09 • Koma?

13 5 1
                                    

Kepalaku tak henti-hentinya berdenyut kala membuka mata meski sudah perlahan-lahan. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba untuk memperjelas pandangan yang masih saja buram. Kemudian, saat semuanya sudah terlihat jelas, netraku menangkap pemandangan langit-langit putih dengan pencahayaan begitu terang. Putih, bersih, dan steril. Khas dari ciri sebuah ruangan di rumah sakit. Bunyi beep pada monitor jantung di sebelah tempatku berbaring juga menjadi pelengkap tanda bahwa aku berada di rumah sakit. Bisa kurasakan ada sebuah alat bantu oksigen sekarang menutup bagian hidung hingga mulut.

Perlahan, aku melepaskan benda yang menempel di hidung dan bangkit dari tiduran dengan susah payah. Berbalik pandangan, aku beralih menumpuk dua bantal ke sisi kepala berangkat agar aku bisa bersandar. Tidak ada siapapun di dalam ruangan ini tetapi telingaku menangkap suara langkah kaki dari luar. Hanya berselang sepersekian detik sampai langkah kaki itu berhenti terdengar dan tergantikan oleh suara pintu yang dibuka. Bu Nia, Om Hendro, dan Gea muncul dari balik pintu, di belakang mereka juga masih ada seorang lelaki dengan baju putih dan jas berwarna sama berkalung stetoskop.

Keempat orang itu pun langsung mendekat. Bu Nia berdiri di samping kanan, Gea langsung duduk pada tepian brangkar, Om Hendro berdiri di sisi kiri, dan si dokter itu mendekat dan mulai memeriksa denyut jantung serta menekan pergelangan tangan.

"Pasien baik-baik saja. Karena faktor syok sehingga detak jantung menjadi berlebihan dan membuat aliran darah serta pernapasan ikut terganggu. Itu juga yang menyebabkan pasien pingsan cukup lama." Dokter kemudian menjelaskan, ia melirik ke arah Bu Nia dan Om Hendro bergantian.

"Terus gimana keadaan Natasya sekarang, Dok?" Bu Nia bertanya.

"Pasien baik-baik saja. Hari ini juga sudah bisa pulang. Nanti saya buatkan resep vitamin dan obat penunjang kesehatan lainnya. Bisa langsung ditebus di apotek rumah sakit, ya." Dokter itu menjawab.

Bu Nia mengangguk sambil menjawab, "Terima kasih, Dok."

Dokter itu kemudian mengambil catatan kecil pada sakunya, lantas menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Bu Nia. Mungkin itu adalah resep obat yang dimaksud si dokter tetapi bukan itu yang memenuhi pikiranku saat ini. Aku tidak penasaran dengan vitamin atau apalah itu. Namun, pikiranku kembali berat dan dadaku menjadi sesak manakala kepalaku kembali membayangkan momentum ketika Bu Nia mengatakan bahwa ibuku bunuh diri sebelum aku kehilangan kesadaran.

Mengingatnya lagi membuat kepalaku sakit, berdenyut hingga aku harus menyentuh pelipis dan memijatnya pelan. Air mata sialan ini juga tidak bisa lagi di tahan, mengalir deras hingga terisak membuat Bu Nia langsung menyentuh pundakku dan mengusapnya pelan.

"Nak," ucap Bu Nia, suaranya terdengar begitu pelan.

"Aku ... sekarang udah gak punya siapa-siapa lagi, Bu Nia." Aku menanggapi. Mengutarakan itu hanya membuat tangisku semakin pecah hingga wanita itu memelukku lebih erat lagi.

"Jangan menyerah, Nak." Bu Nia berbisik dan mengelus rambutku dalam dekapannya.

"Gimana aku tetap bisa hidup kalau ibuku udah pergi? Gimana aku bisa tetap hidup kalau ibuku udah mati?" Aku meninggikan suara satu oktaf saat mempertanyakan hal itu. Apa aku masih bisa tetap hidup setelah semua yang terjadi?

"Siapa yang bilang ibumu udah mati, Nak?" Bu Nia malah balas bertanya.

Keningku berkerut, tanganku secara spontan melepaskan pelukan Bu Nia perlahan. Aku menatap Bu Nia dengan bingung lantas berkata, "Kata Bu Nia, ibuku bunuh diri."

"Ibumu memang bunuh diri tapi bukan berarti dia pergi selamanya, Nak." Bu Nia menanggapi.

"Jadi ... ibuku masih hidup?" Aku bertanya, meski rasa sedih ini terasa begitu mendalam tetapi melihat Bu Nia mengangguk saat aku bertanya demikian sudah cukup untuk memberikan sedikit kelegaan.

Pada akhirnya, Bu Nia menceritakan segalanya kepadaku bahwa ibuku bunuh diri dengan mengonsumsi obat-obatan dalam jumlah banyak sehingga overdosis. Hal itu terjadi di pagi hari setelah Ayah pergi membawa barang-barang beserta dengan istri baru dan anaknya. Ibuku syok berat saat tahu kepergian Ayah adalah dengan maksud pergi dari tanggungjawab hutang yang amat banyak.

Bu Nia juga bercerita padaku bahwa Ayah memiliki pinjaman yang sangat besar atas nama ibuku karena dia tidak mau menggunakan namanya sendiri. Rumah dan sertifikat tanah dijadikan sebagai jaminan. Aku bahkan tidak tahu menahu tentang hal itu sehingga begitu syok ketika melihat rumahku disita bank waktu itu. Rupanya itu adalah karena Ayah tidak pernah lagi menyetorkan bayaran hutang sejak awal hingga hitungan tahun. Yang artinya, Ayah memang sudah membuat hutang di banyak tempat sejak dulu dan menjadikan ibuku sebagai korban penagihan.

Mendengar cerita Bu Nia semakin tidak bisa membuatku menghentikan derai air mata. Isakanku juga semakin nyaring. Antara Om Hendro dan Gea juga tidak ada yang bersuara dan hanya memberikan tatapan penuh simpati. Ya, mereka pasti tidak tahu hendak berbuat apa karena ini adalah masalah pribadi keluargaku sendiri.

Sekali lagi, aku menfokuskan atensi pada Bu Nia dan bertanya, "Ibuk di mana sekarang?"

"Ibumu juga ada di rumah sakit ini, Nak. Di lantai dua." Bu Nia menjawab.

"Antar aku, ya, Bu," pintaku sambil menggoyang-goyangkan lengan Bu Nia.

Bu Nia mengangguk menyanggupi lantas dia meminta bantuan kepada suster untuk menyediakan kursi roda sebab kepalaku yang masih pening setelah katanya aku pingsan selama dua hari. Kukira aku pingsan sebentar karena melihat Gea masih memakai seragam sekolah di sini. Rupanya selama dua hari terakhir ini, Gea memang selalu datang ke rumah sakit ini untuk menjengukku bersama Om Hendra tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu selepas sekolah.

Gea dan Bu Nia kemudian membantuku berdiri dari brangkar dan duduk di kursi roda. Selang infus juga masih tertancap rapi di punggung tangan kiri. Om Hendro memegang infus selagi Bu Nia mendorong kursi roda tempatku duduk. Menggunakan lift, kami pun naik ke lantai dua, ke ruang Bougenville tempat Ibu dirawat.

Setelah membuka pintu ruang itu, jantungku kembali berdegup dalam kecepatan yang tinggi melihat orang yang paling kusayangi di dunia ini sedang terbaring tak berada di atas brangkar dengan berbagai alat bantu hidup menempel pada tubuhnya. Ada banyak alat tertempel pada dada dan kepala yang entah apa itu aku tidak tahu. Alat bantu oksigen dan selang di bawah hidung lengkap dengan infus di tangan. Alat monitor jantung memperlihatkan kecepatan detak jantung Ibu yang lemah.

Bu Nia mendorong kursi roda hingga aku benar-benar berada di samping brangkar Ibu. Lantas, aku meraih tangan Ibu yang lemas, mencium punggung tangannya dan menangis tersedu hingga air mataku membasahi tangannya.

"Ibuk cepat bangun, Buk. Nat gak bisa kalau tanpa Ibuk," ucapku masih dengan isakan yang tak bisa kuhentikan.

"Sepertinya ibumu akan seperti ini agak lama, Nak. Soalnya kata dokter, ibumu koma." Ucapan Bu Nia menambah hantaman dalam dada.

"Koma?" beoku mengulang.

"Banyak-banyak sabar dan jangan menyerah, Nak." Bu Nia menyentuh pundakku dengan lembut.

"Om juga akan mendoakan kesehatan untuk ibumu, Nat." Om Hendro ikut berbicara.

"Aku juga masih mau temenan sama kamu, aku juga mau liat kamu bahagia, Nat." Gea juga menyemangati.

Aku tersenyum, agak dipaksakan. Lalu, aku menatap ketiga orang yang bersamaku secara bergantian lalu berkata, "Makasih banyak."

Mereka bertiga secara spontan memberikan pelukan padaku secara bersamaan. Suasana ini membuatku tidak ragu menumpahkan segala kesedihanku lewat tangisan kencang dalam pelukan ketiga orang yang mendukungku dengan tulus.

.

09 Juli 2024

🌹 Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang