Memang benar, cinta membuat seseorang seakan buta.
-Sandya Kala-
Tanpa terasa, hari senin berlalu begitu cepat. Saat bel pulang sekolah berbunyi, suasana kelas langsung berubah ramai. Semua siswa serentak mengangkat kursi ke atas meja dan bergegas keluar kelas, berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama menghirup udara segar di luar.
Begitu juga dengan Michi Kanaya yang sudah dijemput oleh kekasihnya, Samudera. Keduanya berjalan menyusuri koridor dengan tangan yang saling menggenggam. Mereka pun tiba di parkiran sekolah, Michi berdiri tak jauh dari Samudera yang sedang mengambil motor.
Samudera menghentikan motornya tepat di depan Michi. Seperti biasa, ia memakaikan helm untuk Michi dan membantu membukakan pijakan kaki. Meskipun hanya hal kecil, perhatian semacam itu selalu berhasil membuat senyum bahagia Michi tercipta.
"Pegangan, Sayang," ujar Samudera dengan lembut.
Michi segera melingkarkan tangannya di pinggang cowok tampan itu. Lalu, ia berbisik pelan, "Jangan ngebut-ngebut, ya."
Samudera tertawa pelan. "Iya, tenang aja. Nanti aku nyetirnya kayak siput, pelan tapi pasti," celetuknya.
Mendengar itu, Michi ikut tertawa. Tawa mereka menyatu ketika Samudera mulai menjalankan motornya, membelah jalanan yang penuh dengan kendaraan di sore hari.
"Mau mampir ke tempat biasa?" tawar Samudera.
Michi yang duduk di belakang mengembangkan senyumnya dan menjawab, "Mau!"
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di tujuan, salah satu taman di kota Bandung. Tempat itu ramai dikunjungi orang dari berbagai kalangan usia. Selain nyaman dan asri, taman tersebut memiliki banyak tempat duduk dan beragam makanan-minuman yang bisa dieksplorasi.
Setelah memarkirkan motor, Samudera dan Michi duduk di salah satu kursi taman yang tersedia. Keduanya menikmati pemandangan langit yang diselimuti warna jingga, membawa kehangatan tersendiri bagi siapa pun yang melihatnya.
"Michi," panggil Samudera.
Sang pemilik nama menoleh sambil menampilkan senyum terbaik. "Iya, ada apa?"
"Aku ada sesuatu buat kamu."
Michi menautkan alisnya. "Apa itu?" tanyanya dengan heran.
"Tapi, kamu tutup mata dulu."
"Kamu nggak akan meninggalkanku sendirian di sini, kan, Sam?" lontar Michi dengan curiga.
Samudera terkekeh. "Enggak, Cantik. Mana mungkin aku ninggalin permataku di sini."
Michi tak bisa menahan senyum saat mendengar kalimat romantis dari Samudera. Memang benar, cinta membuat seseorang seakan buta.
"Baiklah." Michi menuruti permintaan kekasihnya dan memejamkan mata. Saat itu, ia merasakan sesuatu menyentuh lehernya. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah bola melambung dan mengenai tangan Samudera, membuat kalung itu terjatuh.
Samudera kaget, begitu juga Michi yang langsung membuka mata. Pandangan lembut Samudera mendadak berubah tajam. Ia cepat-cepat mengambil kalung itu dan meraih bola yang ada di hadapannya.
Belum sempat membuang bola itu, seorang cowok bermata sipit dengan seragam putih abu-abu menghampiri mereka.
"Maaf, boleh kembalikan bola itu? Anak-anak kecil di sana udah menunggu."
Michi terbelalak saat mengenali siapa pelaku di balik kejadian tadi. "N-Nala?" gumamnya.
Dengan emosi yang mulai berkobar, Samudera bangkit dari tempat. Menatap tajam ke arah Nala yang tak merasa berdosa. "Lagi-lagi kamu. Sengaja banget mau ngerusak momen aku sama Michi, iya!?" seru Samudera.
Sontak Michi ikut berdiri di antara keduanya, berusaha melerai mereka. Ia memegang pundak Sang kekasih, mencoba untuk menenangkannya. "Sam, udah. Jangan ribut di sini, banyak orang," sela Michi.
"Maaf, aku nggak sengaja. Tadi, anak-anak itu yang menendang bolanya, aku cuma-"
"HALAH, KEBANYAKAN ALESAN." Samudera kontan menarik kerah seragam Nala dengan kasar. Melihat kegaduhan itu, Michi berusaha melepas tangan Samudera yang mencekram Nala sangat kuat.
"Udah, Sam! Jangan terbawa emosi," kata Michi.
Michi menatap ke arah Nala. "Nala, sebaiknya kamu pergi dari sini daripada nanti Samudera semakin marah. Malu, di sini banyak orang yang udah ngeliatin," ujarnya sambil melirik ke area sekitar.
Nala memgembuskan napas. "Maafin aku sekali lagi ya, Michi. Aku benar-benar nggak sengaja, sampai nanti."
Untungnya, Michi bisa membantu Samudera mengontrol emosi. Mereka berdua pun kembali duduk berhadapan.
"Udah, Sam. Jangan cemberut gitu," kata Michi sambil menarik kedua sudut bibir Samudera dengan jarinya. "Kalau marah, nanti gantengnya berkurang, tau," tambahnya sambil tersenyum.
Samudera mendengkus sebal. "Maaf ya, Sayang. Kalungnya jadi jatuh tadi."
"Nggak pa-pa. Ayo, pakaikan ke aku," sahut Michi.
Samudera kembali mendekat dan memasangkan kalung pemberiannya ke leher Michi. Dengan senyum yang mengembang, Michi terpukau melihat keindahan kalung tersebut.
"Cantik. Aku suka banget, tapi-"
"Happy anniversarry, Sayang," potong Samudera. Lalu, ia meraih tangan Michi dengan lembut. "Semoga ke depannya kita masih terus bersama, ya. Tetap di sini, jangan pernah ada niatan untuk pergi. Aku mencintaimu, Michi Kanaya," ucapnya dalam dan tulus.
Michi mengerjap beberapa kali. "Makasih banyak, Samudera. Makasih udah ngasih kejutan hari ini. Tapi, dengan kamu selalu ada di sampingku pun itu selalu membuatku bahagia, Sam. Aku lebih mencintaimu, Samudera," balasnya.
"Tapi ...."
"Ini tanggal berapa, ya?" tanya Michi tiba-tiba, membuat Samudera sedikit terlonjak.
"Apa maksud kamu, Sayang? Jadi, kamu lupa tanggal jadian kita?"
Michi sedikit menunduk. "Maaf," lirihnya.
Ekspresi wajah Samudera berubah mendadak. Di saat ia terlalu excited terhadap hubungannya, Michi malah melupakannya.
"Maaf, Sam. Aku nggak lupa, kok. Cuma nggak inget," ungkap Michi sembari menampilkan mimik memohon.
"Nggak pa-pa, kok." matanya memancarkan kekecewaan. "Nggak apa-apa, kok. Mungkin hubungan kita emang nggak sepenting itu buat kamu. Maaf kalau aku terlalu berlebihan soal ini," ujarnya dengan nada sedikit tajam.
Michi ikut berdiri, lalu menggenggam erat tangan kekasihnya. "Hei, Sam ... Jangan gitu. Aku nggak nyangka kalau hubungan kita udah berjalan selama satu tahun, Sam. Aku sangat menyayangimu, hubungan kita sangat penting buatku. Maafin aku karena udah melupakan tanggal spesial kita berdua. Tapi ini bukan kesengajaan, Sam," jelas Michi dengan suara bergetar.
Hampir saja Michi melingkarkan tangan pada pinggang Samudera, namun tangannya dihempas begitu saja. "Jangan memelukku untuk saat ini," elak Samudera secara dingin.
Sesuatu yang menusuk terasa di dalam hati Michi Kanaya. Cewek itu menunduk sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Ia juga membatin, Andai bukan karena Alzheimer, aku nggak akan mengecewakanmu, Sam.
"Ayo, kita pulang. Aku tunggu di parkiran." Samudera berjalan lebih dulu, meninggalkan Michi yang menatap punggung kekasihnya dengan hati hancur.
Tanpa disadari, air mata jatuh ke pipi Michi. Ia buru-buru menyeka air matanya yang mengalir dan mengikuti langkah Samudera.
Dari kejauhan, cowok bermata sipit masih memerhatikan kedua sejoli yang baru saja pergi. Nala duduk termenung di kursi taman, matanya belum lepas dari mereka. "Apa mereka berantem gara-gara aku lagi, ya?" gumamnya dipenuhi rasa bersalah.
-Sandya Kala-
Salam hangat,
Hanna Shimi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
JugendliteraturAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...