4. Sepeda dan Hai Manies

48 10 6
                                    

Tetap kuat. Buat mereka bertanya-tanya bagaimana kamu masih bisa tersenyum.

-Sandya Kala-

"Makasih banyak, Sam. Hati-hati di jalan, ya."

Michi melangkah masuk ke dalam rumahnya setelah Samudera pergi. Hari ini terasa sangat melelahkan. Ia melempar ranselnya ke sembarang tempat, lalu berdiri di depan cermin kamar, menatap bayangannya sendiri.

"Apa aku harus memberitahukan ke Samudera yang sebenarnya, kalau aku menderita penyakit Alzheimer? Tapi gimana kalau dia tau nanti?" lirihnya dengan mata sembab.

"Apa dia akan menjauhiku setelah tau semuanya? Atau lebih buruk lagi, gimana kalau dia memutuskan hubungannya sama aku?"

Michi memijit keningnya yang terasa pening. Lalu, ia beranjak untuk mandi dan berganti pakaian.

Beberapa menit berlalu, Michi selesai mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, setelah itu ia menyisirnya penuh kelembutan. Dengan dibaluti dress berwarna peach, Michi menyiapkan segala bahan yang akan dibawa ke toko.

Setiap hari, seperti inilah rutinitas Michi. Kepergian kedua orang tuanya setahun yang lalu membuat Michi harus menjalani kesepian setiap waktu. Mau tidak mau, ia harus melanjutkan bisnis orang tuanya.

Tiap pulang sekolah, gadis berumur 17 tahun itu selalu menyiapkan bahan-bahan untuk dibawa ke toko kue miliknya. Meskipun berat, Michi tetap menjalaninya dengan kesabaran.

Setelah semua bahan siap, ia mengambil buku catatan pribadinya, membukanya perlahan sambil membaca tulisan di dalamnya.

"Jalan ke toko kue ...." Tangannya sibuk membolak-balikkan lembaran kertas bukunya. "Ah, ini dia," katanya ketika menemukan yang ia cari.

Langit sudah berubah menjadi hitam pekat. Michi segera keluar rumah dan pergi menuju toko kue, yang tidak begitu jauh dari rumahnya.

Walaupun malam telah tiba, aktivitas orang-orang di jalanan masih padat. Deru mesin mobil dan klakson kendaraan beroda dua memenuhi udara. Namun, perhatian Michi teralihkan oleh suara bel sepeda yang berbunyi "Kring-kring!"

Michi refleks memutar kepala ke belakang. Seorang cowok, Nala, berhenti tepat di sampingnya dengan sepeda roda dua.

"Mau ke mana?"

Michi menautkan alisnya. "Kamu yang mau ke mana, Nala? Malam-malam malah naik sepeda," sahutnya heran.

"Loh, kenapa? Yang penting nggak mengganggu aktivitas orang lain, kan?" balas Nala.

Michi berdecak pelan. "Iya-iya. Aku mau ke toko kue. Aku duluan, ya." Akan tetapi, ketika hendak pergi, Nala justru mengayuh sepedanya dan menghadang Michi.

"Tunggu. Aku juga mau ke toko kue. Gimana kalau kita bareng?" tawarnya.

"Nggak." Michi menghela napas. "Toko kuenya deket dari sini. Jadi, nggak perlu. Aku mau jalan kaki aja."

"Baiklah." Cowok yang mengenakan kaos putih oblong itu turun dari sepedanya. "Aku mau nemenin kamu jalan juga, biar adil."

Michi memutar bola matanya malas. "Jangan ngada-ngada, deh. Nggak usah nemenin, aku udah biasa jalan kaki sendiri," jawabnya.

Nala mengerucutkan bibir. "Ya, udah, kalau gitu. Tapi aku lagi nyari toko kue Hai Manies, kamu tau itu di mana?"

Mendengar pertanyaan itu, Michi terdiam sejenak. "Kamu mau ke sana?" tanya Michi yang dijawab anggukan oleh lawan bicara.

"Dari mana kamu tau toko itu?"

Nala tampak mengernyitkan dahi. "Itu toko langganan ayahku. Aku disuruh beli kue, ayah udah nunggu di rumah," katanya.

Sandya Kala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang