13. Berkunjung

18 8 0
                                    

Untuk apa punya rumah yang besar sedangkan setiap harinya merasa kesepian?

-Sandya Kala-

Restoran itu penuh dengan pengunjung hari ini. Di antara mereka adalah Michi, Nala, dan ayahnya, Galih, yang baru saja menyelesaikan santapan mereka.

"Mau pulang sekarang?" tanya Nala pada Michi.

Michi melirik arlojinya yang melingkar di pergelangan tangannya. "Boleh. Udah sore juga."

"Nala, Ayah pulang ke kontrakan sendiri aja," ujar Galih tiba-tiba.

Michi menautkan kedua alisnya. "Kenapa, Om? Bukankah lebih baik kalau Om dan Nala tinggal bersama lagi?"

Galih menunduk sedikit dan menggeleng pelan. "Enggak, Michi. Saya sudah punya pekerjaan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Tapi saya akan sering mampir ke rumah Nala," jawabnya tenang.

Michi menoleh ke arah Nala yang terlihat sedikit kecewa, namun kemudian Nala tersenyum tipis. "Iya, Ayah. Aku menerima keputusan itu. Ayah boleh kapan aja datang ke rumah, aku akan senang kalau Ayah datang," balas Nala dengan suara lembut.

Galih membalas senyuman putranya. Mereka pun berdiri dari tempat duduk mereka dan bersiap untuk pergi. Sebelum benar-benar berpisah, Nala dan Galih saling berpelukan erat.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Kabari Ayah kapan pun kamu butuh," ucap Galih dengan penuh kasih.

Nala hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tatapan Galih beralih ke Michi. "Michi, terima kasih banyak sudah menemani Om dan Nala hari ini. Jangan tinggalkan Nala, ya."

Michi mengangguk dengan tulus. "Iya, Om. Hati-hati di jalan," balasnya lembut.

Setelah itu, mereka berpisah di tempat tersebut. Michi dan Nala saling bertukar pandangan sejenak.

"Nala, kamu sebenarnya ingin satu rumah lagi, kan, dengan ayahmu?" tanya Michi pelan.

Nala menghela napas. "Aku nggak bisa memaksa ayahku untuk tinggal bersamaku, Michi. Mungkin ayah udah bahagia tanpaku di sana."

"Jangan bilang begitu, Nala. Aku yakin ayahmu bahagianya bersama kamu," ujar Michi dengan tegas. Dia mengembuskan napas panjang. "Ayo kita pulang," ajaknya.

"Kamu mau ke rumahku dulu?" tawar Nala.

Michi mengangguk. "Boleh."

"Ya udah, ayo!"

Kedua remaja itu kemudian menyusuri jalanan sambil menaiki sepeda. Semilir angin sore membelai pipi mereka dengan lembut, menambah kehangatan dalam kebersamaan keduanya.

Tak ada yang membuka suara. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun, Nala merasakan jari Michi menyentuh pundaknya dari belakang.

"Nala," panggil Michi pelan, membuat Nala bergumam sebagai respon.

"Rumah kamu masih jauh dari sini?" tanya Michi.

"Ini udah sampai."

Mereka berhenti di depan sebuah rumah bertingkat dua yang elegan. Michi, yang baru saja turun dari sepedanya, terpana melihat rumah megah dengan nuansa putih tulang itu. Ia merasa tak percaya atas apa yang dilihatnya.

Nala dengan cekatan memasukkan sepedanya ke dalam garasi, lalu membuka pintu depan. Sambil memutar kepalanya ke belakang, ia mengajak Michi masuk. "Ayo, masuk," katanya dengan ramah.

Michi mengikuti Nala masuk ke dalam rumah, masih terpesona oleh keindahan dan kemegahan tempat tersebut. Matanya membulat seketika saat melihat interior yang menakjubkan. Pajangan-pajangan estetik tertata rapi, sementara ruangan luas dengan perpaduan warna emas membuat rumah itu tampak semakin mewah.

Sandya Kala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang