Setelah hari La Sya masuk ke kelas 12 IPA-4 untuk "menghapus" nama Kalila, tak pernah ada hari tenang bagi Kalila. La Sya akan berkeliaran di sekitar kelas Kalila dan mengganggunya setiap kali Shaka, Javier, atau Yiga tidak ada di kelas. La Sya seakan-akan merencanakan dengan jeli bahwa ketiga cowok itu tidak akan memandangnya jelek.
Shaka, Javier, dan Yiga adalah siswa-siswa kelas atas di sekolah. Mereka berasal dari keluarga kaya, terkenal, atau bahkan keduanya. Shaka dan Javier kerap kali tak di kelas karena urusan olimpiade atau segala hal berhubungan dengan pendidikan mereka. Yiga lain lagi, ia hanya jarang masuk sekolah karena kompetisi panahan. Memasuki kelas 12 tidak membuat Yiga memilih untuk mengurangi kegiatannya sebagai atlet.
Shaka, Javier, dan Yiga tentu sangat jarang meninggalkan kelas bersamaan. Ketika hal itu terjadi, La Sya memanfaatkan waktunya untuk membuat Kalila ada di neraka. Ada kalanya La Sya membuntuti Kalila ke kamar mandi untuk menyiram, menjambak, atau apa pun "kegiatan" yang ingin dilakukan La Sya saat itu. La Sya terus-terusan mengatakan bahwa tindakannya adalah untuk menyadarkan Kalila akan posisinya. Sebuah ungkapan yang tidak masuk akal, ketika Kalila bahkan tidak melakukan apa pun selain datang ke sekolah dan belajar.
La Sya bukannya tidak pernah masuk kelas 12 IPA-4 ketika Shaka, Javier, dan Yiga di kelas. Hanya saja, La Sya akan menunjukkan sisi sangat berbeda. Ia akan mengambil peran selayaknya adik kelas ramah yang ingin belajar dari kakak kelas.
Selain tiga "pangeran" kelas 12 IPA-4, semua siswa paham bahwa La Sya ingin mengingatkan bahwa Shaka, Javier, dan Yiga ada di "kelas" berbeda. Walau tiga cowok itu bersikap layaknya siswa kelas 12 umumnya, mau tidak mau siswa SMA Cendekia mulai memperlakukan ketiganya cukup berbeda. Khususnya setelah melihat keakraban La Sya dengan ketiganya. Tidak ada satu siswa pun di SMA Cendekia yang berani berbincang dengan La Sya selain Shaka, Javier, dan Yiga. Sebuah bukti tiga cowok itu bukan anak kelas 12 pada umumnya.
****
Beberapa bulan mengganggu Kalila di sekolah tampaknya belum cukup bagi La Sya. Kalila sempat membeku di pintu masuk rumahnya ketika mendapati La Sya tengah asyik mengobrol dengan kedua kakaknya dan ibunya. Meja penuh dengan berbagai macam suguhan seakan keluarganya tengah menjamu ratu.
"Kok gak pernah bilang kamu temannya, La Sya! Lihat nih, dia datang bawa banyak banget makanan. Mana mahal-mahal," ucap Raina, kakak perempuan Kalila sembari menggandeng Kalila dan mengajaknya duduk di sebelah La Sya.
"Udah cantik, pintar, baik lagi. Sempurna banget," sahut Rian, kakak laki-laki Kalila.
"La Na kan juga cantik dan baik," ungkap La Sya sembari mengaitkan poni kepanjangan Kalila ke telinga. Ia menatap La Sya dengan senyum palsu di bibirnya. Senyum yang seakan-akan mengatakan kalau Kalila tidak akan merasa hidupnya tenang, bahkan di rumahnya.
"Tante senang deh Kalila eh La Na ada teman sebaik La Sya ini, bahkan namanya sama. Takdir banget. Tante sempat khawatir karena beberapa bulan ini La Na murung terus pulang sekolah. Mana gak pernah ada teman Kalila yang main ke rumah," kata Raya, ibu Kalila.
"Sejak jadi ibunya La Na waktu La Na masih umur 7 tahun, saya berusaha keras sekali biar La Na bisa kayak anak-anak lain. Dia dulu sangat pendiam dan gak mau keluar kamar, nangis terus. Terus kakak-kakaknya pelan-pelan ajakin main, akhirnya mulai tersenyum dan tertawa. Waktu La Na mau manggil saya mama, itu hari paling membahagiakan buat saya setelah melahirkan Raina dan Rian," lanjut Raya.
"Maaf tante, apa La Na bukan anak kandung tante? Padahal mirip banget loh sama tante," tanya La Sya dengan suara yang buat-buat, ia kembali menunjukkan senyum penuh muslihatnya.
Kalila hanya bisa diam tanpa suara. Peluhnya terus menetes dari dahinya. Ia tidak bisa bersuara bahkan ketika ingin. Bahkan, satu-satunya hal yang ingin disembunyikan Kalila justru dibongkar oleh sosok wanita yang ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri sejak ia berusia 7 tahun.
"Saya memang gak melahirkan La Na, tapi saya sayang banget sama La Na. Gak ada bedanya dengan Raina atau Rian. Mereka juga senang karena akhirnya punya adik. Mereka kan kembar, jadi pada gak mau ngalah jadi adik."
"Papanya La Na udah lama kerja di Cendekia Group kan ya, tante? Nanti coba aku bilang papa untuk jabatannya dinaikkan karena sudah lama kerja di sana, aku yakin papa pasti mau. Sebagai ucapan terima kasih karena udah boleh 'main-main' dengan Kalila."
"Ya ampun, La Sya kamu kok baik sekali. Sejak ibunya La Na tiba-tiba meninggalkan dia sama papanya, papanya La Na kerja keras banget tapi gak bisa maksimal karena harus jagain La Na juga. 4 tahun jadi single parent sampai akhirnya ketemu saya, dulu saya guru TK La Na. Setelah kami menikah, papa La Na semakin kerja keras karena Raina dan Rian. Kadang saya merasa bersalah karena takut kalau papa La Na terlalu kerja keras buat kami," jelas Raya sembari mengelus tangan La Sya.
"Jangan bilang gitu, tante. Om pasti juga senang karena La Na jadi punya ibu dan kakak-kakak yang baik. Jadi anak tunggal itu kesepian, Te. Kayak saya, makanya saya suka banget 'main' sama Kalila," ungkap La Sya penuh dusta. Ia terus menekankan kata "main" yang memiliki makna berbeda dalam kamus hidupnya.
Raya sesungguhnya bukan ibu sambung yang buruk bagi Kalila. Hanya saja, Raya kerap kali bercerita berlebihan tentang kehidupan keluarga. Tidak sedikit orang yang memandang Kalila dengan tatapan kasihan. Itulah kenapa Kalila tidak pernah mengundang teman-teman sekolahnya ke rumah. Sekolah menjadi satu-satunya tempat Kalila lepas dari pandangan kasihan orang-orang. Sayangnya, ia akan kehilangan itu juga. Sama seperti ia kehilangan namanya.
"Makasi ya La Na, mau 'main' sama aku. Jangan bosan-bosan!" seru La Sya sembari memeluk Kalila. "Pantas gak tahu diri, dibuang ibu sendiri sih," bisik La Sya di telinga Kalila, ia membuat suara sepelan mungkin agar tak ada yang mendengar ucapan itu selain Kalila.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
What A Miracle (Jaehyun x Ryujin x Haechan)
Romance1# Miracle Series Dia tiba-tiba saja menghilang. Tak ada satu pun orang yang mengetahui keberadaannya. Dia seakan ikut hilang ketika kudengar ayahnya tiada. Aku tak pernah menyangka hari itu menjadi terakhir kalinya aku melihat senyumnya. Andai saja...