19. Rumah Sakit

20 9 0
                                    

Lebih baik mana antara menikmati waktu sendiri ketika di dunia, atau menikmati waktu bersama orang yang disayangi ketika di dunia?

-Sandya Kala-

Michi menepati ucapannya untuk mengantar pulang Ragnala Kalantara. Ia menggayuh sepeda, sedangkan Nala berada di kursi belakang atas perintah cewek itu. Kepala Nala yang terasa pening tak mampu untuk mengendarai sepeda. Alhasil, Michi yang menyetirnya.

Dalam perjalanan, keduanya saling terdiam. Terik matahari yang menusuk membuat Michi mendengkus pelan. Akan tetapi, ia terus bersemangat untuk mengantarkan Nala.

Namun, Michi baru tersadar bahwa ia tak mengingat di mana rumah Nala. Ia pun berhenti di tepi jalan.

"Nala, aku nggak ingat jalur ke rumahmu," kata Michi dengan jujur.

Baru saja Michi turun dari kendaraan beroda dua itu, dikagetkan oleh wajah Nala yang sangat pucat. Michi kontan menepuk-nepuk pipi cowok itu dan menyentuh dahinya.

"Nala ... badan kamu panas banget. Kita cari rumah sakit di sekitar sini, ya. Kamu masih kuat?" tanyanMichi dengan khawatir.

Nala hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

Michi pun kembali menaiki sepeda dan menggayuhnya. Pandangannya melirik ke sana ke mari untuk mencari tempat pertolongan terbaik. Di sisi lain, ia dapat merasakan kepala Nala yang bertengger di balik punggungnya.

Selang beberapa menit kemudian, akhirnya Michi menemukan sebuah rumah sakit yang tak jauh dari sana. Dengan perasaan cemas, ia dengan cepat memasuki area tempat itu dan membantu Nala untuk berjalan.

Tanpa menunggu lama, beberapa suster membantu Nala untuk menuju ke ruang pemeriksaan.

"Sus, tolong. Badannya panas banget, tadi sempet mimisan juga," ucap Michi.

Salah satu suster yang mengantar Nala tampak sudah memasuki ruangan. Sedangkan suster satunya masih di depan Michi. "Baik. Akan kami tangani. Mohon duduklah di ruang tunggu," jawab suster itu.

Michi menggigit bibir bawahnya sendiri dengan perasaan cemas. Ia berharap Nala baik-baik saja. Sialnya lagi, Michi tidak memiliki nomor ayahnya Nala untuk dihubungi. Ia mengusap wajahnya secara kasar.

"Aku harus minta tolong sama siapa?" gumam Michi.

Beberapa menit berlalu, terasa seseorang menepuk pundaknya. Saat terbangun dari tidurnya, yang Michi lihat pertama kali adalah dokter yang berdiri di hadapannya. Michi kontan berdiri dari tempat.

"Dok, gimana kondisi teman saya?" tanyanya.

"Teman kamu harus menjalani perawatan intensif karena didiagnosa Covid varian terbaru. Tolong segera hubungi keluarganya agar ditindak lanjuti dengan cepat. Semua virusnya sudah menyebar ke seluruh tubuh. Jadi, harus di-isolasi di sini," jelas dokter itu.

Michi membekap mulutnya sendiri. Lalu, ia mengangguk pelan. "Apakah saya sudah bisa menemui pasien, Dok?"

"Sudah, tapi sebaiknya pakailah peralatan khusus dari kami agar kamu tidak tertular. Jika sudah, segera hubungi pihak keluarganya."

Michi mengangguk untuk yang kedua kali. "Baik, Dok," timpalnya.

Setelah dokter tadi melenggang pergi, Michi memakai peralatan yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Yaitu sebuah pakaian, sarung tangan dan masker khusus untuk mengunjungi pasien yang terkena Covid.

Ia memasuki ruangan tersebut dengan napas yang memburu. Dilihatnya sosok cowok terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Michi mendekatinya perlahan. Tangisannya mencelos begitu saja.

"Nala?" rintihnya.

"Aku nggak tau harus gimana ... tapi kamu harus bisa bertahan, ya?"

"Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

"Tolong, bangunlah ...."

"Michi ...."

Mendengar itu, Michi kontan membulatkan mata. Nala tampak sudah tersadar. Cowok itu tersenyum tipis sambil menggeleng pelan.

"Michi, jangan menangis," tuturnya pelan.

"Bagaimana aku nggak menangis kalau melihat kondisimu gini, Nala?" Michi semakin terisak. "Aku mohon, beri aku nomor telepon ayahmu biar kamu segeea ditindak lanjuti. Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

"Michi, dengarkan aku." Nala menjeda. Ia menatap Michi dengan dalam. "Menurutmu, lebih baik mana antara menikmati waktu sendiri ketika di dunia, atau menikmati waktu bersama orang yang disayangi ketika di dunia?" tanya Nala.

"Menikmati waktu bersama orang yang disayangi."

"Nah, itu yang aku inginkan, Michi." Nala tersenyum lagi. "Aku lebih ingin menikmati sisa hidupku dengan orang yang kusayangi, daripada harus menikmati kesendirian di tempat ini," timpal cowok itu dengan lembut.

Michi menggeleng. "Tapi, gimana sama kesehatanmu? Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Aku mau kamu sehat, Nala." Ia menyeka air matanya sendiri. "Aku mau kita terus bersama, Nala."

"Michi." Cowok itu mendaratkan tangannya di puncak kepala cewek itu. Lalu mengusapnya perlahan. "Percaya ke aku, ayo kita habiskan waktu kita bersama," ujarnya.

Michi mengangguk pelan. "Tolong, bertahan, ya."

Nala mengulum senyumnya. "Sekarang, sampaikan aja ke dokter. Aku mau kita pulang."

"Kamu yakin?"

"Iya, aku yakin."

-Sandya Kala-

Salam hangat,
Hanna Shimi.

Sandya Kala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang