11 • Berani?

9 4 0
                                    

Om Hendro secara jelas dan detail menginformasikan padaku tentang bagaimana akhirnya kepolisian menemukan Ayah dan kemudian menangkapnya serta di mana dia ditahan saat ini hingga pengadilan tiba nanti.

"Pengadilan perdananya akan dibuka tanggal 15 Juli, Ndok. Semoga aja lancar tanpa hambatan," ucap Om Hendro menjadi penutup perbincangan di antara kami.

Gea yang berada di sini juga menepuk pundakku dan memberikan senyuman terbaik lalu ikut menanggapi, "Jangan nyerah dan jangan ragu, Nat. Ini tindakan yang benar dan aku yakin, meski dia ayah kandungmu sekalipun, kamu gak sedang durhaka ke dia."

Teman satu-satunya yang kumiliki di sekolah ini rupanya mengerti apa yang menjadi beban terdalam bagiku setelah melaporkan ayahku sendiri. Takut akan ucapan Ibu bahwa aku anak durhaka terhadap Ayah akan benar-benar terjadi. Namun, pernyataan Gea seakan meringankan segala beban di dada, membuat pandanganku lebih jernih bahwa tindakan Ayah memang sesuatu yang salah. Bahkan salah besar dan amat pantas dimasukkan dalam jeruji besi sebab sudah bisa dikategorikan berbuat kriminal. Melakukan pencurian identitas untuk peminjaman uang dan kabur tak bertanggungjawab juga termasuk kesalahan. Yang jelas, aku tidak akan berhenti di tengah jalan.

Mungkin, kejadian ini membuatku menjadi lebih berani dibandingkan sebelumnya. Jika sebelumnya di sekolah aku tidak bisa melawan tiga orang yang mengaku sebagai girly gank itu sendirian, kali ini bagiku mereka sudah tidak semenakutkan itu meski bertiga. Melawan Ayah yang cara menyiksanya seperti itu saja aku sudah bisa apalagi mereka?

Tepat keesokan harinya ketika aku kembali ke sekolah setelah kemarin-kemarin libur tanpa keterangan karena malas dan mental sedang tidak baik-baik saja, aku berjalan masuk ke dalam kelas dan disambut oleh si geng kelas yang katanya terbaik sekelas padahal tidak.

"Masih berani juga Lo, ya, masuk ke kelas ini," ucap Elis yang sengaja berdiri dengan tangan bersedekah tepat di depanku. Langkahku menuju bangku terhenti karena dihadang olehnya. Kalau dihadang Elis, sudah tentu dua orang teman seperundungannya juga hadir. Heni dan Silvi juga berdiri di sisi samping Elis sambil menfokuskan atensi padaku.

"Teman-teman tahu gak kalau si anak buluk ini ngelaporin ayahnya ke polisi, loh?" Heni bersuara dengan nada nyaring. Ucapannya tersebut ditujukan pada teman-teman sekelas yang duduknya menggerombol menjadi satu meja karena guru jam pelajaran pertama juga belum datang.

"Kok bisa, ya, seorang anak sebegitu durhakanya sama orang tua sendiri? Ngeri banget, deh." Silvi ikut berbicara.

Anak durhaka, katanya? Aku menghela napas mendengar perundungan verbal yang selalu mereka lakukan. "Terus?" ucapku menanggapi.

"Anak durhaka! Kelas ini gak level sama anak durhaka kayak Lo!" Elis menekankan sambil mendorong kepalaku dengan jari telunjuknya.

Aku tertawa hambar. Dipaksakan. "Kalau aku disebut anak durhaka terus kamu apa, El? Anak kurang kasih sayang orang tua?"

"Jaga mulut Lo!" teriak Elis hendak menamparku tetapi tanganku cepat bisa menahan sehingga tamparan itu tidak mendarat di pipiku.

"Kalau kamu bisa secara gamblang menghinaku kenapa aku enggak? Kamu pikir aku gak tau kalau kamu sekolah di tempat yang akreditasi B setelah gagal masuk sekolah favorit di kota ini sebab nilainya jelek dan melakukan penyogokan ke pihak sekolah tetapi ditolak? Orang tuamu malu punya anak kayak kamu, makanya kamu gak diurus dan cuma dikasih duit tapi dicuekin. Makanya itu pula kamu jadi haus kasih sayang di sekolah, melakukan hal kayak gini buat dapat validasi dan secara enteng gak punya malu rebutan cowok yang namanya Farid padahal si cowok gak suka sama kamu." Panjang lebar aku berbicara padanya hingga dada Elis terlibat kembang kempis karena sepertinya emosinya naik.

"Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu! Kamu pikir kamu keren dengan jadi anak durhaka?" Itu suara Silvi.

Heni kemudian bergerak, dia mau menjambak rambutku tetapi gagal karena aku lebih dulu menepis tangannya. Ketika dia hendak melakukannya dengan tangannya yang lain, aku menghalanginya dengan mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat hingga dia mengadu kesakitan.

"Kalian pikir kalian keren dengan melakukan perundungan? Anak-anak sekelas aja gak ada yang peduli sama kalian tuh." Aku mencibir. Lalu aku melanjutkan dengan mengalihkan perhatian pada anak sekelas yang sekarang menatap ke arah perdebatan kami. "Kalian semua gak usah setakut itu deh masa mereka. Kita sekelas kalau gak nyapain ini tiga orang sekalipun, enggak akan ada apa-apa. Mana berani mereka 3 lawan sekelas. Mau ngadu ke ortu? Gak mungkin. Anak kurang kasih sayang gak bakal diurus."

"Diam kamu, anak durhaka!" Heni berteriak tidak terima.

Mereka hendak menjambakku bersamaan tetapi Gea kemudian muncul dari belakang. Dia juga baru datang. Gea segera berdiri di sampingku sambil bersedekap. "Tau apa kalian? Natasya jadi korban kekerasan di keluarganya sampai badannya penuh luka. Kalau ayahnya dipenjara itu karena ulah sendiri, menuai apa yang si ayah dzolim itu lakukan. Nat itu korban, bukan anak durhaka. Durhaka itu kalau kek kalian, gak punya moral dan taunya nyiksa orang lain dengan tameng nama ortu yang orang kaya doang. Kalian pikir yang kaya cuma kalian doang? Hahaha, sombong amat. Halu, ya?"

Ketiganya langsung tak dapat menanggapi apapun dari ucapan Gea. Pada akhirnya ketika perundung itu cuma bisa mendengkus lalu pergi keluar kelas secara bersamaan.

.

11 Juli 2024

🌹Resti Queen.

Not A Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang