9. Kepergok

26 9 11
                                    

Akan ada hal penting di setiap kehidupan yang kita jalani.

-Sandya Kala-

Suasana mendadak hening, tegang, dan penuh emosi. Napas Samudera memburu, kedua tangannya terkepal erat. Ia memalingkan pandangannya ke samping, lalu ke bawah, sebelum kembali menatap Michi. Mereka saling bertatapan beberapa saat sebelum Samudera mendekat lebih dekat.

"Michi? Aku salah dengar, kan?"

Michi menghela napas berat. "Maaf, Sam. Aku ingin kita berakhir," ucapnya pelan.

Samudera menggeleng tegas. "Nggak. Aku nggak mau kita pisah!" serunya penuh emosi.

Konflik panas mereka disaksikan dalam keheningan oleh Nala dan dua sahabat Samudera—Dinara dan Dika. Tak satu pun dari mereka berani mengeluarkan suara.

Michi meneteskan air mata. "Aku nggak bisa bersama orang yang suka menghina kekurangan orang lain." Tatapannya beralih tajam kepada Dinara di samping Samudera. "Dan aku juga nggak bisa bersama orang yang mencintai sahabatnya," lanjutnya dengan suara penuh kepedihan.

Samudera terkejut, matanya membesar. "Maksudmu apa, Michi?" Ia mencoba meraih tangan mantan kekasihnya, tapi Michi menepisnya agak kasar.

"Kamu mencintai Dinara, kan?" suara Michi bergetar, penuh emosi.

Samudera terdiam, jantungnya berdegup kencang. Hubungan mereka di ambang kehancuran, pikirannya berkecamuk, bertentangan dengan perasaannya sendiri.

"Iya, aku mencintai Dinara."

Jawaban itu menghancurkan hati Michi. Tangisnya pecah, dan ia menunduk, merasakan sakit yang mendalam. Samudera mencoba menarik tangannya, tapi Michi tetap diam, terlalu hancur untuk berbicara.

"Aku mencintai Dinara sebagai sahabat. Sedangkan aku mencintaimu sebagai pasangan," ungkap Samudera dengan nada mendesak.

Michi melepaskan genggaman tangan Samudera, lalu menyeka air matanya. "Aku nggak bisa berhubungan dengan seseorang yang punya sahabat lawan jenis. Sekalipun itu sahabat lama atau baru. Apa gunanya pasangan kalau kamu masih punya sahabat yang selalu menemanimu?" Ia melirik tajam ke arah Dinara. "Dia lebih pantas mendapatkan kasih sayangmu dibandingkan aku."

"Jadi, aku mau kita udahan," tegas Michi sebelum bergegas keluar dari kelas, meninggalkan Samudera dalam keterpakuan.

Nala, yang menyaksikan semuanya, segera mengikuti Michi keluar. Tinggalah Samudera bersama kedua sahabatnya, saling bertukar tatapan bingung.

Samudera mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Matanya penuh amarah, giginya menggertak keras.

"AAAAARGH!!" teriaknya, meluapkan emosi yang membara dalam dadanya.

***

Di taman belakang sekolah, Michi mencurahkan seluruh perasaannya. Rasa sesak di dadanya, air mata yang terus mengalir, membuatnya terlihat sangat rapuh hari ini.

Ia membuka buku catatan yang selalu dibawanya, lalu merobek salah satu halaman—tanggal jadian antara Michi dan Samudera, yang tak lagi ingin diingatnya.


Namun, yang paling menyakitkan adalah kenangan akan perhatian Samudera kepada Dinara. Hal-hal menyakitkan itu terus berputar di otaknya, sementara momen-momen bahagia justru memudar seperti ditelan Alzheimer miliknya.

Michi terisak, pundaknya bergetar hebat. "Lupakan Samudera, lupakan ...." rintihnya, sambil melempar buku catatannya ke sembarang arah.


"Untuk apa kamu membuang buku ini kalau kenangannya masih ada di dalam pikiranmu?"

Suara itu membuat Michi mendongak. Ia segera menyeka air matanya saat melihat seorang cowok jangkung menghampirinya.

Nala melangkah ke depan Michi, memungut buku catatan yang dibuangnya. "Percuma kalau kamu membuang buku ini, tapi pikiran dan hatimu masih penuh dengan dia," ujar Nala dengan lembut.

Kedua remaja itu berdiri saling berhadapan. Michi mengembuskan napas berat. "Aku udah banyak menuliskan hal yang menurutku penting dan itu ada kaitannya sama dia. Tapi ternyata, dia membuat aku kecewa. Jadi, aku nggak mau mengingatnya lagi."

"Tapi nggak dengan cara membuang buku ini, Michi." Nala tersenyum tipis. "Kamu bisa merobek lembaran yang udah nggak berguna lagi, dan menulis hal penting lain di lembaran baru," sambung cowok itu.

Bahu Michi yang awalnya merasa berat kini jauh terasa lebih ringan. Suasana taman belakang sekolah yang sepi membuat keduanya bisa berbicara leluasa.

"Tapi, aku harus menuliskan hal penting apa di lembaran yang masih kosong?" tanya Michi sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Nala tersenyum lagi. "Akan ada hal penting di setiap kehidupan yang kita jalani, Michi. Percayalah." Ia membalikkan tubuh. "Aku mau ke ruang BK, mau menemui bu Arum."

Nala melenggang pergi, meninggalkan Michi yang menautkan kedua alisnya. Sangat jarang sekali, Nala pergi ke ruang BK sebelum mendapatkan panggilan dari bu Arum. Karena penasaran, Michi mengikuti langkah cowok itu dari belakang.

Michi berdiri di balik tembok, mengamati ketika Nala memasuki ruang BK. Namun, ia menyipitkan mata ketika melihat Nala dan Bu Arum keluar ruangan bersama-sama, tampak sedang berbicara tentang sesuatu yang tidak bisa didengarnya dari kejauhan.

Tidak ada sudut yang cukup aman untuk bersembunyi bagi Michi. Dengan perasaan sebal, ia terpaksa mendekat sedikit ke arah mereka. Namun, karena kurang hati-hati, kakinya keseleo dan ia jatuh tersungkur.

"Awh!" Erangan kesakitan Michi menarik perhatian Nala dan Bu Arum. Keduanya segera mendekat ke tempat kejadian.

"Michi!?"

-Sandya Kala-

Salam hangat,
Hanna Shimi.

Sandya Kala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang