08 • Pulang

15 6 0
                                    

Melapor perihal kekerasan pada hari ini tentu tidak akan membuahkan hasil pada hari yang sama. Polisi di sini juga menjelaskan bahwa masih perlu persetujuan penyidikan dari atasan untuk melakukan tindakan berikutnya. Barulah kemudian mereka akan melakukan penyelidikan secara mendalam jadi aku harus bersabar dalam beberapa hari ke depan. Oh, tadi juga si Polwan memintaku untuk melakukan pemeriksaan perihal bekas luka dan lain-lain. Baru berlangsung dua hari sejak kejadian kakiku dibakar dengan kayu panas. Lukanya juga masih dibalut perban dan belum sembuh hingga detik ini. Hal ini membantu mereka untuk menyimpan foto sebagai bukti lalu kemudian menyidik lebih jauh di lain waktu.

Kami pun dipersilakan kembali pulang. Aku dan Gea kembali duduk di kursi belakang sedang Om Hendro menyetir di kursi kemudi.

"Aku takut nanti dimarahin Ayah kalau diantar sama kamu, Ge." Aku berucap, Gea dan pamannya katanya mau mengantarku hingga ke rumah.

"Aman, pasti aman. Percaya, deh." Gea dengan percaya dirinya berucap sambil mengacungkan jari jempol.

"Lagian, Ndok. Kamu hari ini kan pulang telat, ini juga udah mau masuk waktu Maghrib. Malah kamu akan lebih dimarahi kalau pulang sendirian." Om Hendro ikut masuk dalam perbincangan.

"Tapi, Om. Saya khawatir saya akan dimarahi kalau diantar sama Om." Aku membalas.

"Justru itu. Justru karena ada Om, Om yakin ayahmu gak akan macem-macem. Kalau macem-macem pun, kan bisa Om rekam sekalian sebagai bukti tambahan buat pengadilan nanti." Om Hendro menjawab. Aku bisa melihat senyuman Om Hendro lewat kaca mobil bagian atas yang ada di samping gantungan pewangi.

Ucapan Om Hendro ada benarnya juga. Dari Polsek Maesan sampai ke desa tempatku tinggal tidak membutuhkan waktu lama, hanya belasan menit itu pun karena jalanan yang rusak sehingga laju mobil haruslah pelan.

Ada yang aneh ketika mobil berhenti tepat di depan rumahku. Rumah kecil yang pintunya terbuat dari kayu, hanya satu lantai dan satu petak saja, jendela yang dichat berwarna biru langit itu tertutup, pun dengan pintu kayu berwarna coklat tua yang kerkunci rapat. Namun, itu bukan yang membuatku merasa aneh. Kerumunan warga sekitar yang ada di depan rumah membuatku merasa tidak nyaman. Dari kaca mobil, aku mengintip ke luar. Hanya untuk mendapati sebuah palang besar terpaku pada dinding rumahku bagian depan. Di situ tertulis, "Rumah Ini Disita Bank."

Jantungku berdebar tidak karuan. Tanganku secara spontan membuka pintu mobil dan melompat turun, sekejap terlupa bahwa mobil ini belum benar-benar berhenti sehingga aku jatuh terjungkal. Dapat kudengar teriakan Gea yang menyebut diriku tetapi aku abaikan. Segera aku bangkit dan bergegas sampai ke depan rumah untuk memastikan aku tidak salah lihat. Semakin dekat, palang pemberitahuan penyitaan itu semakin jelas.

"APA-APAAN INI?! APA-APAAN RUMAHKU DI SITA!" Aku berteriak dan tanganku bergerak tak sabaran untuk membuka pintu yang terkunci. Aku tidak tahu lagi sejak kapan pipiku basah oleh derasnya aliran air mata. Kepanikan membuatku tidak bisa berpikir jernih. Sudah tahu rumahku terkunci tapi aku masih mencoba untuk membuka dan menendang-nendang pintu meski sia-sia. "BUKA! BUKAIN PINTUNYA! MANA KUNCI? MANA KUNCI RUMAHKU? MANA?"

Rasanya menyakitkan menjadi seperti orang gila yang berteriak tidak karuan dan menjadi tontonan orang banyak. Wajah-wajah yang menontonku saat ini dipenuhi dengan simpati. Tetangga terdekat dari rumahku tertangkap oleh pandanganku, dia mengerutkan kening dalam, wajahnya terlihat sendu, seakan hendak menangis.

"BU NIA! BILANG SAMA AKU DI MANA KUNCINYA, BUK!" Aku berteriak, menarik kra baju yang dikenakan oleh Bu Nia, tetanggaku.

Bu Nia entah kenapa kemudian menangis dan memelukku. Aku spontan menepis tangannya, melepaskan pelukannya lalu pergi mencari tempat masuk lain tapi kakiku tersandung saat hendak ke halaman belakang. Tubuhku jatuh ke depan, kepalaku terbentur oleh tumpukan sesuatu. Saat aku bangkit dari jatuh, mataku mendapati tumpukan tersebut rupanya adalah barang-barangku yang ada di dalam. Aku terlalu panik, aku terlalu bersedih, aku terlalu terkejut, syok hingga sekian waktu berlalu aku baru menyadari bahwa semua barang-barang di rumah sudah ditumpuk menjadi satu di area luar. Yang artinya, di dalam sana sudah kosong dan rumah ini pun resmi menjadi milik bank.

"ENGGAK MUNGKIN! GAK MAU! AKU GAK MAU PERGI. INI RUMAHKU!" Aku berteriak lagi, menjadi seperti orang gila lagi di tengah kerumunan.

Bu Nia mendekat, dia mendekapku dengan begitu erat, tidak mempedulikan tanganku yang terus mencoba untuk mendorong dan menepis agar bisa terlepas, dia terus saja memelukku. Pada akhirnya, aku menyerah. Membiarkan diriku berada di pelukan Bu Nia, tubuhku kembali limbung, jatuh ke lantai. Masih di pelukan Bu Nia, aku menyembunyikan wajahku di dadanya, menangis sejadi-jadinya dan terus berteriak-teriak menggila.

"Sabar, Nak Nat. Sabar, ya, Nak." Bu Nia berbisik sambil mengusap-usap rambutku.

Pandanganku yang sedikit buram akibat air mata yang terus mengalir masih bisa melihat samar ke arah Gea yang ikut mendekat dan memberikan usapan lembut pada bahuku. Aku juga melihat Om Hendra yang memilih tidak ikut mendekat dan hanya berdiri di antara ibu-ibu yang memenuhi area depan rumah.

Tangisku berhenti kemudian ketika aku menyadari bahwa tidak menemukan siapapun di rumah ini. Maksudku bukan orang lain. Ayah dan Ibu, Tante Lisma ataupun Sindi, mereka berempat tidak ada di sini.

"Ibuk. Ibuk di mana, Bu Nia?" tanyaku yang membuat Bu Nia jadi menangis lebih kencang daripada sebelumnya.

Ada apa ini? Apa yang salah dengan pertanyaanku? Apa yang sebenarnya terjadi semenjak aku tinggal pergi ke sekolah hingga saat ini? Apa yang kulewatkan?

"Jawab, Bu Nia! Jawab! Ibuku mana?" Aku menyentuh kra bajunya sekali lagi, menggoyang-goyangkan badan seorang wanita yang umurnya hanya dua tahun lebih tua dari ibuku.

"Kamu yang sabar, Nak Nat. Kuat-kuatkan hatimu dan teruslah melangkah, jadikan semua ini sebagai ujian yang akan membuatmu lebih berkembang, lebih baik, dan semoga di akhir nanti ada kebaikan dan kebahagiaan yang menunggu kamu, Nak." Bukan kata-kata motivasi seperti ini yang ingin aku dengar untuk keluar dari mulut Bu Nia. Jawaban seperti itu hanya membuat segalanya menjadi semakin aneh, membuatku tidak tenang dan debaran di dalam dada semakin tidak karuan.

"Jawab pertanyaan aku, Bu Nia! Mana Ibuk? Mana ibuku? Mana si bajingan gila itu? Pasti ini ulah dia, kan?" Aku memberikan sederet pertanyaan.

Bu Nia menghela napas panjang sebelum kemudian menangkup pipiku dan membuatku menatapnya. Air mata Bu Nia masih mengalir ketika akhirnya dia menjawab, "Ibumu bunuh diri, Nak Nat."

Bak dihantam gada tepat di ulu hati. Hancur sudah. Aku membeku dalam hawa dingin yang tiba-tiba menerpa sekujur tubuh. Kepalaku jadi berdenyut, pening dan terasa sakit. Pandangan mataku berubah menjadi hitam, gelap tanpa bisa melihat apapun lagi.

.

08 Juli 2024

🌹 Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang