Mereka yang pergi saat mengetahui kelemahanmu bukanlah yang terbaik untukmu. Kelak, kamu akan tau siapa yang benar-benar menerima kamu apa adanya.
-Sandya Kala-
"TUNGGU!"
Dengan napas yang terengah-engah, cewek berambut pendek itu memasuki pintu bus yang terhenti. Matanya membulat seketika saat mendapati suasana engap dan ramai di dalam kendaraan tersebut.
Michi terpaksa harus berdiri di antara banyaknya manusia pagi ini. Ia sempat menggerutu dalam hati, Kenapa penuh banget, sih?
Tanpa membuang waktu, bus itu pun berjalan maju. Michi menghela napas lega sembari melirik arloji yang melingkar pada tangannya, menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh.
Sesekali, Michi melirik sekeliling. Selain anak sekolah yang mendominasi di dalam bus, ia juga melihat seorang bapak yang merokok tepat di depannya. Asap yang mengepul di udara membuat Michi terbatuk. Beruntung, bapak itu cepat menyadari situasi dan menyuruh sopir untuk berhenti.
"Kiri!"
Michi mengembuskan napas panjang. Pandangannya tertuju pada kursi depan yang kosong, ia segera melangkah. Alih-alih akan duduk, cowok berseragam putih abu-abu lebih dulu menempati kursi incarannya. Michi mendengkus kesal. Akan tetapi, perhatiannnya teralih kepada seorang nenek yang baru memasuki bus dan berdiri tepat di hadapannya. Ia melihat sekitar, tidak ada seorang pun yang menawarkan kursi untuk nenek itu.
Ketika bus mulai bergerak lagi, Michi mencolek pundak cowok yang telah merebut kursinya.
"Permisi. Bisa minta tolong berdiri? Biarkan nenek ini duduk di sana," ujar Michi.
Cowok yang mengenakan masker hitam itu mendongak, menatap Michi dengan tajam sebelum pandangannya kembali lurus.
"Hei, dengar nggak? Cepat berdiri, nggak lihat ada nenek-nenek di sini?" ujar Michi dengan nada yang sedikit meninggi.
Akhirnya, lawan bicara mengalah dan berdiri dari tempat. Sedangkan Michi membantu nenek di depannya untuk duduk di kursi yang sudah kosong, meskipun ia harus sedikit membungkuk.
"Terima kasih ya, Nak."
Michi tersenyum. "Sama-sama, Nek," jawabnya dengan lembut.
Saat kembali menegakkan tubuh, tanpa sengaja lengan Michi bersentuhan dengan lengan cowok yang berada di sampingnya. Ia mengembuskan napas kasar.
"Maaf, bisa sedikit geser?" ucap Michi sambil melirik sekilas.
"Maaf, bisa diam sedikit?" balas lawan bicara tak mau mengalah.
Michi terlonjak kecil seraya menoleh. Tatapannya bertemu dengan cowok itu dalam jarak dekat karena kepadatan bus.
Jika diibaratkan sebuah jarum jam, emosi Michi sudah mencapai angka delapan. Ia menatap tajam, lalu pandangannya teralihkan ke logo sekolah yang tertera di seragam cowok itu. Melihat logo yang sama, Michi menyadari bahwa mereka berasal dari SMA Amerta, sekolah negeri favorit di Bandung, Jawa Barat.
Daripada menghabiskan energi karena perdebatan, ia memilih untuk diam selama perjalanan menuju sekolah. Cewek berambut pendek itu turun dengan cepat setelah bus memperlambat laju.
Namun, dalam keramaian itu, Michi tidak sadar bahwa sesuatu jatuh dari ransel yang tidak tertutup rapat.
Seseorang di belakangnya mencoba memanggil Michi, tetapi tampaknya ia tidak mendengar karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Cowok itu menyingkap maskernya saat melangkah masuk ke gerbang sekolah, matanya terfokus pada buku yang ia genggam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
Teen FictionAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...