Terlalu banyak menutupi luka dengan berpura-pura bahagia itu bukan tindakan yang tepat. Tapi, coba ganti cara berpikirmu. Bagaimana caranya biar kamu nggak mendapatkan rasa sakit itu untuk kedua kali?
-Sandya Kala-
Dadanya bergemuruh, rasa sakit dan ketidakberdayaan ini begitu mencekam. Michi benci perasaan ini. Seluruh tubuhnya bergetar, pandangannya mulai kabur oleh air mata yang terus mengalir. Ia tidak ingin menangis terlalu lama di sini, itu hanya akan membuatnya terlihat lebih menyedihkan.
Michi membuka pintu ruangan nomor tiga. Sebelum mendekati sosok cowok yang menunggunya di dalam, ia menyeka air matanya.
"Kamu kenapa?"
Pertanyaan pertama itu membuat Michi terlonjak kecil. Ia segera memasang wajah seolah tidak terjadi apa-apa.
"Hm? A-aku kenapa?" Michi tersenyum tipis dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku habis dari ruangan dokter. Katanya, kamu boleh pulang hari ini," jelasnya.
Nala mengangguk mengerti. "Ada hal lain?"
Sangat sulit bagi Michi untuk mengungkapkan kebenaran menyakitkan yang ia temukan hari ini. Michi menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan.
"Nggak ada apa-apa, Nala," jawabnya seadanya.
Cowok di hadapannya tampak menyipitkan mata sambil melambai kepada Michi. "Coba sini lebih dekat."
"U-untuk apa?" balas Michi terbata.
"Kamu habis nangis, ya?"
Detik itu juga, pupil mata Michi membesar. Lalu, ia tertawa pelan. "Mana ada. Aku tadi cuma–"
"Michi," potong Nala dengan cepat. Cowok itu terdengar mengembuskan napas berat. "Terlalu banyak menutupi luka dengan berpura-pura bahagia itu bukan tindakan yang tepat. Tapi, coba ganti cara berpikirmu. Bagaimana caranya biar kamu nggak mendapatkan rasa sakit itu untuk kedua kali?"
Michi mengatupkan bibirnya, termenung mendengarkan perkataan Nala yang kali ini lebih panjang dari biasanya. Cewek berambut pendek itu mendongak sedikit, merasakan beratnya kata-kata yang ingin ia ucapkan, hingga tanpa disadari, matanya sudah berkaca-kaca.
"Apa aku pantas menceritakan ini padamu? Kita bukan siapa-siapa dan ini privasi bagiku," kata Michi dengan suara sedikit bergetar.
Nala tersenyum tipis. "Kalau itu memang privasi buat kamu, aku nggak memaksanya. Tapi, kalau kamu mau menangis di depanku saat ini, silakan. Jangan ditahan."
Sebelum Nala menyelesaikan ucapannya, air mata Michi lebih dulu pecah. "Apa yang harus aku lakukan ketika aku nggak sengaja melihat pasanganku memberikan perhatian lebih ke sahabatnya?" tanya Michi sambil terisak.
"Semua yang kutakutkan terjadi, padahal aku udah percaya sepenuhnya. Tapi kenapa Samudera melakukan itu?"
Michi menoleh ke arah Nala dengan air mata yang masih mengalir deras. "Apa aku salah kalau cemburu melihat pasanganku memberikan perhatian ke sahabatnya? Apa aku terlalu egois?"
Nala, yang diam sedari tadi, akhirnya berbicara dengan nada penuh kekhawatiran. "Michi, kamu ketemu Samudera di mana?"
"Aku baru aja melihatnya, dia ada di rumah sakit ini ...." jawab Michi jujur, masih tersedu-sedu disertai perasaan yang berkecamuk. "Dia mengantarnya ke sini. Dia sangat mengkhawatirkan Dinara. Dia sangat perhatian sama Dinara. Bahkan, Samudera memberikan perhatian yang sama seperti dia perhatian ke aku."
Nala manggut-manggut mengerti. "Setiap manusia cuma memiliki satu hati. Dan hati itu nggak bisa dibagi, hati hanya bisa dimiliki oleh satu orang yang benar-benar layak." Ia memandang ke arah lain. "Besok kamu bicarakan ini secara baik-baik sama Samudera," ujar cowok itu secara lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
Teen FictionAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...