"Tinggal bersama?" Aku membeo nyaring. Mataku membulat mendengar penjelasan Ayah sebelumnya. Rasa sakit ini tidak bisa kuhilangkan dengan mudah. Bagaimana bisa aku menerima semua hal ini dengan tiba-tiba? Tidak. Tidak bisa. Aku memberanikan diri untuk meninggikan suara saat berkata, "Aku gak sudi tinggal serumah sama wanita simpanan Ayah. Aku juga gak sudi nganggep orang-orang asing ini keluarga."
Bisa kulihat dengan jelas wajah murka Ayah hingga dia berdiri dari duduknya. Langkah kakinya pelan sampai berdiri menjulang di hadapanku, sambil menunduk dia menuding wajahku dengan jari telunjuk. "Jangan kurang ajar sama orang tua! Dia ..., jedanya sambil menunjuk ke arah wanita yang duduk di sebelah Ibu. "juga ibumu!"
"Ibuku cuma satu dan gak akan pernah bertambah!" Aku berteriak.
Pipiku memanas karena teriakan itu membuahkan satu tamparan keras. Ibu berusaha untuk membelaku sehingga mendekat dan menghalangi Ayah yang masih memperlihatkan emosinya di hadapanku. Seakan menjadi tameng hidup, Ibu duduk di hadapanku sambil memelukku erat. Tubuhnya menghalangi Ayah agar tidak lagi bisa memukuliku.
"Dengar, Nat! Sekali Ayah bilang begitu, maka akan jadi begitu." Egois sekali si kepala keluarga yang gagal atas tanggung jawabnya ini.
"Aku cuma punya satu ibu. Aku juga anak tunggal. Adik? Hahaha! Aku gak akan pernah anggap mereka sebagai ibu ataupun sebagai adik!" seruku membuat emosi Ayah mungkin semakin membuncah sehingga tangannya dengan segera menyingkirkan Ibu yang sedang memelukku.
Rasanya seperti melawan patung batu, keras dan sulit digeser. Bahkan kekuatan dua orang sekaligus yaitu Ibu dan si wanita simpanan Ayah tidak cukup untuk menahan lelaki itu agar tidak mendekat dan menjambak rambutku. Kepalaku terasa sakit seiring rambut yang ditarik kuat hingga badanku ikut terseret pergi, pantatku juga sakit karena gesekan dengan lantai hingga rok yang kukenakan ada robeknya.
Sungguh keterlaluan. Aku tidak menyangka bahwa tindakanku menyerukan isi hatiku akan membuat Ayah marah besar hingga menyeretku ke dapur dan memasukkan kakiku ke tungku perapian yang masih menyala.
"AARRGGHH! SAKIT, YAH! PANAS!" Aku berteriak dengan air mata yang sudah tidak dapat lagi dibendung.
Kakiku bergerak-gerak menendang tangan Ayah. Saat berhasil terlepas, aku mencoba kabur dengan berlari tetapi gagal karena tersandung hingga tersungkur di pintu dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Ayah kembali mendekat, di tangannya sudah terdapat kayu bakar dengan ujung merah menyala bekas terbakar api. Benda yang masih mengepul asap panas di ujungnya itu ditekan pada betis kiriku.
"MAAF, YAH! MAAF! TOLONG!" teriakanku semakin menjadi-jadi.
Lisma, si wanita simpanan Ayah itu mendekat dan memeluk kaki Ayah, memintanya agar berhenti. Ibu juga berusaha menarikku menjauh, memberikan jarak antara aku dan Ayah yang sedang dimakan emosi. Pelukan hangat Ibu kembali kurasakan, tangisanku teredam karena kepalaku yang tenggelam di dadanya. Samar-samar aku bisa mendengar detak jantung Ibu yang luar biasa kencang. Setelahnya, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi karena segalanya berubah menjadi gelap gulita.
Aku tersadar pada sebuah tempat tidur empuk, langit-langit ruangan dengan plafon berwarna biru langit, dan penerangan yang redup sebab lampu kamar yang sudah jelek dan tidak diganti. Ini kamarku. Aku mendapati diriku sudah terbaring di sana dengan Ibu yang menggenggam tanganku sambil menangis hingga terisak. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi karena semua bisa kutebak. Aku jatuh pingsan.
Hal kedua yang kusaksikan adalah wajah Lisma beserta anaknya duduk di sisi tempat tidur berbeda. Melihatku yang sudah membuka mata, dia mendekat dan duduk di tepian tempat tidur. Anaknya, Sindi, naik ke atas tempat tidur dan mendekat hingga duduk di samping bantal tidurku.
"Kakak cakit, ya? Sindi mau main cama Kakak Nataca." Suara cadel khas anak kecil.
"Jangan sok akrab. Aku bukan kakakmu!" Aku membentak, memberinya tatapan tidak suka.
Si anak kecil itu langsung merengut, mundur karena kaget menerima bentakan dariku. Dia terdiam dalam hitungan beberapa detik, lantas menangis kencang dan membuat ibunya harus membawanya pergi ke luar.
"Nat!" Ibuku berseru, tangannya refelk memukul lenganku yang tadinya digenggam sayang olehnya.
"Apa? Ibuk mau bilang lagi kalau aku gak boleh berbuat kasar? Iya? Mau ngomel lagi kalau harus sopan sama orang tua? Mau nyuruh aku baik juga ke mereka?" Aku menghujani Ibu dengan rentetan pertanyaan retoris.
"Ibuk gak mau kamu jadi anak yang gak baik, Nat." Ibu mengutarakan itu dengan suara isak yang semakin jelas.
Aku menghela napas kesal lalu duduk dari baringanku meski kepala masih berdenyut. Aku memeriksa diriku terlebih dahulu, melihat pakaian yang sudah berganti baju tidur lalu menyingkap selimut untuk memastikan luka tadi sore rupanya sudah diperban. Kepalaku kembali memberikan atensi kepada Ibu yang masih belum berhenti menangis.
"Buk, menjadi baik itu boleh. Tapi tolong, jangan goblok. Baik sih baik, goblok jangan." Maafkan aku yang berkata kasar padamu, Bu. Aku merasa bahwa aku memang harus mengucapkan penekanan itu. Tidak bisa kumengerti apa yang sebenarnya Ibu pertahankan dari hubungan keluarga yang tidak sehat ini. Ayah yang sudah jelas seperti Dewa Zeus–punya banyak anak dan istri–pun dengan tingkah gilanya yang hobi melakukan kekerasan. Kehidupan yang seperti ini tidak layak disebut keluarga, tempat ini juga tidak layak disebut rumah. Hari-hariku bersama Ayah dan Ibu lebih cocok bagaikan di neraka. Menyedihkan.
"Ibuk gak mau durhaka sama suami, Nat. Ibuk juga gak mau kamu durhaka sama Ayah kamu." Alasan klise yang selalu dilontarkan oleh Ibu dalam situasi seperti ini.
"Tapi mau sampai kapan kayak gini terus, Buk? Mau disiksa seumur hidup sampai kita mati? Ayah mungkin gak akan bunuh kita tapi apa iya aku harus mati karena depresi dulu baru Ibu bakalan sadar dan cerai sama Ayah?" Pertanyaanku membuat Ibu terdiam.
Aku tidak tahu apa yang memenuhi pikiran Ibu saat ini. Dia hanya berkata, "Sabar, Nat. Ada waktunya."
Sabar? Aku tidak bisa bersabar lagi. Ucapan Farid tadi siang sekarang terlintas di kepala. Pernyataan bahwa jika melapor guru tidak membuahkan hasil, kenapa tidak melapor polisi? Tindakan Ayah juga sudah masuk ke ranah kriminal. Pelaku KDRT juga dijelaskan dalam undang-undang dan bisa dipidanakan. Sepertinya ... aku harus tegas mulai dari sekarang.
.
05 Juli 2024
🌹 Resti Queen.
![](https://img.wattpad.com/cover/371287778-288-k730915.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Sweet Home
Teen FictionSeakan ditakdirkan untuk tak pernah menjalani kehidupan dengan tenang dan menyenangkan, aku dihadapkan pada rumah yang lebih cocok kusebut sebagai neraka. Menyaksikan kedua orang tuaku bertengkar setiap hari sudah biasa, ayah pemabuk yang hobi cocok...