Terkadang, terlalu berahadap kepada orang lain hanya akan menumbuhkan kekecewaan.
-Sandya Kala-
Seperti biasa, suasana kantin dipenuhi oleh siswa-siswi yang tengah melampiaskan rasa lapar. Termasuk Nala dan Michi. Dua remaja yang duduk di kursi paling belakang. Untungnya, Nala sudah memesankan makanan untuk mereka berdua. Dengan menu nasi goreng dan minuman jeruk.
Namun, saat Nala akan melahap sesuap nasinya, pandangannya beralih kepada Michi yang menatapnya intens.
Ia menautkan kedua alisnya. "Ada apa?" tanya Nala keheranan.
Michi mengerjap. "Nggak, nggak pa-pa, kok." Akibat tidak fokus, Michi menarik sendok Nala dan memasukan nasi ke dalam mulutnya.
Sembari menganga, Nala menarik kembali sendoknya. "M-Michi, ini makananku," sela cowok itu.
Dengan perasaan malu, Michi membulatkan mata. Ia baru tersadar jika tangannya bergerak begitu saja untuk memakan nasi goreng yang ada di sendok Nala.
"Hah? Maaf, Nala!" pekik Michi yang syok karena makanannya sudah ditelan. Ia mengusap wajahnya gusar. "Maaf, aku nggak sengaja ...."
Bukannya marah, Nala justru terkekeh sambil menggeleng beberapa kali. Ia kembali mengambil sesuap nasi gorengnya, lalu menyodorkan ke depan mulut Michi.
"Nih, lagi," ujarnya dengan enteng.
Pupil mata Michi semakin membesar. "Heh, nggak. Nggak usah. Makananku, kan, belum ku makan, kita tukeran aja. Gimana? Sendok kamu udah kena mulutku."
"Tapi aku nggak suka keju, Michi," balas Nala dengan cepat. Ia melirik ke nasi goreng milik cewek itu. "Punya kamu ada kejunya, aku enggak."
Perasaan tak enak hati menyelimuti diri Michi. Apa yang ia lakukan barusan? Begitu memalukan dan tidak sopan.
Michi menghela napas panjang. "Terus kamu makannya gimana?" Ia menjentikkan jari telunjuknya. Seperti terdapat ide cemerlang dalam otaknya. "Ah, iya. Aku pesankan lagi aja, ya," ujar cewek itu.
Nala menggeleng tegas. "Nggak perlu, Michi. Sekarang, makan ini satu kali lagi. Nanti aku makan, kok, nasgor punyaku."
Michi merutuki diri sendiri dalam hati. Apa yang aku lakukan? Benar-benar bodoh kamu, Michi.
Akhirnya, Michi pun membuka mulutnya perlahan. Dengan perasaan malu berlipat ganda, sesuap nasi goreng dari Nala kembali memasuki mulut Michi.
Dari perasaan malu, berubah menjadi perasaan canggung. Posisi Nala dan Michi jauh lebih dekat dari biasanya. Tangan Nala yang satunya pun sudah berada di bawah dagu Michi agar tidak ada sedikitpun nasi yang terjatuh dari mulut cewek itu.
Di kondisi seperti ini, mereka baru menyadari bahwa orang-orang sekitar memperhatikannya. Sontak, Nala memundurkan bahu dan menurunkan sendoknya. Ia melirik ke arah Michi yang masih mengunyah, lalu pandangannya berpindah ke semua orang.
Tanpa ingin membuat citra Michi semakin buruk, Nala kontan melahap nasi gorengnya. Di samping itu, Michi kembali membulatkan mata saat melihat Nala memakan nasgor menggunakan sendok yang disuapkan kepadanya.
"Nala ...." panggil Michi usai meneguk es jeruknya. "I-itu, kan, sendok yang kamu suapin ke aku tadi. Kenapa kamu makan?"
Mendengar hal tersebut, Nala malah mengernyitkan dahi. "Iya, emang kenapa?" sahutnya dengan enteng.
Michi menggigit bibir bawahnya, lalu berkata, "Nala ... kamu makannya pakai bekas sendoknya aku. Apa kamu nggak kepikiran kalau-"
"Iya, aku tau, kok. Kenapa emangnya?" potong cowok itu cepat. Nala terlihat tetap melahap makanannya tanpa memikirkan apa yang Michi maksud.
Michi mencekram bawah roknya di balik meja. "Kamu tau, kan, kalau itu termasuk ...." Ia menggeleng kemudian. "Nggak, nggak jadi," ralatnya gugup.
Melihat ekspresi Michi yang gelisah membuat Nala tertawa. Ia meletakkan sendoknya dengan nasgor yang sudah ditelan habis. Lalu, menyangga dagunya sendiri menggunakan tangan.
Mata Nala menatap lurus ke arah Michi. Perlakuannya membuat Michi mengerutkan kening. Cewek di hadapannya tampak meneliti sekujur tubuh sendiri.
Michi mengerutkan kening. "Ada apa?" tanyanya heran.
Nala hanya menggeleng dengan tatapan yang belum teralihkan.
Michi semakin tidak mengerti, lalu ia memgembuskan napas pelan. "Ada yang salah sama aku?" tanya Michi untuk kedua kali.
Lagi dan lagi, Nala menggeleng. Lalu menurunkan tangannya. "Michi. Kamu, kan, punya riwayat Alzheimer, terus apa aja hal-hal yang nggak kamu ingat sampai saat ini? Atau yang udah kamu lupakan," lontar Nala, penasaran.
Setelah dibuat malu setengah mati, Nala malah membuat Michi mengatupkan bibirnya sejenak. "Aku udah pernah bilang samamu, kan. Aku akan mengingat semua hal-hal yanh menurutku penting."
Nala tersenyum simpul. "Terus kamu pernah bilang, kalau yang ada di buku catatanmu itu isinya penting. Iya, kan?" tanya cowok itu yang dijawab anggukan oleh lawan bicara.
Nala kembali menatap lurus. "Lalu, alasan kamu waktu itu nyuruh aku nulis di buku catatanmu, apa? Tujuannya untuk apa?"
Pertanyaan Nala kali ini sukses membuat Michi bungkam. Cewek itu berusaha berpikir keras sambil menggumam.
Ia melirik ke sana ke mari sembari menggaruk belakang kepala yang tak gatal. "Nggak ada. Waktu itu cuma pengalihan topik doang."
Nala mengernyitkan dahi. "Yakin?" Lalu, ia tertawa pelan. "Ku kira aku sepenting itu buat kamu. Tapi ternyata aku terlalu berekspektasi aja," lanjutnya sambil memalingkan wajah.
Terkadang, terlalu berahadap kepada orang lain hanya akan menumbuhkan kekecewaan. Akan tetapi, Nala berusaha menghargai jawaban Michi Kanaya.
"Ah, Nala. Bukan gitu maksudku!" elak Michi kemudian.
"Udah, nggak pa-pa, kok." Nala kembali menatap cewek di hadapannya dengan senyuman yang menyertai. "Aku cuma bercanda. Ayo, mau balik ke kelas sekarang?"
Michi menggumam. "Sebelum kita kembali ke kelas, aku mau kamu jujur," kata cewek itu.
"Jujur tentang apa?"
"Luka-luka di muka sama sekujur badanmu, itu bukan karena kamu jatuh dari motor, kan?"
Semula tersenyum, mimik wajah Nala berubah menjadi datar. "Kenapa kamu menanyakan itu?" timpalnya.
"Aku cuma khawatir sama kamu, Nala."
Jawaban yang terdengar lembut itu membuat dada Nala berdesir. "Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Aku–"
"Nala," potong Michi secara cepat. "Jujur sama aku sebelum aku mencari tau sendiri."
Terdesak, Nala memgembuskan napas berat sebelum menjawab, "Aku dipukulin sama Samudera waktu pulang dari rumah kamu kemarin."
-Sandya Kala-
Terima kasih buat yang udah mampir sampai chapter kali ini, jangan lupa vote dan komennya untuk Sandya Kala♡
Salam hangat,
Hanna Shimi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sandya Kala [END]
Teen FictionAda dua hal yang disembunyikan oleh seorang Michi Kanaya. Pertama, buku catatan yang sering ia bawa. Kedua, penyakit Alzheimer yang dideritanya. Akan tetapi, rahasia besar itu diketahui oleh Ragnala Kalantara, laki-laki dengan reputasi paling sering...