02 • Sekolah

24 7 2
                                    

Lorong-lorong sekolah penuh sesak, seperti biasa. Para siswa berjalan di sepanjang lorong, menuju loker atau kelas. Sebagian mengobrol satu sama lain, sementara yang lain hanya tampak berjalan menuju tempat tujuan. Sekelompok anak perempuan, semuanya berusia awal lima belas tahunan, melangkah di lorong, tertawa dan saling mendorong saat berjalan. Aku melihat mereka dari jarak tak cukup jauh saat berada di depan loker. Buru-buru aku menutup loker tempat penyimpanan barang dan menguncinya lalu melangkah pergi, enggan untuk bertatap dengan mereka.

"Natasya Harlin!" Sial. Suara teriakan mereka yang memanggil namaku membuatku semakin mempercepat langkahku untuk pergi. Sayangnya, seorang lelaki tidak sengaja menabrakku dari depan membuat langkahku terhenti dan posisiku disusul oleh ketiga perempuan yang ingin aku hindari. Si lelaki tadi hanya membungkuk dengan mengucap maaf lalu pergi begitu saja. Sedangkan tiga orang seumuran denganku ini sekarang mulai mengerubungiku. Satu di depan, satu di samping kiri, dan satu di kanan.

Aku benci melihat tampang ketiga orang ini. Wajah-wajah sombong orang kaya, manusia-manusia dengki, dan orang-orang yang setiap berjalan memandang orang lain seakan lebih rendah. Tatapan mereka terhadapku ... begitu. Memandang dengan tatapan merendahkan, bibir terangkat siap memberikan cibiran, satu jari telunjuk dari Elis sudah mendarat di keningku, mendorong hingga bagian belakang kepalaku sedikit terbentur ke pintu loker.

"Lihat siapa yang ngotorin sekolah kita sekarang?" Itu Elis, si gadis yang sekarang berada di depanku dan menuding dengan jari telunjuknya.

Sudah biasa.

"Bajunya kucel banget, kotor, udah gitu bau lagi." Silvi, yang berada di sisi kanan ikut menimpali.

Satu orang yang tersisa, Heni, langsung tertawa, ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa dia sependapat dengan kedua temannya. "Cewek buluk dan miskin gak level di sekolah ini, iya, kan?"

"Bener banget." Elis menekankan.

Sudah biasa.

"Eh, eh, lihat deh si Natasya. Hari ini buluknya kebangetan gak sih?" Silvi menanyakan demikian pada siswi-siswi lain yang lewat di sekitar loker tersebut. Mereka jelas hanya menanggapi dengan cengiran canggung lalu melangkah pergi.

Sudah biasa. Orang-orang di sini terlalu takut pada tiga orang yang menyebut diri mereka sebagai girly gank, kelompok penindas klise seperti di sinetron-sinetron. Memuakkan. Berurusan dengan manusia haus validasi yang harus memperlakukan orang lain tak manusiawi hanya untuk membuat dirinya jadi terlihat lebih tinggi. Apanya yang keren dari main keroyokan?

"Heh, apa yang lo lakuin ke si Farid?" Pertanyaan macam apa itu? Elis bertanya sesuatu yang membuatku mengernyitkan kening tidak mengerti.

"Farid?" Aku bertanya balik.

"Gak usah berlagak gak tau. Kita semua udah tau kalau kamu ngedeketin si Farid." Silvi yang menjawab. Gadis berambut hitam pendek sebahu itu sekarang mulai menyentuh rambutku. Ah, tidak, lebih tepat kukatakan mencengkeram, siap-siap untuk menjambak seperti yang biasa mereka lakukan padaku hari-hari.

"Aku emang gak ngerti apa yang kalian maksud." Aku menanggapi.

"Halah, jangan pura-pura bego deh. Kalau gak kamu apa-apain, mana mungkin itu si Farid sampai nanyain nomor dan nanyain banyak hal tentang kamu." Heni berbicara.

Aku menghela napas, malas. Mereka hanya mencari-cari alasan untuk merundungku di sekolah. Sungguh, aku tidak takut menghadapi mereka tetapi aku tidak pernah menang karena kalah jumlah. Satu-satunya hal yang membuatku bisa menghentikan perundungan adalah keberadaan Lea, temanku satu-satunya yang selalu membela. Sialnya, saat ini dia sedang absen sebab ada acara keluarga.

"Jujur aja deh. Pelindung Lo lagi gak masuk sekolah. Jadi kalau gak mau disiksa mending ngaku kalau Lo cewek penggoda." Elis keterlaluan.

Aku merasakan cengkeraman tangan Silvi pada rambutku mulai mengencang, begitu pula Heni yang sekarang sudah memegangi kerah bajuku dari samping. Tangan Silvi yang bebas sekarang juga memegangi pergelangan tanganku. Begitu pula sisi satunya yang juga ditahan oleh Heni. Menyisakan Elis di hadapan yang sekarang tersenyum miring sambil mengangkat tangannya ke udara, siap memberikan tamparan.

"Ngaku!" sentak Elis.

"Aku gak kenal sama Farid!" seruku. Satu tamparan di pipi kanan aku dapatkan.

"Cewek degil, buluk, jelek. Berani-beraninya narik perhatian si Farid." Elis mengucapkan kalimat itu sambil terengah.

"Tampar aja lagi, El." Si Heni malah menjadi kompor sehingga Elis mengangguk dan kemudian memberikan tamparan kedua.

Apa yang harus aku akui di sini? Tidak ada. Aku tahu lelaki bernama Farid itu siapa. Seorang lelaki anak basket yang merupakan kakak kelas dan menjadi idolanya Elis. Aku tahu sebab dia sering menjadi buah bibir di kalangan anak perempuan sekelas. Pernah beberapa kali aku menonton latihan tandingnya tetapi sungguh, aku bahkan tidak pernah sekalipun berbincang atau sekadar bertukar kenal nama. Namun, mengetahui bahwa ternyata lelaki itu mempertanyakan tentangku membuatku bingung ada apa sebenarnya. Apa yang lelaki itu ingin tahu tentangku? Mengapa meminta nomorku? Aku tidak ingat, satu kalipun sepertinya aku belum pernah bertatap mata secara langsung dengannya.

Jawaban tidak tahu, tidak ada hubungan apa-apa, tidak kenal, dan segala sanggahan tentang tuduhan bahwa aku menggoda Farid terlontar dari mulutku. Jelas itu bukan jawaban yang diharapkan oleh tiga orang dengan nama kelompok yang aneh ini. Meski ucapanku benar, mereka hanya menginginkan jawaban yang sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Butuh pengakuan bahwa aku penggoda meski sebenarnya itu adalah kebohongan.

Tidak. Aku tidak sebodoh itu. Aku merasa cukup puas meludahi wajah Elis lalu tertawa ketika dia memberikanku tamparan lebih keras. Seperti yang kukatakan, aku tidak takut. Mereka adalah anak sekolah menengah atas, sama sepertiku. Bukan orang dewasa seperti yang kulihat di rumah. Apa yang perlu aku takutkan?

Tamparan Elis kembali beruntun setelah mendapatkan hadiah air ludah dariku. Tidak apa. Sudah biasa. Terlalu sering mendapatkan kekerasan di rumah membuat batas toleransi tubuhku terhadap rasa sakit cukup tinggi. Luka ditampar berulang kali jelas tidak ada apa-apanya untukku jika dibandingkan dengan perlakuan Ayah yang sampai melempari anaknya sendiri dengan batu.

"Sekali lagi Lo macam-macam sama Farid, gue bakalan pastikan kalau Lo mendapat perlakuan lebih buruk dari pada ini." Elis melenggang pergi bersama dua sayangnya ketika selesai mengucapkan ancaman itu.

Lagi. Aku menghela napas sekali lagi. Hari yang tidak ada habisnya. Rumah dan sekolah tidak ada indahnya. Aku memegangi pipiku yang sekarang berdenyut. Rasa nyerinya baru muncul saat ini. Lantas, aku berjalan gontai menuju kelas sembari otakku berpikir, kapan semua ini akan berakhir?

.

02 Juli 2024

🌹Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang