2. Salah satu filosofi bulan

36 13 1
                                    

SEBELUM LEBIH JAUH, SILAHKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU AKUN AUTHOR @sdtl_jhhhh SUPAYA KAMU MENDAPATKAN NOTIFIKASINYA!

TANDAI TYPO DAN KESALAHAN⚠️

SELAMAT MEMBACA🤍

**

4. Salah satu filosofi bulan

"Bulan itu mengajarkan bahwa seindah dan semenarik apapun perasaan suka kita terhadap sesuatu, bukan berarti sesuatu itu harus jadi milik kita. Dengan memandang bulan juga aku bisa tau kalau jarak antara aku dan dia sangat jauh, bulan itu tinggi bagaimana mungkin aku bisa memiliki nya sendiri. Aku sering menatap bulan dengan bintang nya mereka sama-sama indah dan sangat nyaris sempurna. Mereka berdua sangat cocok bersama."




Waktu berjalan lebih cepat. sang Surya kini telah pergi. Bersama cahayanya yang menghilang, keindahannya pun ikut tenggelam.

Menatap sebuah Album lama dengan tatapan sayu, dia membuka setiap lembaran yang berisi sebuah tulisan.  Mengingat-ingat memori indah masa lalu, yang tidak mungkin untuk terulang.

Tangan nya berhenti bergerak. berhenti menggeser setiap lembarnya. "Dulu, kita pernah se cemara itu." Monolog Ana.

Rumah mewah namun sederhana itu, sangat sepi. Bukan tidak ada orang didalamnya, akan tetapi, semua tidak bisa seperti dulu. Tetap ramai, meskipun sudah banyak kehilangan.

"Mending galauin hateesan virtual gue." Ujarnya, dengan menutup album lama itu.

Dia mengotak-atik handphone nya. seperkian detik, dia meloncat-loncat kegirangan. Kembali ke tempat tidurnya dengan senyuman yang mengembang, lalu berguling-guling tidak jelas seperti manusia gila.

"PAPAA!!! ANA, DAPET PACARRR!!!"

"YEAH!!!"

"SENANGNYA DALAM HATI!"

"PAK CEPAK CEPAK JEDERR!" Girangnya dengan bersenandung. Lagi-lagi, dia bahagia dengan caranya, yang unik. Membuat teman hts nya yang di virtual itu mengajak dia untuk berpacaran.

Bersama senyumannya yang terpatri, dia menarik nafas lalu mengeluarkannya dengan tenang, sebuah senyuman pun tidak pudar.

"Gigi lu kering, Na." Sahut kakaknya, Shaka. Dia sangat tiba-tiba sekali ada di depan pintu dengan es cekek yang ia seruput.

Ana mendekati kakaknya. Benda pipih itu ia angkat dan perlihatkan pada Shaka. "Terus?" Tanggapnya.

"Kak? Oke, cukup tau!" Sentak nya lalu kembali ke ranjang dengan wajah cemberut.

Shaka yang melihat adiknya marah pun berinisiatif untuk meminta maaf terlebih dulu sebelum kembali ke kamarnya.

"Marah, lu?" Ujar Shaka, bertanya.

Ana yang mendapat pertanyaan seperti itu menatap tajam sang kakak. "I don't know," ketus Ana, mendelik.

Ana, melemparkan benda pipih itu ke atas ranjang. lalu berjalan, keluar kamar dengan menutup pintu keras. Shaka yang merasa kaget pun dia tidak ambil pusing. Selalu tenang, meskipun di ambang kerisauan.

Shaka menyusul adiknya dengan berlari kecil. "Na, nongkrong bareng lah kita!" Ajaknya, sedikit berteriak dengan menuruni anak tangga.

"Malesin Lo." Jawab, Ana. Dengan meminum segelas air putih.

"Gue kasih lu seratus kalau lu mau nemenin gue," Tawar Shaka, menaik turunkan alisnya.

Ana yang diberi tawaran seperti itu pun tengah berpikir keras. "Nego deh seng, kalau seratus kegedean gimana kalau 200?" Ujarnya dengan senyuman yang tidak bisa di artikan.

Malam bersama rintiknya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang