ingin memperlihatkan itu pada Elis.

Sekarang, tiga orang perundung ini ramai menjadi topik obrolan di sekolah tetapi pembicaraannya selalu ke hal-hal negatif mereka. Ketiganya sudah tidak bisa berbaur dengan yang lain dan hanya mengumpul bersama teman se-geng mereka saja. Dapat kulihat tingkat kepercayaan diri dari tiga orang itu sudah pudar.

"Katanya, Gea mau pindah sekolah, ya?" Aku juga tidak tahu sejak kapan menjadi akrab dengan Farid. Halaman belakang sekolah menjadi tempat favorit untuk ngemil pun bersama Gea. Kadang sepulang sekolah, kami juga masih ke belakang sekolah terlebih dahulu untuk mengobrol dan menikmati sisa makanan yang dibeli di jam istirahat.

Di sanalah Farid dalam satu minggu terakhir ini menjadi lebih dekat karena dia juga datang ke halaman belakang dan ikut nimbrung di antara kami berdua. Awalnya basa-basi seperti bertanya nama pada Gea atau apa yang sedang dimakan sampai pada hari berikutnya ia juga membawa makanan sehingga kami bisa makan bersama.

Persis seperti saat ini ketika aku sedang menikmati sekotak poki coklat ditemani dengan Farid di sebelahku. Ia berselonjor kaki dan bersandar pada dinding sambil memakan kripik pisang.

"Iya. Hari ini pun dia gak masuk sekolah karena sibuk ngurus pindah rumah dan pindah sekolah." Aku berucap, nada suaraku pelan menahan kesedihan. Satu-satunya teman yang kumiliki hendak pindah rumah, pun pindah sekolah. Biasanya setiap hari aku akan bersama dengan dia tetapi sekarang tidak lagi.

"Terus perkembangan kasusmu gimana?" Farid bertanya. Dia memang sudah tahu tentang kasus Ayah yang melakukan kekerasan dan aku yang mengangkatnya hingga kepolisian. Gea waktu itu yang menjelaskan ketika Farid bertanya sering melihat kami bolak-balik ke Polsek Maesan.

"15 Juli udah mulai sidang, kok. Semuanya selesai kalau gak ada hambatan." Aku menjawab.

"Semoga gak ada halangan apa-apa," katanya menanggapi. Aku terdiam beberapa saat hingga keheningan menyelimuti. Lantas Farid kembali bertanya, "Kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" Aku bertanya balik.

"Mukanya keliatan sedih," balasnya, kini menatap wajahku dengan tatapan yang ... kelihatan intens.

"Aku sedih aja, sih. Gea itu teman satu-satunya yang aku miliki di sekolah ini. Kalau dia gak ada bakalan gimana, ya? Apalagi dia juga pindah rumah, aku masih gak sanggup buat berpisah sama Gea. Jarang ada orang yang baiknya kayak dia." Aku menjelaskan dan Farid mengangguk-angguk seperti orang paham.

"Aku percaya kamu bisa dapatin teman baru. Apalagi sekarang udah gak ada yang gangguin kamu, kan? Selama komunikasi kamu sama temen sekelasmu lancar, aku yakin nanti kamu bakalan dapat yang akrabnya sama kayak kamu dan Gea." Aku tersenyum menanggapi pernyataan Farid.

"Iya, sih. Kayaknya emang mending dari sekarang aja ngakrabin diri. Lagian sebenarnya aku sama yang lain juga akrab-akrab aja, cuma kalau sama Gea tuh udah kayak saudaraan rasanya," kataku.

"Gak usah ngerasa kehilangan. Lokasi tempat tinggalnya Gea juga deket, kita kita kan berbatasan, loh. Bondowoso sama Jember masih bisa ditempuh pakai motor," ucap Farid.

Aku mendengkus. "Ngomong gampang, dikira aku bisa motoran."

"Kan ada aku." Jawaban darinya membuatku melongok lebih tajam padanya.

Keningku berkerut ketika aku bertanya, "Maksudnya?"

"Kapanpun kamu pengen ketemu Gea, aku bisa antar. Kalau perlu seminggu sekali aja pas akhir pekan biar sekalian bisa main lama."

"Far." Aku menyebut namanya pelan.

"Apa?"

"Kenapa kamu sebaik itu sama aku, sih?" tanyaku serius.

Farid justru mengernyitkan kening dan memasang ekspresi seperti orang keheranan. "Kan kita udah temenan? Jangan bilang selama ini kamu gak anggap aku teman, ya? Oh iya kamu tadi nyebut Gea satu-satunya teman berarti aku beneran gak dianggap? Ya ampun, jahatnya kamu."

Farid tiba-tiba menanggapinya dengan panjang lebar. Terkesan dramatis dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Aku tertawa lalu menjawab, "Enggak, kok. Kita udah resmi temenan."

"Pengenku sih bukan temen aslinya." Farid mengatakan sesuatu yang membuatku tidak mengerti.

"Maksudnya?"

"Nanti aja lah kalau semua perkara ini selesai."

"Maksudnya?"

"Nanti aja."

Aduh, aku jadi penasaran. "Kamu gak mau jadi teman terus pengin musuhan gitu?"

"Ya ampun, mikirnya kejauhan. Kalau mau musuhan gak mungkin aku nemenin kamu sekarang," balas Farid dan aku terkekeh mendengarnya.

Selang beberapa waktu, makanan kami habis. Sekarang aku diantar oleh Farid menggunakan motor matic miliknya ke sebuah toko kelontong yang buka tiap sore hingga malam. Karena faktor ekonomi dan tidak adanya rumah, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan. Anak sekolah memang tidak mungkin bisa bekerja, tetapi sebagai part time di toko dengan menjadi pelayan toko seperti ini boleh juga. Aku baru melakukan pekerjaan ini sekitar empat hari lalu setelah dibantu oleh Farid tentang tempat kerja yang buka lowongan dan tidak mengganggu waktu sekolah.

"Telepon aja, nanti aku jemput dan antar kamu ke rumah sakit." Farid berpesan sebelum pulang ke rumahnya. Aku hanya mengacungkan jempol dan melihat Farid yang melajukan motor menjauh dari area toko.

Sekarang, rumah sakit tempat Ibu dirawat sudah seperti rumah tempat aku pulang dari penatnya menjalani hari. Entah sampai kapan akan begini. Yang jelas aku akan terus berusaha hingga bisa mendapatkan rumah asliku kembali.

.

12 Juli 2024

🌹 Resti Queen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang