07- Cinta dan Benci

19 4 0
                                    

"Bahwasanya, cara melukai seseorang itu mudah, sebab kata bisa lebih tajam dari bilah pedang."

"Mau pulang." Luna menahan bibirnya yang bergetar dihadapan Jevan. Perbincangan itu selesai saat tiba-tiba Luna mengatakan ingin pulang, entah apa sebabnya. "Bang Jo anterin aku pulang."

"Kenapa? Tangan kamu sakit?"

"Iya," katanya sambil memperlihatkan tangannya yang sudah dibungkus plaster, ia berpura-pura meringis. Tidak tahu kalau ada yang lebih sakit dari luka karena terkena pisau, hatinya sepertinya baru saja dilempari bom atom oleh orang asing. "Tanganku sakit."

Jevan melirik Rendra yang sedang menyuapi Miko, barulah detik itu Rendra menoleh, lalu menatap Luna dengan kebingungan.

"Kenapa?"

"Sakit," katanya dengan bibir rapat, matanya sudah berkaca-kaca. "Aku mau pulang."

"Ke rumah sakit aja kali ya, Ren. Takut ada infeksi."

Mendengar pernyataan Jevan, Luna menggeleng. "Nggak mau, mau pulang aja."

Akhirnya Rendra hanya mengangguk memberi persetujuan. Ia rogoh jaket panjangnya yang tersampir, lalu memberikan kunci rumah kepada Jevan. Setelah itu, Luna bangkit dari kursi, berjalan ditemani Jevan yang merangkul bahunya.

Sedangkan ditempat lain, Cakra terdiam. Ia tatap makanan di piring tanpa berselera. Padahal, ia jarang sekali membiarkan makanan menjadi dingin. Sayangnya kepergian Luna barusan meninggalkan lubang besar dihatinya.

Apa-apaan? Pikirnya kesal, karena tidak mendapat apa yang ia mau.

Harusnya, Luna datang kepadanya dengan berapi-api, bicara keras dan menarik Cakra untuk menjauhi perempuan lain. Atau apalah, yang bisa meyakinkan Cakra kalau Luna masih punya rasa. Tapi lihatlah sekarang, gadis itu pergi bersama Jevan? Bahkan tak mampir kemejanya untuk berpamitan? Hati Cakra seperti disiram minyak mentah, padahal ia sudah padam sejak lama.

Sisa bara api itu tersulut dan membakar diri Cakra sekali lagi. Apa ini? Kenapa malah dirinya yang terus dimakan cemburu? Semudah itukah Luna bermain hati dengan banyak laki-laki?

"Kok lo bawa gue kesini sih?" Kata-kata Arumi membuat Cakra mengernyit.

"Oke, cepet abisin makanan lo, gue pesenin taxi."

***


Cakra melirik skeptis temannya disebelah beberapa kali, terheran-heran karena terus tersenyum dengan layar ponsel, seperti orang tidak waras.

Sedangkan Cakra, hanya bersidekap sambil menatap teman-temannya dengan malas, termasuk Rendra.

"Apa lo liat-liat." Entah sudah berapa kali Jefri menatap Cakra dengan tatapan yang sama.

"Cemburunya keliatan banget, Mas." Ucap Jefri yang membuat semuanya keheranan. "Kenapa sih? Dari tadi mukanya cemberut gitu perasaan."

"Bodoamat, gue mau pulang." Jawabnya sambil menghela napas berat untuk yang kesekian kali.

Jefri yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng. Sudah tau kalau Cakra cemburu kepada Jevan.

"Pulang bareng abang, Kra." Kata Rendra sambil menyabet jaket miliknya, yang sedari tadi tergeletak di sofa.

"Alah, bilang aja males nyetir." Jawab Cakra ketus.

"Sama calon ipar nggak boleh gitu loh, Kra." Teriak Jeremy.

"Kalo mau sama Luna harus nurut ke Rendra, Kra." Ledek Marcel.

"Minimal berani minta restu." Ucap Haikala dengan muka jahilnya.

Cinta Itu Sakit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang