01- Kita memang anak-anak yang terpaksa dewasa

30 5 0
                                    

"Aku kira menjadi dewasa itu menyenangkan, tapi ternyata aku salah. Bukankah semua orang juga benci menjadi dewasa?"

Pagi ini masih begitu dini untuk Luna yang biasanya dibangunkan cahaya mentari. Kabut belum pergi, kelabu tapi bukan karena akan hujan, dingin yang menusuk pori-pori. Luna membuka pintu kamar dengan tangannya yang malas, gelas kotor dan sampah sisa cemilan berserakan dilantai. Sepi, mungkin Rendra masih nyaman bergelung dibawah selimutnya, atau duduk di teras menyesap kopi dan membaca novel kesukaannya alih-alih bermain game.

Setelah melewati ruang tamu, Luna berhenti di teras. Secangkir kopi dan roti milik Rendra ada di meja, isinya tandas, entah kenapa Rendra membiarkannya terus diluar, merusak pemandangan saja.

Setelah meraih gelas kotor tersebut, Luna membuka pintu utama. Ia berjalan menuju dapur untuk membereskan semua sisa gelas tadi malam, jangan tanya kenapa Luna tidak masak, ya karena dia memang tidak bisa memasak.

Saat pintu kamar Rendra dibuka, yang ada hanya Cakra, masih sibuk dengan peralatan kerjanya yang berantakan, merapihkan semuanya dinakas. Luna terpekur beberapa saat, sepertinya Cakra tidak menyadari kedatangannya.

Beberapa detik membiarkan Cakra menyelesaikan kegiatannya, Luna berdehem lirih sambil memasukkan cemilan ke mulutnya, membuat Cakra yang berada ditengah sepi dan monolognya sendiri menoleh, sebuah keripik sebagai cemilan terakhir masuk ke mulutnya.

"Ngapain lo liat-liat, kaya orang ga ada kerjaan aja." Ucap Cakra sesekali melirik Luna.

"Dih syirik lo, kan emang gue nganggur." Jawab Luna yang sekarang sudah berada di dekat Cakra.

"Ngampus ngga? Kalo iya sekalian bareng gue aja berangkatnya, bang Rendra sekarang libur." Ajak Cakra agar Luna mau berangkat bersamanya.

"Ngga lah gue mau sama cowo gue aja daripada sama lo." Jawab Luna ketus.

"Idih, baru juga seminggu di Jakarta udah punya pacar aja lo monyet." Iya benar saja, padahal Luna baru seminggu berada disana, tapi bisa secepat itu dia mendapatkan pacar.

"Iya dong, kan gue cakep jadi ya wajar udah ada yang deketin." Ucap Luna sambil mengibaskan rambutnya.

"Cakep atau murah nih?" Padahal masih pagi tapi Cakra sudah mengelabuhi Luna.

"Ih Cakra gue benci banget sama lo, udahlah sana pergi aja, males banget gue liat muka lo." Ya sejak ada Luna memang setiap pagi dirumah ini selalu diawali keributan. "Dasar manusia jomblo, galaku kan lo?" Sambung Luna sambil berlari keluar rumah, dan disusul Cakra yang mengejarnya.

"Jangan lari-lari Luna, nanti jat-." Belum selesai Rendra ngomong, Luna tersandung kaki Rendra.

"Aduh, sakit Ko!" Teriak Luna mengaduh kepada Rendra.

"Lagian ngapain sih pagi-pagi udah ribut, siapa yang suruh kejar-kejaran gitu?" Ucap Rendra sambil membantu Luna berdiri dan mendudukannya dikursi.

"Mampus kan lo, karma tuh ngejekin orang ganteng." Ejek Cakra sambil menertawai Luna yang kesakitan.

"Pergi ngga lo monyet." Usir Luna sambil melemparkan buku novel milik Rendra.

"Luna! Bisa diem ngga sih kamu?" Rendra sedikit menaikkan nada bicaranya, seperti dia lebih sayang kepada novel ketimbang adiknya sendiri.

Cinta Itu Sakit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang