Lebih baik mengungkapkan perasaan dalam bentuk tulisan daripada melalui kata-kata lisan.
-Sandya Kala-
Libur panjang kenaikan kelas telah berakhir. Di pagi hari pertama tahun ajaran baru, gedung SMA Amerta ramai oleh kerumunan siswa yang berkumpul di depan mading pengumuman. Mereka bergelayut mencari nama-nama dan kelas baru yang akan ditempati.
Di antara kerumunan itu, Michi Kanaya berdiri dengan tenang meski hatinya berdebar-debar. Ia mencari namanya di daftar kelas dan menemukan bahwa ia ditempatkan di kelas 12 MIPA 2, sesuai harapannya.
Michi dulunya dikenal sebagai siswi berprestasi di bidang akademis, tetapi penyakit Alzheimer yang dideritanya telah mengurangi daya ingatnya tentang pelajaran.
Selain itu, ia juga memiliki ketertarikan terhadap sastra yang telah tumbuh sejak masa SMP. Karena baginya, lebih baik mengungkapkan perasaan dalam bentuk tulisan daripada melalui kata-kata lisan. Kecintaannya pada tulisan tersebut membawanya bergabung ke Klub Sastra di SMA. Michi sering mengikuti berbagai perlombaan sastra tingkat nasional dan berhasil meraih beberapa penghargaan bergengsi. Karya-karyanya telah menghiasi sekolah, juga artikel buatannya yang sudah tersebar secara online.
Namun, belakangan ini semangat Michi mulai meredup. Kehilangan kedua orang tuanya
menjadi pukulan berat baginya. Sejak awal, memiliki hobi menulis tak pernah didukung oleh kedua orang tuanya. Mereka lebih mengharapkan untuk fokus pada prestasi akademik yang belum pernah tercapai. Kini, kepergian mereka setahun yang lalu meninggalkan Michi dalam kebingungan dan kekosongan.Ketika melangkah masuk ke ruang kelas, ia disambut oleh banyaknya siswa. Sebagian besar adalah wajah baru yang akan menjadi teman seperjalanannya selama setahun ke depan. Meski penuh tantangan, Michi siap menghadapi segalanya dengan semangat baru dan tekad yang kuat.
"Michi, ayo duduk samaku!" Tangan mungilnya tiba-tiba ditarik oleh seorang cewek berambut panjang terikat kuda, tidak lain adalah Ica Aruna. Siapa yang tidak mengenal Ica? Si ketua klub Cheerleaders berparas cantik yang menjadi idaman kaum cowok di sekolah.
Dengan senang hati, Michi mengangguk dan mengikuti Ica untuk duduk di bangku nomor pertama, ujung kanan.
"Hai, Michi. Senang bertemu sama kamu, aku Ica," kata Ica sangat humble sambil mengulurkan tangan.
Michi tersenyum lebar, membalas uluran tangan temannya. "Halo, Ica. Aku Michi. Senang juga bertemu denganmu. Tapi, bagaimana kamu tau namaku, Ca? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Ica tertawa renyah. "Aku tau tentangmu dari teman-teman lamaku yang sering membicarakanmu, Michi," katanya jujur.
"Kenapa mereka membicarakan tentangku? Nggak ada yang istimewa dari diriku," ujar Michi, heran.
Ica menggeleng tegas. "Kamu salah, Michi. Malahan banyak temen-temenku iri sama kamu." Ia duduk lebih dekat dengan Michi. "Dan juga, kamu pacarnya si Samudera, kan?" tanyanya sambil menyeringai.
Michi tertawa kecil, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Lalu mengangguk sebagai jawaban.
Ica tersenyum miring. "Nah, kan, bener. Ayo kita jadi teman baik, ya? Aku senang bisa duduk satu bangku sama kamu."
Michi mengangguk setuju. "Tentu aja, Ca. Kita pasti akan menjadi teman yang baik," timpalnya senang.
Percakapan mereka terhenti ketika seseorang baru saja memasuki kelas. Ia adalah Ragnala Kalantara. Ica segera mendekatkan bibir ke telinga Michi.
"Bukannya dia Nala, ya? Kukira dia sudah dikeluarkan dari sekolah," bisik Ica.
"Michi menggeleng. "Belum, Ca. Dia masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya di semester ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
Teen FictionAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...