Bab 19

1K 181 8
                                    

Di restoran mewah yang khusus melayani fine dinning, Carter duduk berhadapan dengan seorang perempuan cantik berambut hitam lurus sepunggung. Perempuan cantik berumur 28 tahun itu bertubuh langsing dengan kulit seputih pualam dan wajah tirus yang menawan. Keduanya berkenalan kurang lebih sepuluh menit lalu dan sekarang sedang menyantap hidangan pembuka berupa canape serta sup krim kental. Perempuan itu bernama Joice yang merupakan anak menteri perdagangan. Datang ke acara kencan buta ini bukan niat Carter, tapi terpaksa dilakukan demi sang papa. Ia tidak ingin mengikuti kemauan orang tuanya tapi juga tidak ada niat terlalu menentang. Setidaknya datang sekali hanya untuk membuktikan dirinya bukan anak pembangkang Meskipun Carter tidak pernah peduli dengan julukan apa pun dari sang papa.

"Aku juga sering datang kemari." Joice membuka percakapan, suaranya sangat halus dan lembut seperti sosoknya.

Carter mencicipi supnya. "Benarkah?"

"Restoran ini termasuk salah satu yang terbaik di Soul Hills, sepertinya semua penduduknya sepakat mengatakan kalau di sini terhitung nyaman dan makanannya enak."

"Kamu suka makanan di sini?"

Joice mengangguk, senyum merekah di bibirnya. "Sangat suka."

"Kenapa makanmua cuma sedikit kalau suka?"

Carter bukan alasan kenapa bertanya seperti itu, merasa heran karena orang yang makan sangat sedikit tapi mengatakan sangat suka rasanya. Makanan dihidangkan dalam porsi yang kecil dan Joice tidak menghabiskannya kalau begitu bagaimana bisa mengatakan suka?

"Oh, ini. Aku sedang diet. Sup ini akan membuatku gemuk." Joice menunjuk sisa supnya tanpa malu. "Biasanya aku selalu habis. Ngomong-ngomong kamu suka olah raga?"

Carter menggeleng. "Tidak terlalu."

"Kenapa? Apa karena sibuk?"

"Bisa dibilang begitu."

Carter tidak ingin menceritakan secara detil tentang dirinya yang tidak pernah tertidur saat malam, dan menghabiskan siang hari untuk tidur. Joice tidak perlu mengetahui apa pun, mereka bertemu hanya untuk berkenalan saja.

"Kamu bekerja di bidang seni?"

"Benar, aku punya galeri di jalan Moroco. Lukisan, patung, ukiran, dan seni apa pun ada di sana. Maukah kamu mampir kapan-kapan?"

"Tentu saja, kalau waktunya cocok."

"Kamu suka seni, Carter?"

"Tidak terlalu mengerti tapi aku menyukai lukisan."

"Aku mendengar dari papa, katanya kamu mengurus perusahaan international?"

Carter mengangguk, mengiris steaknya yang baru saja datang. Joyce pun melakukan hal yang sama, makan perlahan sambil bercerita tentang bisnis dan galeri. Sebenarnya Joice bukan perempuan yang buruk, cukup menyenangkan diajak bicara dan terhitung cerdas. Sayangnya ia tidak suka dijodohkan karena tidak ingin diatur dalam hal rumah tangga dan cinta. Ia sudah cukup lelah mengurus pekerjaan. Tidak ingin membenai hidupnya dengan hal seremeh cinta. Saat ini sudah cukup puas dengan hubungannya yang aneh dengan Khaelia.

Dilihat dari kacamata orang luar, hubungannya dengan Khaelia tidak lebih dari boss dan sekretaris, padahal lebih dari pada itu. Bagi Carter, Khaelia adalah penyemangat hidup karena semenjak mereka melakukan kontrak sex, hari-harinya menjadi lebih berwarna dan menyenangkan. Ada hal lain yang diharapkan selain keberhasilan dalam bekerja. Setiap hari ia memikirkan cara untuk membuat Khaelia menikmati sex. Makin hari Carter merasa dirinya bertambah mesum.

Pikiran dan hati Carter mendadak muram saat teringat akan Khaelia. Sudah dua Minggu berlalu sama sekali tidak ada kabar dari Khaelia. Teleponnya tidak diangkat serta pesannya tidak dibalas, entah apa yang terjadi dengan perempuan itu sebenarnya. Ia sempat meminta Bosman mencari kabar dan menurut informannya, semuanya baik-baik saja. Khaelia hampir setiap hari mengurung diri di kamar, tidak pernah keluar apalagi bertemu dengan orang-orang. Tetap berada di kontrakan serta tidak kembali ke rumah paman dan bibinya. Perempuan itu tenggelam dalam duka yang mendalam.

"Carter, kenapa diam? Apakah aku membosankan?"

Carter menggeleng perlahan. "Tidak, aku cukup menikmati percakapan kita. Membahas soal seni dan segala macam ternyata cukup menyenangkan."

Pujian Carter membuat Joice tersenyum lebar. "Benarkah? Aku senang kalau kamu tidak bosan. Beberapa laki-laki yang sempat aku temui sebelumnya, kurang suka mendengar kisahku. Justru mereka akan lebih bangga kalau aku yang lebih banyak mendengarkan pencapain-pencapaian mereka."

"Sayang sekali, padahal pencapaianmu di bisnis seni sangat luar biasa."

Hati Joice berbunga-bunga seketika mendengar sanjungan Carter. Ia tahu kalau laki-laki itu tulus mengatakannya dan itu adalah pujian spesial untuknya. Ia tidak berbohong saat mengatakan kalau hampir semua laki-laki yang ditemuinya suka membuat dan menjengkelkan, jarang sekali kencan buta berakhir dengan menyenangkan. Namun kali ini terasa berbeda. Carter benar-benar mengerti akan dirinya.

"Kamu baik sekali, Carter."

"Baik apanya? Memang yang aku katakan adalah kenyataan."

Selesai makan malam, Joice bertanya apakah mereka bisa melanjutkan obrolan di lounge hotel sambil minum-minum. Dengan sopan Carter menolaknya.

"Maaf, tidak bisa. Aku harus kembali ke kantor."

Joice nampak kecewa. "Kalau begitu, apakah kamu mau mengajakku bertemu lain kali?"

Kata-kata yang penuh harap dari Joice membuat Carter serba salah. Ia ingin menolak tapi demi sopan santu dan sedikit rasa iba pada Joice, membuatnya menjawab lembut.

"Tentu saja."

"Kalau begitu sampai ketemu lain kali."

Sepulang dari restoran, Carter yang sedari tadi menahan perasaan ingin bertemu Khaelia, mengarahkan kendaraan ke kontrakan gadis itu. Informan yang ditugaskan mencari tahu soal Khaelia, mengabarkan kalau perempuan itu pergi bersama Mila dari sore dan sampai jam segini belum kembali. Tidak biasanya Khaelia pergi saat malam. Carter yang merasa kuatir merasa perlu mencari tahu.

Tiba di pinggir jalan, informannya mendekat dan mengatakan Khaelia belum kembali. Carter memutuskan untuk menunggu sesaat sambil merokok. Hingga setengah jam kemudian, sebuah taxi berhenti dan Khaelia keluar dari sana. Saat melihatnya Khaelia meraung dan menangis, membuat Carter kebingungan.

Carter tidak mengantar Khaelia pulang, tapi membawa gadis itu ke kantor. Membiarkan Khaelia menangis hingga puas, setelah itu memesan makan dan minuman hangat. Ia sendiri sedang kelaparan, banyaknya pekerjaan membuatnya lupa untuk mengisi perut. Keduanya makan bersama dengan lahap, menyantap sup daging dan nasi ayam tanpa bercakap. Sup daging diberi rempah untuk meredakan mabuk.

"Tuan, terima kasih sudah ditraktir."

"Sudah kenyang?"

Khaelia mengangguk. "Iya, Tuan."

"Tidak mau menangis lagi?"

Khaelia menggeleng, merasa sedikit malu untuk bicara karena sudah menangis tanpa alasan di depan Carter. Selama dua minggu ia menghindari Carter dan tidak menyangka kalau laki-laki itu akan mencarinya. Ia merasa sangat bersalah karena menghindar padahal Carter tidak mempunya salah dengannya.

"Kamu pergi kemana tadi?"

"Klub malam."

"Kenapa mendadak punya ide pergi ke sana?"

"Diajak oleh Mila, tanpa saya tahu kalau akan pergi ke klub. Tadinya saya pikir diajak belanja atau makan-makan, karena Mila pikir saya terlalu larut dalam kesedihan. Dia merayu kalau jalan-jalan dan melihat dunia luar akan bagus untuk saya."

Carter mengangguk setuju. "Untuk bagian itu sepupumu benar. Bukannya kamu tidak boleh bersedih, tapi bukan berarti menutup diri pada dunia."

Kata-kata Carter membuat Khaelia menghela napas panjang, lalu menunduk menatap lantai berkarpet. Sudah dua Minggu berlalu dan Khaelia merasa mamanya baru pergi kemarin. Entah dirinya yang belum rela atau waktu yang berjalan sangat lambat.

"Tuan, saya kini sendirian. Tidak punya lagi orang tua."

Carter mengusap lembut rambut Khaelia dan menatap lekat-lekat. "Kamu masih punya aku. Ingat, aku ini bukan hanya tuan tapi juga pasanganmu. Kenapa kamu masih merasa sendirian?"

Midnight SecretaryWhere stories live. Discover now