15 tahun lalu...
Surabaya 2006..."Yang namanya Kalila siapa?" tanya seorang perempuan dengan dasi merah, tanda bahwa ia anak kelas 10.
SMA Cendekia Surabaya menunjukkan perbedaan tingkat siswa melalui dasi. Dasi merah untuk kelas 10, kuning untuk kelas 11, dan hijau untuk kelas 12.
Kalila menoleh ke arah datangnya suara ketika namanya disebut. Ia menatap heran adik kelas yang mencarinya. Ia tidak mengenal anak itu. Tentu saja tidak. Kalila tidak akan ada di situasi yang sama dengan siswa yang bisa memakai sneakers Gucci ke sekolah. Jangan lupakan pita berbentuk segitiga yang bertenger di rambut panjang siswa itu. Walau begitu, wajah itu terlihat tidak asing.
"Cari aku?" tanya Kalila dengan nada suara bingung.
"Kenapa aku harus dipanggil dengan nama lain gara-gara monyet ini?" seru adik kelas Kalila ini.
Semua orang mungkin akan mengira anak di hadapan Kalila adalah kakak kelas yang melabrak adik kelas. Sayangnya, dasi merah itu terlalu mencolok. Dan sejauh Kalila tahu, dasi itu adalah tanda anak kelas satu. Sekolahnya tidak akan membiarkan seorang siswa pun memakai dasi tak sesuai dengan tingkat kelasnya.
"Hah?"
PLAK...
Kalila sontak memegangi pipi dan terbelalak atas apa yang terjadi padanya barusan. Apa dia barusan ditampar? Oleh adik kelas? Atas dasar apa?
"Ini apa-apaan?!" seru Kalila akhirnya, ia mencoba menahan emosi yang hampir meluap dalam dirinya. Ia ternyata lebih sabar dari yang ia kira, apalagi ini pertama kalinya ia ditampar oleh orang lain. Orang tak dikenal pula.
Anehnya lagi, teman-teman sekelas Kalila hanya diam di tempat duduk masing-masing. Ini aneh, karena Kalila bahkan bukan anak yang terkucilkan di kelas. Ia bahkan akrab dengan semua teman sekelasnya. Walau begitu, teman-teman sekelasnya tak berkutik. Mereka hanya memperhatikan Kalila ditampar adik kelas dalam diam, seakan mereka hanya menjalani syuting sinetron televisi.
Perempuan di hadapan Kalila tertawa sumbang seakan-akan mendengarkan pertanyaan paling bodoh. Perempuan itu kemudian mendorong Kalila berulang kali menggunakan telunjuknya.
"Gara-gara manusia kayak koen (kamu) yang bisa-bisanya punya nama sama kayak aku, aku gak bisa dipanggil dengan namaku sendiri. Tapi aku juga gak sudi dipanggil pakai nama anak kayak koen," jelas perempuan yang juga bernama Kalila itu. Ia menatap Kalila dari kepala hingga kaki, lalu menujukkan ekspresi jijik.
Kalila entah kenapa membeku di tempatnya berdiri. Tubuhnya mulai gemetar ketakutan. Ia tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
"Karena aku gak sudi dipanggil Kalila, aku gak mau juga dia dipanggil Kalila. Terserah kalian mau panggil dia apa, monyet kek, babi kek. Tapi kalau sampai aku dengar ada yang berani nyebut nama Kalila, awas aja," seru Kalila dengan suara keras di depan kelas Kalila.
"Oh ya, kalian gak ada di level yang pantas buat manggil aku Syanaz. Jadi kubolehkan kalian manggil aku La Sya. Ya, nama panggilan baruku gara-gara monyet sekelas kalian. Untung aja namaku cantik, sayangnya ada monyet yang nodain namaku," lanjut Kalila Syanaz alias La Sya sebelum keluar kelas 12-IPA 4.
KAMU SEDANG MEMBACA
What A Miracle (Jaehyun x Ryujin x Haechan)
Romance1# Miracle Series Dia tiba-tiba saja menghilang. Tak ada satu pun orang yang mengetahui keberadaannya. Dia seakan ikut hilang ketika kudengar ayahnya tiada. Aku tak pernah menyangka hari itu menjadi terakhir kalinya aku melihat senyumnya. Andai saja...