Sebelas

80 16 2
                                    

Kalila mengira Harraz akan menunjukkan sikap berbeda setelah malam intens itu. Nyatanya tidak. Bukan Kalila mengharapkan lebih, hanya saja ia merasa kalau ia berhak salah paham. Atau setidaknya mendapatkan permintaan maaf. Melihat sikap gentleman Harraz, pria itu setidaknya akan meminta maaf jika ia melewati batas wajar. Atau Kalila hanya merasa ia mengenal Harraz padahal sama sekali tidak?

Pagi ini Harraz tampan luar biasa. Ia berbalut kaos lengan pendek hitam dan denim panjang. Jam tangan hitam dan sepatu kanvas yang dipakainya membuatnya terlihat seperti mahasiswa alih-alih sutradara. Sebenarnya, penampilan Harraz tak berubah. Bukan pula Kalila tak menyadari wajah tampan Harraz sejak awal berjumpa. Kharisma Harraz yang semakin terlihat semakin mengenalnya.

Harraz tersenyum ketika melihat Kalila berdiri memasuki studio syuting. Harraz membuat gerakan menelepon dengan tangannya. Kalila sontak mengambil ponsel di tas dan mendapati satu pesan dari Harraz.

From: Sutradara Harraz
nanti ada makan malam bareng pemeran dan kru. km bisa datang.

Alih-alih membalas pesan, Kalila memilih membuat gestur "oke" dengan tangannya. Toh, Harraz masih melihatnya dan tersenyum setelah melihat responsnya. Harraz kemudian sibuk mengarahkan syuting dalam beberapa jam ke depan. Kalila juga memilih untuk pergi ke kafe setelah memotret ruangan syuting sebagai bahan pertimbangan membuat merchandise.

***

"Wah, nyaman sekali kerjamu," ucap Harraz yang tiba-tiba berdiri di sebelah meja. Kalila duduk di samping jendela besar di kafe yang berada tepat di depan lokasi syuting.

Kalila mengangguk. Ia tidak pernah mengira menggambar di kafe sembari menikmati kopi dan cake akan sangat menyenangkan. Kenapa juga ia selalu mendekam di kamar kosnya selama 15 tahun terakhir.

"Sudah selesai syuting?" tanya Kalila kemudian. Entah sejak kapan ia tidak merasa terkejut ketika Harraz tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Coffee time," jawab Harraz santai sembari menyeruput ice latte Kalila. Pria itu memilih untuk tetap berdiri daripada duduk di kursi kosong di depan Kalila.

"Itu kopi di tangan lo punya Kalila, kan?" tanya Banyu, menyusul Harraz menghampiri Kalila. Banyu membawa dua gelas ice americano.

"Karena ada di meja dia, harusnya memang punya dia," jawab santai Harraz sambil tetap menyeruput kopi Kalila.

"Sejak kapan lo mau minum dari gelas orang lain?" tanya Banyu, wajahnya semakin menunjukkan ekspresi tidak percaya.

"Gue gak pernah emang?"

"Not even once! Lo bahkan gak bakal mau minum dari gelas lo lagi kalau diminum orang lain!"

"Really? Well, lo salah kali." Harraz kemudian mengembalikan ice latte Kalila yang hampir habis. "Beli lagi aja, pinnya ulang tahun saya dibalik. Cek google saja kalau tidak tahu kapan ulang tahun saya. Saya perlu kembali ke lokasi," ucap Harraz sembari meletakkan kartu debit kepada Kalila. Pria itu tidak mempedulikan Banyu.

Sepertinya Kalila salah. Sepertinya perlakuan Harraz kepadanya tidak wajar. Walau begitu, Harraz menunjukkan sikap yang sama sejak awal pertemuan mereka. Bahkan, Harraz memang sering meminum sesuatu dari gelas Kalila atau bahkan mencoba makanan dari sendok yang sama.

***
"Man, you fall into her," kata Banyu di perjalanan kembali ke lokasi syuting.

"It's hard to resist tho."

"Sejak kapan?"

Harraz berpikir sejenak sebelum akhirnya menggeleng. "Gak tahu."

"Lo bakal ngomong ke dia?"

"Rencananya iya, gue perlu ketemu dia di luar proyek ini. Gue gak tahu gue kayak gini karena terlalu sering ketemu dia atau gak."

"Man, lo bukan tipe cinlok. Udah berapa staf atau artis nembak lo dan lo tolak? Ada yang berbulan-bulan ketemu lo tiap hari dan lo gak gini. Gue takut mata lo copot saking seringnya ngelihatin Kalila."

"Kelihatan banget?"

"Buat gue yang 10 tahun terjebak temenan sama lo, iya."

Banyu ada benarnya. Tentu saja Harraz sadar kalau ia tidak mudah jatuh hati, tapi Kalila berbeda. Banyak rasa ingin tahu yang muncul setiap kali Harraz bersama wanita itu. Ia merasa senang setiap kali menemukan hal baru tentang Kalila. Rasanya menyenangkan menghabiskan waktu bersama wanita itu. Harraz bahkan harus menahan diri sekuat tenaganya untuk menjaga kesopanan. Hanya Tuhan yang tahu apa yang ia pikirkan setiap berhadapan dengan Kalila.

***

"Saya baru tahu kamu sangat suka daging," bisik Harraz di telinga Kalila di depan salah satu restoran all you can eat barbeque ternama di Surabaya. Keduanya menantikan mobil jemputan mereka tiba.

"Satu, saya lapar. Dua, syuting kalian terlalu lama. Tiga, gratis," jawab Kalila sembari tersenyum.

"Gratis memang harus dimanfaatkan. Omong-omong, kapan kamu berhenti bicara formal ke saya? Rasanya aneh terus-terusan bicara seperti ini."

"Anda secara tidak langsung adalah atasan saya."

"Di bidang ini, tidak sekaku itu. Kalau kamu mau, kita bisa 'aku-kamu' atau 'gue-lo' atau 'mbak-adik' karena kamu lebih tua."

"Kok tahu saya lebih tua? Perasaan informasi saya gak ada di Google," seru Kalila agak kesal. Ia baru mengetahui kalau Harraz 2 tahun lebih muda darinya setidaknya 5 jam lalu.

"Mbak kan kirim CV ke saya."

"Jangan panggil mbak! Kamu kan cuma dua tahun lebih muda!" protes Kalila.

"Oke, Kal. Mari ngobrol santai saja, sejujurnya aku gak terbiasa ngobrol formal di luar kamera."

"Oke, Raz."

Kalila dan Harraz tertawa. Tidak ada yang lucu. Pelunturan formalitas ini terasa menggelitik bagi keduanya.

"LaN.. Kalila?"

Kalila dan Harraz menoleh ke arah datangnya suara. Shaka berdiri sekitar 3 meter dari tempat Kalila dan Harraz berdiri.

"Oh, Shaka?" ucap Kalila.

Shaka berlari ke arah Kalila dan langsung merengkuh wanita itu. Pria itu tidak mempedulikan pandangan orang lain yang ada di depan restoran. Shaka bahkan sepertinya tidak melihat Harraz.

Harraz hampir melepaskan paksa Shaka yang tiba-tiba memeluk Kalila sampai wanita itu memberikan kode untuk tidak melakukannya. Harraz mengangguk meski tidak mengharapkan respons Kalila itu. Meski begitu, setidaknya pria bernama Shaka ini bukan orang asing yang asal memeluk Kalila.

"Aku minta maaf gak pernah ada buat kamu dulu. Aku minta maaf karena kamu harus melewati itu. Aku janji bakal ada buat kamu mulai sekarang," ucap Shaka. Kalila merasakan pelukan Shaka semakin erat seiring terlontarnya kata demi kata dari mulut pria itu.

Kalila tidak benar-benar tahu yang ada di pikiran Shaka saat ini. Hanya saja, Kalila merasa kalau Shaka mengetahui apa yang terjadi padanya 15 tahun lalu. Masa paling kelam yang selalu ingin ia hapus.

***

What A Miracle (Jaehyun x Ryujin x Haechan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang