06 • Keputusan

15 6 2
                                    

Hanya ada satu alasan yang membuatku begitu teguh untuk tetap berangkat ke sekolah di pagi hari meski dalam keadaan tubuh yang kurang sehat. Apalagi jika bukan untuk menjauh dari rumah memuakkan. Bayangkan jika aku sakit seharian tetapi tetap harus menyaksikan drama yang terjadi di rumah gila ini sepanjang waktu? Jangankan untuk beristirahat, kemungkinan besar malah aku akan terlibat.

Sekolah bagiku adalah tempat pelarian meskipun tempatnya juga tak begitu indah sebab jumlah teman yang hanya satu orang. Bagiku itu cukup untuk membuatku bersemangat ke sekolah di tengah terpaan sekelompok perundung sebab temanku yang tulus satu itu tak kalah sadis.

Baru saja menginjakkan kaki di kelas, temanku namanya Gea Paramita, langsung memberikan serentetan pertanyaan tentang kabar dan bagaimana aku menjalani hari tanpa dirinya di sekolah. Sebenarnya tanpa dijawab, dia sudah hobi menebak-nebak sendiri bahwa aku menerima perundungan dari kelompok siswi beranggotakan tiga orang yang punya nama geng aneh.

"Mau ke mana?" tanyaku saat Gea beranjak dari tempat duduknya dan hendak melenggang pergi setelah aku menceritakan kejadian kemarin.

"Mau nonjok tiga orang sialan itu lah!" serunya penuh semangat.

Aku menggelengkan kepala pelan. "Udah gak perlu."

"Kalau gak gitu mereka pasti bakalan berulah lagi." Gea menanggapi, wajahnya masih menunjukkan ekspresi menggebu-gebu. Sepertinya dia memang serius saat berkata ingin menonjok tiga orang tersebut.

"Gak usah. Lagian aku akan menjamin mereka gak bakalan bersikap begitu lagi ke aku," balasku. Gea kembali duduk dan aku pun duduk di kursi sebelahnya. Posisi tempat duduk di kelas ini terdapat satu meja panjang dan dua kursi berdampingan, setiap murid duduk berpasangan secara bebas memilih ingin duduk dengan siapa. Gea adalah teman sebangku yang pada akhirnya menjadi begitu akrab dan merupakan satu-satunya orang di pihakku.

Gea cantik. Rambutnya hitam lurus dan panjang, sama sepertiku. Baby face, matanya bulat lucu dengan bibir kecil dan hidung mancung. Primadona kelas, begitu julukan yang diberikan kepada Gea oleh teman-teman sekelas. Meski begitu, dia introver sehingga jarang berinteraksi banyak dengan orang lain di kelas selain denganku. Satu hal yang paling aku suka dari Gea adalah sifatnya yang rendah hati tetapi juga pemberani. Dia berasal dari kalangan kaya tetapi tidak sombong. Mungkin karena dia lebih kaya girly gank, hal itu yang membuat dia ditakuti oleh mereka. Apalagi sifatnya yang cukup bar-bar ketika marah. Gea tidak akan segan main tangan jika diganggu lebih dulu.

"Dengan cara apa?" Gea bertanya. Aku bisa menangkap ekspresi keraguan yang dipancarkan olehnya.

"Aku tadi malam habis menyadari sesuatu sekaligus membuat keputusan." Aku berucap dengan nada yang lebih serius.

Kening Gea berkerut ketika dia bertanya, "Keputusan?"

"Kamu tau kan tentang konflik keluargaku?" Aku bertanya balik.

"Aku gak tau pastinya kayak gimana karena kamu cuma ngejelasin singkat kalau ayahmu suka pukul dan doyan kawin." Gea membalas.

Aku memang tidak pernah mengutarakan apa yang terjadi denganku di rumah bahkan kepada Gea. Tapi dahulu aku pernah berada di posisi sangat galau saat Ayah memukuli diriku hingga memar di sekujur tubuh. Ibu yang mengetahui itu juga tidak banyak membantu dan menyuruhku terus bersabar. Gea menjadi tempat pilihan untuk bercurhat, hanya sebatas aku mengatakan hal singkat semacam dipukul Ayah karena ketahuan membuka aplikasi pesan di ponselnya saat ia berbalas pesan mesra dengan selingkuhannya.

Gea saat itu memang tidak tahu menahu harus berbuat bagaimana. Tetapi aku suka bagaimana dia meredam emosi yang berkecamuk dalam kepalaku dengan mengajakku pergi ke rumahnya, bermain di sana, makan bersama, sampai kemudian pergi ke kafe; tempat yang tidak pernah bisa kukunjungi karena faktor ekonomi. Gea tidak banyak bicara tetapi dia tipe yang akan menunjukkan simpati lewat tindakan.

"Kemarin Ayah bawa istri baru dan anaknya. Katanya bakalan jadi tinggal serumah mulai saat itu." Aku menjelaskan singkat.

Wajah Gea mengeras karena terkejut. "What? Dan kamu diam aja?"

"Bukan diam. Aku ngereog gak terima sampai kakiku dibakar karena protes." Aku menanggapi.

Ekspresi marah kini muncul di wajah Gea. "Itu udah keterlaluan banget. Kamu gak boleh diam aja setelah semua perlakuan ayah kamu selama ini. Katanya kamu mengalami itu juga udah dari SMP, ya? Mau sampai kapan? Ini berarti udah bertahun-tahun loh."

"Karena itu, Ge. Aku udah mengambil keputusan setelah menimang semalaman penuh," kataku membuat Gea memberikan tatapan seakan kebingungan.

"Keputusan apa?" tanya Gea yang sepertinya sudah tidak sabaran.

"Aku mau bawa kasus kekerasan ini ke polisi." Jawabanku membuat suasana hening untuk sesaat.

Gea terdiam dengan wajah tanpa ekspresi. Mulutnya mengatup rapat seakan tidak memiliki tanggapan apa-apa atas pernyataanku barusan. Harus menunggu beberapa detik berlalu terlebih dahulu untuk melihatnya menghela napas panjang lalu menjawab, "Itu ... keputusan yang aku rasa udah bener."

"Aku gak berniat buat terus mengalah. Aku juga udah capek disuruh sabar terus selama bertahun-tahun sama Ibuk. Terus di sekolah juga aku mau jadi lebih berani. Aku gak mau diinjak lagi sama tiga serangkai edan itu. Aku bakalan balas perlakuan mereka. Kalau teguran dari guru gak mempan, mungkin aku mau jadi bar-bar aja sekalian biar mereka ada takut-takutnya." Aku menjelaskan panjang lebar.

Sekali lagi Gea terdiam. Kini aku yang memandangnya dengan heran karena matanya yang berkaca-kaca. Ingin kutanya dia kenapa tapi sudah lebih dulu Gea berucap, "Aduh, aku jadi terharu liat kamu seberani ini."

"Tapi ... aku masih takut, Ge." Aku tertunduk, memainkan jari telunjuk dengan gugup.

"Takut kenapa?" Gea bertanya menyelidik.

"Gimana denganku nanti, ya? Kalau aku polisikan Ayah, nanti dia bakal gimana ke aku? Apa aku bakalan makin disiksa, ya? Apa setelah ini aku bakalan jadi anak durhaka? Terus nanti gimana ibuku? Aku gak mau kalau sampai dibenci Ibu." Sedih. Aku menggigit bibirku setelah mengucapkan hal itu, menahan diri agar tidak menangis di depan Gea.

Bisa kurasakan tangan Gea yang menepuk pundak membuatku mendongak menatap ke arahnya yang sekarang sedang tersenyum lembut. "Jangan mikirin macam-macam kayak gitu. Kalau ayahmu beneran dipenjara, artinya kamu akan bebas. Rumahmu gak bakalan kayak neraka lagi. Jangan pikirkan soal durhaka atau enggak karena tindakanmu ini udah yang paling bener dan aku yakin itu bukan durhaka. Ibumu gimana? Jangan khawatir. Kamu pinter, kan? Kamu ahlinya soal komunikasi. Aku yakin kalau dibicarain baik-baik sama ibumu hasilnya juga bakalan baik."

Aku tersenyum tulus. Air mataku sekarang menetes sendiri, bukan karena bersedih tapi karena terharu. "Makasih banyak, Ge."

"Aku bakalan dukung dan bantu kamu. Jadi kapan kamu mau ke polisi buat bikin laporan? Biar aku yang nganterin." Gea menawarkan sambil menepuk-nepuk dada. Aku jadi tertawa. Dia memang satu-satunya teman yang paling bisa kuandalkan.

"Lebih cepat lebih baik, Ge. Nanti kukabari kamu, ya," jawabku yang dibalas dengan anggukan pelan darinya.

Percakapan pagi itu menjadi penutup karena bel masuk berbunyi setelahnya. Tidak kusangka hari ini yang kukira akan menjadi suram sebab demam belum reda, malah menjadi hari bersemangat di sekolah sehingga rasa sakit ini tidak terlalu terasa. Semoga saja langkah besar yang kuambil ini akan membawa dampak baik untuk diriku ke depannya.

.

06 Juli 2024

🌹Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang