Punya banyak keluarga ternyata tidak begitu memberikan dampak bagus untukku yang sedang kesusahan. Meskipun ibuku empat bersaudara dan ia sebagai kakak sulung, adik-adiknya yang berkeluarga dan tinggal di luar kota tidak peduli meski sudah dikabari bahwa Ibu terbaring koma di ranjang rumah sakit.
Katanya, mereka sibuk. Katanya, anak-anak kecil mereka tidak bisa ditinggal. Bahkan ketika aku mengatakan di telepon bahwa mereka bisa membawa anak mereka sekalian, tetap saja masih ada alasan seperti takut tidak betah di sana atau tidak bisa memberikan bantuan serta memohon maaf sebab tak bisa datang barang hanya menjenguk sebentar.
Aku malas. Berbincang dengan orang yang tidak memiliki kepedulian membuat batinku lelah. Harusnya sejak awal tadi aku tidak perlu menghubungi mereka. Aku hanya mendengarkan saran dari Bu Nia bahwa saudara-saudara kandung Ibu perlu tahu tentang kondisi di sini. Namun, rupanya tidak juga. Apa gunanya menelepon mereka kalau pada akhirnya hanya mengucap turut bersimpati tetapi sekadar pura-pura?
Beruntunglah aku memiliki Bu Nia, tetangga sebelah timur rumahku itu cukup baik dan banyak membantuku selama seminggu terakhir aku berada di rumah sakit. Tidak, aku tidak dirawat tetapi aku memang menetap di rumah sakit karena menemani Ibu sekaligus sudah tidak memiliki tempat lagi untuk pulang. Rasanya sekarang kamar rawat Ibu sudah sama dengan rumah sementara untukku. Tempat untuk pulang dari sekolah, berganti baju, mandi, dan lain-lain.
Tidak ada dapur tidak ada uang sehingga aku tak bisa memasak ataupun mencari makan. Besar rasa syukur yang kupanjatkan di dalam hati karena di saat terberat diriku ini, Gea dan Om Hendro secara rutin mengunjungi. Om Hendro memang tidak setiap hari seperti Bu Nia karena faktor pekerjaannya, dia mengunjungi sebanyak lima kali dalam seminggu ini. Tentu setiap datang pasti membawa buah tangan berupa makanan dan buah. Bu Nia juga setiap hari datang memberikan makanan yang dia masak sendiri agar kebutuhan perutku tercukupi. Dia tidak bisa menginap sebab Bu Nia memiliki seorang putra balita yang harus diurusi.
Bagiku, segalanya sudah lebih dari cukup. Hari-hariku selama seminggu di rumah sakit ternyata tidak semenyedihkan itu. Sekarang aku hanya fokus pada kesembuhan Ibu meskipun nanti aku tidak tahu lagi harus bagaimana jika Ibu benar-benar terbangun dari koma. Ke mana kami harus pulang?
"Nat." Suara panggilan seorang gadis mengalihkan lamunan. Aku menoleh ke arah sumber suara, Gea baru saja datang dengan Om Hendro sambil menenteng kresek hitam berisi makanan.
"Ge, Om Hendro, kalian gak perlu sampai segitunya. Makanan di sini masih banyak karena tadi Bu Nia bawa lebih." Aku berucap setelah melihat kresek yang dijinjing Gea itu cukup besar.
"Ini bukan makanan, Nat. Liat, ini cemilan," ucap Gea sambil mengeluarkan berbagai makanan ringan keluar dari kresek tersebut dan menatanya di atas meja di samping brangkar.
"Makasih banyak, Ge. Tapi aku gak mau ngerepotin kamu lebih jauh." Aku bersungguh-sungguh saat berkata demikian.
Gea malah berdecak. "Halah. Jangan gitu, lah. Namanya temen kan emang harus saling bantu."
"Tapi aku kan gak ada bantu kamu apa-apa sedangkan–"
"Nat, cukup." Gea memotong ucapanku yang belum selesai. Dia kemudian melanjutkan, "Kalau aku di posisi kamu, aku yakin kamu juga bakalan baik sama aku. Dan aku juga belum tentu bakal sekuat kamu. Maka dari itu, jangan ngerasa sungkan karena gak ada hal apapun yang bisa aku bantu ke kamu selain cuma ngasih makanan yang gak seberapa ini."
"Itu mahal." Aku membalas. Makanan-makanan seperti itu biasanya ditemukan di supermarket atau semacamnya, harganya juga di atas ukuran kantong uang jajanku.
"Halah, buatku murah. Aku kan kaya." Gea bertutur sembari menaikturunkan alisnya. Dia memang suka bercanda seperti itu meski apa yang diucap memang fakta bahwa dirinya kaya.
"Makasih, Ge," ucapku tulus.
"Kebanyakan makasih, deh. Nih cepetan makan." Gea menyodorkan sebungkus roti bolu coklat padaku. Dia kemudian terkesiap hanya sedetik, lantas menatapku lagi. "Oh, ya, Om Hendro mau ngomong sesuatu yang penting."
"Apaan?" tanyaku tapi Gea hanya mengedikkan bahu.
Aku beralih menatap ke Om Hendro sambil menyantap satu bungkus bolu coklat yang sudah dibuka oleh Gea. Kami duduk di kursi bersebelahan di samping kanan brangkar Ibu sedangkan Om Hendro di sisi kiri brangkar.
"Jadi gini, Ndok Natasya. Soal laporan kita sebelumnya, polisi sudah selesai melakukan penyelidikan." Om Hendro membuka obrolan dengan pernyataan yang sontak membuatku tidak jadi menyantap potongan bolu kedua. Mulutku menganga karena terkejut. Kecepatan degup jantung juga meningkat. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba muncul tanpa bisa kudeskripsikan. Entah ini perasaan senang, khawatir, cemas, atau lega.
"Terus gimana, Om?" tanyaku serius.
"Waktu itu Om memang ngasih nomor HP Om ke polisinya sebagai penanggung jawab. Anggap aja semacam wakilnya Ndok karena kalau ada apa-apa polisi enggak mungkin jelasinnya langsung ke Ndok yang adalah korban." Om Hendro menjelaskan mulanya.
Aku mengangguk mengerti. "Kelanjutannya gimana, Om?"
"Sebenarnya polisi mau nyamperin Ndok Natasya buat pemeriksaan sekaligus dipindahkan ke tempat perlindungan saksi dan korban. Tapi karena kondisi sekarang seperti ini, Om minta polisi buat gak jemput Ndok Nat dan yakinin mereka kalau Ndok Nat aman di sini karena Om juga pantau." Om Hendro masih memberikan penjelasan yang menurutku belum ke titik poin utamanya.
"Aku ngerti, Om. Perkembangan penyelidikannya yang kata Om Hendro udah selesai itu gimana?" Aku bertanya lagi.
"Soal Ayah Ndok Natasya yang kabur bersama istri dan anaknya, udah ditemukan polisi dan dilakukan penangkapan tadi malam di rumah mertua dari istri barunya kalau gak salah namanya Lisma, ya? Lisma kayaknya. Terus ternyata polisi juga minta kesaksian dari para tetangga dan syukurlah kebetulan saat Ndok Nat dilempar ke kolam dan dilempar batu ada tetangga yang merekam sehingga bisa dijadikan barang bukti kuat. Lisma istri barunya ayahmu itu juga katanya mau memberikan kesaksian tambahan jika diperlukan." Penjelasan panjang lebar Om Hendro membuatku membeku.
Informasi ini benar-benar penting. Sangat penting hingga membuatku rasanya sesak dan tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ayahku, ayah kandungku sekarang sudah ditangkap dan akan dipenjara.
Gemuruh dalam dadaku tidak bisa diam merasakan kekhawatiran. Khawatir ke depannya akan bagaimana. Apakah proses hukumnya akan lancar, atau apakah akan berakhir bahagia jika Ayah benar-benar dipenjara. Namun, meski khawatir mendalam, jauh dalam lubuk hatiku saat ini benar-benar mengharap Ayah mendapatkan balasan yang setimpal.
.
10 Juli 2024
🌹 Resti Queen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not A Sweet Home
Novela JuvenilSeakan ditakdirkan untuk tak pernah menjalani kehidupan dengan tenang dan menyenangkan, aku dihadapkan pada rumah yang lebih cocok kusebut sebagai neraka. Menyaksikan kedua orang tuaku bertengkar setiap hari sudah biasa, ayah pemabuk yang hobi cocok...