Bab 7

1.6K 202 4
                                    

Terlahir sebagai anak konglomerat dengan tanggung jawab besar, Carlo terbiasa bekerja keras. Kalau bukan karena Carter yang tidak bisa bekerja saat siang, ia pasti tidak akan sesibuk ini. Seharusnya sebagai saudara mereka bisa saling bantu, bekerja sama, demi perusahaan agar semakin baik. Nyatanya ia merasa berusaha sendirian. Sering kali ia mengeluh pada orang tuanya, menganggap mereka terlalu pilih kasih antara dirinya dan Carter, tapi jawaban yang diberikan tidak memuaskannya.

"Sebagai kakak, kamu harusnya mengalah Carlo. Kasihan Carter kalau dipaksa kerja siang hari. Kamu tahu bukan apa kendalanya?"

Selalu sama, dirinya dipaksa untuk mengalah sedangkan setiap sen keuntungan dari perusahaan dibagi sama rata antara dirinya dan Carter. Padahal umur mereka tidak berjarak terlalu jauh, sama-sama mahir berbisnis, tapi kenapaus dirinya yang bekerja lebih keras? Carlo terlalu kekanak-kanakan kalau mengatakan orang tuanya pilih kasih tapi kenyataannya begitu. Sedari muda ia berusaha mati-matian demi menunjukkan pada orang tua dan keluarga besarnya kalau dirinya mampu, tapi selalu Carter yang mendapat pujian. Setiap kali pertemuan keluarga besar Solitare, semua orang dengan bangga akan memuji pencapaian Carter dan sama sekali tidak pernah ada pujian itu untuknya. Benar-benar membuatnya muak.

"Carter mempunya otak yang brilian."

"Luar biasa inovasi yang dilakukan Carter."

"Keuntungan keluarga kita meningkat tiga puluh persen dibandingkan tahun lalu karena Carter."

Puja dan piji berhamburan dari semua orang, dari mulai kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu-sepupunya serta kerabat. Menganggap seakan Carter adalah dewa bagi mereka semua. Padahal direktur utama ada dua, yaitu dirinya dan Carter. Sialnya, Carlo merasa dirinya dikesampingkan. Sia-sia rasanya berjuang dan tidak diindahkan. Bisa saja ia mengeluh, mengajukan protes dan segala macam, tapi sadar kalau tidak berguna karena mereka tidak akan mendengarkannya.

Apakah Carlo terpikir untuk berkhianat pada keluarganya? Sering sekali, mengingat ada banyak perusahaan lain yang ingin merekrutnya tapi rasa cinta pada keluarganya membuatnya berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan. Lebih baik ia berkerja lebih keras, membangun kekuasaan dan membungkam mulut orang-orang yang meremehkannya.

"Sayang, kamu masih bekerja?"

Sofia muncul dalam balutan gaun tidur tembus pandang warna merah. Dadanya menyembul dengan puting yang menegang sedangkan pangkal paha tertutup celana dalam mini warna hitam. Membawa nampan berisi kopi dan meletakkan di meja suaminya.

"Aku buatkan kopi untukmu, biar kuat kerjanya."

Carlo menatap istrinya sekilas sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya. Saat ini sedang tidak tertarik untuk bercumbu dengan istrinya. Memikirkan masalah perusahaan sudah cukup membuatnya pusing. Ia tertegun sejenak saat jemari istrinya merayap di punggungnya. Bibir merah mendesah di telinga dengan penuh rayuan.

"Bagaimana kalau aku membantumu agar lebih bergairah dalam bekerja, Sayang. Kamu tahu aku ahli dalam melakukannya bukan?"

Saat jemari Sofia mulai menggerayangi pangkal paha, Carlo mendongak. Dengan sedikit kasar ia menyentakkan tangan istrinya.

"Jangan main-main Sofia, aku sedang sibuk!"

Sofia mencebik, wajah cantiknya memerah karena kesal. "Kenapa kamu selalu menolakku? Apa kamu lupa kalau aku ini istrimu?"

"Jangan drama, Sofia!"

"Kamu yang drama. Heran sekali aku sama kamu. Kita menikah sudah hampir satu tahun. Selama ini pula aku mencoba jadi istri yang baik tapi apa yang aku dapatkan? Penolakan demi penolakan darimu!"

Protes istrinya membuat Carlo kehilangan konsentrasi dalam bekerja. Ia menggebrak meja, bangkit dari kursi dengan marah.

"Apa yang kamu inginkan Sofia? Bukankah dari awal kamu tahu kalau pernikahan kita karena bisnis? Kamu sepakat untuk menjadi istriku yang baik, cantik, dan sexy. Kamu bebas mau belanja apa pun, berlibur kemanapun, asalkan tidak mengangguku!"

Midnight SecretaryWhere stories live. Discover now