Dua Minggu setelah pemakaman dan Khaelia masih berkubang dalam rasa sedih. Mengurung diri di kamar kontrakannya yang kecil dan tidak keluar sama sekali. Satu-satunya hal yang dilakukan hanya makan biskuit, minum, tidur, dan menangis. Hal yang sama terus dilakukan berulang, tidak peduli kalau tubuhnya menjadi kurus dengan kulit pucat.
Khaelia tidak menjawab pesan dari Carter dan Bosman. Tidak mengangkat panggilan dari keduanya. Memilih untuk menyentuh ponsel sama sekali. Hingga di hari kedelapan Mila datang. Gadis itu menggedor pintu kontrakannya.
"Khaelia, keluaar! Ngapain kamu di dalam dan tidak keluar. Jangan-jangan bunuh diri!"
Dengkusan keras keluar dari bibir Khaelia saat mendengar perkataan Mila. Kalau memang diijinkan ia ingin sekali bunuh diri, dengan begitu tidak perlu menahan rasa sakit karena ditinggal sendiri. Bisa berkumpul kembali dengan kedua orang tuanya. Tapi teringat pesan dari sang mama saat masih sehat, yang mengajarkannya untuk berani menghadapi kerasnya hidup dan tidak boleh menyerah apa pun yang terjadi.
"Kematian tidak akan mengakhiri semuanya kecuali apa yang ditakdirkan Tuhan."
Nasehat itu yang menghalanginya berbuat nekat meskipun sangat ingin mengakhiri hidup. Ia sedang bersedih, enggan melakukan apa pun tapi tidak dengan bunuh diri. Gedorang kembali terdengar, kali ini Mila sangat marah.
"Kalau kamu tidak membuka pintu, aku akan mendobraknya. Kalau sampai pintunya rusak, kamu yag harus bayar biaya perbaikan!"
Ancaman Mila membuat Khaelia mengangkat tubuh dari atas ranjang kecil dan berjalan tersaruk menuju pintu. Saat pintu membuka dan matahari menerobos masuk, Khaelia menyipitkan mata dan menutup dengan telapak tangan. Mila mengernyit dan menutup hidup.
"Bau keringat! Jangan bilang kamu nggak mandi berhari-hari?"
Khaelia menggeleng. "Mandi tentu saja. Kamu mau apa kemari? Disuruh orang tuamu? Bilang sama Paman dan Bibi, aku baik-baik saja."
Mila berkeliling kontrakan dengan tangan bersedekap. Pertama kali ia datang ke kontrakan ini dan tidak menyangka kalau keadaannya akan serapi ini. Ranjang kecil, sofa mungil warna pastel dengan meja kaca bulat, serta kamar mandinya pun bersih. Khaelia pintar menata ruangan yang kecil menjadi nyaman untuk ditempati. Bau menyengat yang awalnya ia cium ternyata bukan dari ruangan ini melainkan dari kamar sebelah. Ia menatap lemari yang cukup besar dengan rak sepatu. Ada sekurang-kurangnya lima pasang sepatu. Rasa penasaran membuat Mila bergegas ke arah lemari dan membukanya.
"Hei, apa-apaan kamu ini?" teriak Khaelia.
Untuk sesaat Mila terbelalak pada banyaknya pakaian kerja milik Khaelia. Ada yang ditumpuk, dan sebagian digantung rapi. Jauh lebih banyak dari terakhir melihatnya saat mereka masih serumah. Rupanya beberapa bulan bekerja membuat Khaelia mendapatkan banyak uang untuk membeli setelan. Mila meraba beberapa permukaan pakaian yang halus dan merasa sangat iri. Sampai sekarang ia masih belum menemukan pekerjaan yang cocok dan menganggur membuatnya frustrasi.
"Mila, mau apa kamu?" tanya Khaelia.
Mila menyambar minidres hitam tanpa lengan dan memberikan pada Khaelia. "Pakai ini?"
Khaelia tertegun dengan gaun di tangan. "Kita mau kemana? Kenapa harus pakai ini?"
"Aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk melupakan kesedihan. Sebagai saudara yang baik sudah pasti harus saling bantu. Cepat ganti, aku tunggu!"
"Tidak! Aku sedang nggak mood kemana-mana."
"Oh, jadi niat untuk terus berduka? Memangnya mamamu bakalan senang kalau kamu gini? Setidaknya pikirkan juga keluargamu. Gara-gara kamu begini papa dan mamaku jadi kuatir. Sedih boleh aja tapi jangan egois. Cepat ganti!"
YOU ARE READING
Midnight Secretary
RomanceKisah Khealia yang menjalani tugas sebagai sekretaris billionare bernama Carter. Bekerja saat malam, menjadikan keduanya terjebak dalam hubungan liar dan memabukkan.