Selalu ada rasa penyesalan dalam cinta ketika sudah merasakan perpisahan.
-Sandya Kala-
Kedatangan Samudera dan Dinara membuat Michi refleks berdiri, diikuti oleh Nala yang berdiri di sampingnya.
Raut wajah Samudera tampak menahan emosi. Kedua tangan yang terkepal erat, disertai tatapan tajam menatap ke arah Michi dan Nala secara bergantian.
"Apa yang kamu katakan barusan, Sam?" tanya Michi yang tak habis pikir. Ia menggeleng beberapa kali. "Nggak sopan!" serunya tak suka.
Samudera mendengkus. "Buat apa kamu jalan di sini sama dia, hah?" tanya Samudera.
Michi tersenyum tipis. "Terus, urusannya sama kamu apa? Kita udah nggak ada apa-apa lagi." Di jeda ucapannya, Michi melirik ke arah Dinara yang ada di samping Samudera. "Nikmatilah waktumu sama cewek barumu," lanjutnya enteng.
Samudera menaikkan satu alisnya. "Cewekku? Maksud kamu gimana? Setelah putus samaku, kamu jalan sama orang ini?" balas cowok itu sambil menoleh tajam ke arah Nala yang masih belum membuka suara.
"Diam kamu, Sam!" Michi mengacungkan jari kepada mantan pacarnya. "Kamu nggak berhak buat ngomong kayak gitu ke Nala. Bahkan dia jauh lebih baik daripada kamu," ujarnya dengan suara merendah.
Mendengar itu, dada Samudera seakan tertusuk oleh sesuatu. Rasa sakit yang menyeluruh membuat cowok itu semakin dikendalikan oleh emosi.
"Aku jauh lebih baik daripada dia. Aku mau kita bersama lagi, Michi." Samudera berusaha meraih tangan cewek berambut pendek di hadapannya, akan tetapi Michi menolak.
"Kita udah nggak terikat dalam hubungan apapun, Sam. Lupakan aku dan nikmati waktumu yang sekarang, tanpa aku," timpal Michi yang kemudian menoleh ke Nala. "Mewarnainya udah selesai? Ayo, kita pulang," ajaknya yang kemudian berlalu pergi.
Melihat kepergian Michi, Nala kontan membayar ke penjual dan membawa hasil lukisannya. Ia berlari mengejar Michi tanpa memedulikan dua orang yang ditinggalkan.
"Michi!" teriak Nala yang mengejar Michi.
Dari belakang, pundak Michi tampak bergetar. Nala menghentikan langkahnya pelan, lalu berjalan ke hadapan cewek itu.
Cukup jauh dari keramaian, dengan jelas, Nala mendapati Michi yang tersedu-sedu, menahan air mata yang terjatuh. Nala mengatupkan bibirnya. Ia tak bisa mengatakan apapun di saat seperti ini.
"Kenapa, sih, aku dulu mau sama dia? Kenapa dulu aku harus menerima dia?" gumam Michi sembari terisak
Selalu ada rasa penyesalan dalam cinta ketika sudah merasakan perpisahan.
Michi mengusap wajahnya secara kasar, lalu menjambak rambutnya perlahan dengan tangisan yang kian deras.
Nala seketika menahan tangan cewek itu agar tidak menyakiti diri sendiri. Lalu, ia menariknya ke dalam dekapan. Tangan kanan Nala mengusap puncak kepala Michi, berusaha memberikan sebuah ketenangan.
Selang beberapa menit, tangisan Michi mulai mereda. Nala pun melepas pelukannya sambil menangkup wajah Michi menggunakan kedua tangannya.
"Udah, jangan nangis di sini. Masih banyak orang. Kita pulang, ya?" kata Nala dengan lembut, dan dijawab anggukan oleh Sang lawan bicara.
Nala selalu punya cara untuk menenangkan Michi Kanaya.
Mereka pun berangsur pergi ke tempat parkir sebelumnya. Kemudian, keduanya menaiki kendaraam beroda dua tersebut. Dengan helaan napas, Nala menginjak gas-nya perlahan. Laju motornya membelah jalanan malam yang masih dipenuhi banyak kendaraan.
Sepanjang perjalanan, kedua remaja itu hanya terdiam. Nala bisa merasakan, kepala Michi yang menyender di balik punggungnya. Akan tetapi, Nala membiarkan saja. Michi terlalu lelah hari ini, dan Nala tak ingin memperburuk keadaan Michi.
Selang beberapa menit, sampai lah mereka ke tempat tujuan—rumah Michi. Suasana depan rumah cewek itu sudah mulai sunyi. Keduanya turun dari motor besar milik Nala.
Michi melangkah pelan dengan sedikit terhuyung. Wajah sendunya menggambarkan bahwa ia tidak baik-baik saja.
"Nala, makasih buat hari ini. Maaf, karena aku kamu jadi terlibat," ujar Michi.
Nala menggeleng. "Enggak, Michi. Jangan minta maaf, kamu nggak salah apa-apa." Ia tersenyum hangat. "Sekarang, istirahatlah. Kamu kecapekan banget," lanjutnya.
"Aku kelihatan capek?" Michi tertawa pelan. "Enggak, aku cuma mengantuk karena tadi terlalu lama di pelukanmu, Nala."
Detik itu juga, Nala berusaha menyembunyikan wajahnya yang sepertinya telah memerah padam.
"Nala?" panggil Michi.
"I-iya?"
"Makasih untuk hari ini. Makasih udah nganterin aku pulang. Sekarang, kamu boleh pulang. Besok kita masih sekolah," kata cewek itu.
Nala mengangguk ragu. "Sama-sama. Ini, hasil lukisan kita yang belum selesai." Ia menyodorkan lukisan Hello Kitty yang sempat mereka warnai.
Michi tertawa kecil. "Makasih, ya. Tapi, maaf. Aku belum selesai mewarnainya, ya."
"Nggak pa-pa. Lain kali kita warnai lagi. Sekarang, istirahatlah. Aku menunggumu masuk rumah dulu."
Michi tersenyum tipis, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah sambil melambaikan tangan. Tersisa Nala yang masih berdiri di depan pintu. Ia memijit keningnya yang terasa pening karena menahan rasa malu.
Tak mau berlama-lama, ia kembali menaiki motornya dan melesar pergi dari sana. Akan tetapi, saat di tengah jalanan sepi, pengendara motor lain menghadangnya.
Nala yang merasa asing pun menyipitkan mata. Seorang cowok turun dari motor, lalu berdiri di hadapannya.
Dia adalah Samudera Dirgantara. Mantan dari Michi Kanaya.
"TURUN!" teriak Samudera.
Nala ikut intruksi, lalu mendekat ke arah cowok itu. Akan tetapi, sebuah bogeman panas dengan cepat mendarat ke pipinya. Membuat Nala terhuyung dengan rasa perih yang memenuhi area bibir.
"SETELAH AYAHMU MENGHANCURKAN USAHA PAPAKU, SEKARANG KAMU MAU MENGAMBIL MICHI DARIKU?"
Diselimuti emosi, teriakan Samudera terdengar menyeramkan. Ia kembali melemparkan pukulan ke area perut Nala dengan keras. Membuat Nala jatuh tersungkur olehnya.
Nala yang belum bisa bangkit itu masih terbaring di jalanan. Ia hendak meminta tolong, tapi suasana sudah sangat sepi karena semakin larut malam.
Tanpa rasa ampun, Samudera kembali memukuli Nala yang sudah mulai melemah. Ia menginjak area dada Nala sambil tertawa.
"INI AKIBATNYA KALAU MASIH MENGUSIKKU. JANGAN HARAP HIDUPMU TENANG, INGAT ITU!"
Usai mengatakan itu, Samudera tampak bergerak ke motornya dan pergi dengan cepat. Sedangkan Nala yang merasa kesakitan pun berusaha bangkit. Tubuhnya seakan-akan remuk, darah yang mengucur di bibir ia usap sendiri menggunakan lengannya.
Dengan tenaga yang masih tersisa, ia menancap gas dari sana. Sekujur tubuhnya merasakan lebam dan perih yang tak terkira.
Ia meringis pelan. "Ayah nggak salah. Bukan ayah yang salah, tapi kenapa dia selalu menyalahkan ayah?" gumamnya.
Nala berharap rasa sakitnya akan sembuh besok. Karena banyak hal yang ingin ia lakukan, banyak hal yang ingin ia ungkapkan kepada seseorang.
-Sandya Kala-
Salam hangat,
Hanna Shimi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
JugendliteraturAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...