07 • Durhaka?

12 5 0
                                    

Gea tidak berbohong saat mengatakan akan menemaniku pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan tentang kekerasan yang kuterima dari Ayah. Dia bahkan meminta bantuan kepada pamannya untuk memberikan tumpangan dengan mobil ketika hendak pergi ke sana. Paman Gea juga ikut bersama kami tepat ketika jam pulang sekolah berbunyi dan kami pergi ke luar gerbang, mobil hitam miliknya sudah bertengger di sana. Paman Gea melambaikan tangan, lalu membukakan pintu bagian belakang agar aku masuk ke dalam. Gea duduk di belakang bersamaku dan mobil pun melaju di jalan raya yang lengang.

"Jadi bener kata Gea kalau bapakmu suka KDRT, Ndok?" Paman Gea bertanya saat dalam perjalanan.

Aku mengangguk kikuk. "Iya, Pak."

"Jangan panggil Pak. Panggil Om Hendro aja biar akrab, kamu kan teman baiknya Gea." Hendro, atau yang mulai saat ini akan kupanggil Om Hendro berucap.

"Iya, Om." Aku menjawab singkat, lagi.

"Kalau urusan kayak begitu biasanya suka lama, Ndok. Tau sendiri kan ya kinerja kepolisian di sini. Proses usut-usutnya pasti bakalan lama. Kamu yang sabar, kalau sampai ini kedengaran sama bapakmu mungkin dia juga bakalan ngamuk. Tapi kalau kamu sabar dan terus maju, Om yakin semuanya akan berjalan dengan baik." Penjelasan yang diberikan Om Hendro memang mengandung unsur-unsur penyemangat, membuatku tersenyum mendengar tuturnya yang lembut itu.

"Pokoknya kalau ada apa-apa hubungi Om aja, nomornya bisa kamu minta lewat Gea. Nanti Om bantu deh sampai kasus ini selesai." Om Hendro menambahkan.

"Terima kasih, Om." Aku berucap tulus, mataku berkaca-kaca karena terharu.

Di sepanjang perjalanan, Gea mengajakku berbincang perihal siapa itu Om Hendro. Dia bercerita banyak hal bahwa dahulu Om Hendro pernah kehilangan seorang putri kandungnya di bangku sekolah dasar karena didorong ke jurang saat sedang melakukan kemah bersama teman-temannya. Hal tersebut rupanya menjadi dasar mengapa Om Hendro begitu baiknya mau menolongku saat ini, karena dia tidak suka dengan ketidakadilan yang terjadi pada anak-anak. Selain itu, Gea juga adalah seorang gadis dengan ibu single parent. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku sekolah menengah pertama sehingga Om Hendro menjadi pengganti figur seorang Ayah sebab dia adalah kakak tertua di keluarga ayahnya.

Jujur saja, dalam hatiku tersimpan secuil rasa iri terhadap kehidupan Gea. Secara ekonomi dia berkecukupan dan dikelilingi oleh orang-orang baik di sekitarnya. Kapan kiranya hidupku akan seperti dia?

Tidak terasa, mobil sudah menepi di area parkir Kantor Kepolisian Sektor Maesan. Lokasi ini sebenarnya bisa ditempuh dengan motor jika dari rumah. Namun, karena dari sekolah yang di pusat kota Bondowoso membuat perjalanan ke kecamatan sendiri jadi agak lama. Sesungguhnya di Bondowoso sendiri ada Polres jika memang hendak memberikan laporan. Namun, berdasarkan prosedur, laporan seharusnya melewati Polsek terlebih dahulu sebelum diambil tindakan dari posisi yang lebih atas jika diperlukan.

Kami bertiga segera turun dari mobil, masuk ke lobi utama sampai disambut oleh Polwan cantik dan disuruh duduk terlebih dahulu karena di dalam terlihat cukup sibuk. Hanya beberapa menit saja sampai si Polwan itu kembali datang mempertanyakan maksud kedatangan kami. Aku sama sekali tidak berbicara apa-apa dan Om Hendro yang menjelaskan semuanya.

Setelahnya, kami dibawa masuk ke ruangan yang lebih khusus. Hanya ada satu ruangan dengan dua meja. Satu meja tersebut diisi oleh si Polwan cantik dan sebelah meja lain seorang polisi lelaki yang sedang sibuk dengan dokumen dan komouter di atas mejanya. Aku diminta untuk duduk di kursi yang ada di depan si Polwan. Begitu duduk, aku diberikan sebuah formulir yang perlu diisi. Di sana aku mengisi nama lengkap serta hal-hal lain yang diminta termasuk jenis laporan serta deskripsi lengkap tentang apa yang hendak dilaporkan.

Si Polwan kemudian memberikan berkas itu kepada rekannya, katanya untuk diinput data. Rekan lelakinya itu menerima berkas tersebut dan mulai membaca-baca apa yang kutulis di sana.

"Woah, kamu melaporkan ayahmu sendiri, ya, Dek?" Si polisi lelaki itu bertanya padaku yang masih duduk di kursi dengan keringat dingin dan gugup.

"I-iya, kenapa, Pak?" tanyaku balik.

"Kamu durhaka, ya." Komentar dari si polisi lelaki membuatku tersentak sesaat. Entah kenapa rasanya sesak, tapi aku bisa mengatur pernapasanku lagi dengan normal.

"Durhaka?" Aku bertanya balik. Sakit rasanya hatiku mendengar ucapannya. Kata-kata durhaka adalah kata yang sering aku dengar. Ayah akan selalu mengancam dengan kalimat yang mengatakan bahwa aku anak durhaka setiap kali melawan. Hal ini membuatku jadi berpikir, apakah tindakanku ini benar-benar sama dengan durhaka pada Ayah? Apa aku salah?

"Heh! Kamu itu polisi kok bisa-bisanya berkata kayak gitu?!" Suara Om Hendro yang berada tak jauh dari tempatku duduk terdengar nyaring.

"Seorang Ayah kan gak mungkin mukul anaknya kalau anaknya gak salah, Bapak." Si lelaki polisi itu menanggapi.

"Tau apa kamu? Mukul dengan maksud menegur, menghukum, itu beda sama mukul karena kekerasan yang udah keterlaluan seperti yang dialami Ndok Natasya." Om Hendro meninggikan suara sampai dia bangkit dari tempat duduknya di sisi samping ruangan.

"Sudah cukup, Om. Gapapa." Aku menyela, tidak ingin pertengkaran ini menjadi lebih jauh sampai membuat keramaian di sini.

Dari kejadian ini, aku jadi menyimpulkan bahwa harapanku untuk dikelilingi orang-orang baik sepertinya sia-sia. Bahkan seorang polisi di hadapanku itu sekalipun, menganggap aku durhaka karena melawan Ayah, seperti anggapan Ibu terhadapku yang juga sama.

"Gak usah didengar, Ndok. Tindakan kamu udah benar dan ini bukan kedurhakaan. Seorang anak memang bisa durhaka kepada orang tua tapi orang tua juga ada yang dzolim terhadap anaknya. Ayah kamu itu termasuk orang tua yang kayak gitu jadi apa yang kamu lakukan sekarang sama sekali gak salah." Om Hendro mengucapkan itu dengan pelan, memandangku dengan ekspresi yang terlihat penuh simpati.

Aku mengangguk dan tersenyum. Keraguan dalam hatiku pupus dan semakin mantap untuk benar-benar melanjutkan kasus ini hingga Ayah mendapatkan balasannya. Aku ingin bebas dari segala derita dan ingin memiliki suasana rumah yang manis seperti orang lain juga.

.

🌹 Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang