11- Tersenyum Adalah Obat

14 3 0
                                    

"Untuk apa mengejar sesuatu yang memilih pergi?"

Walau bukan angin atau awan, pasti ada sesuatu yang kau suka dan membuatmu senang. Carilah itu, dan lindungilah. Berdasarkan pengalamanku, semua terasa lebih baik jika kamu melawan gengsimu, bukan bersembunyi. Meski kau bisa terluka, hadapilah. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali. Kau akan tenang setelah menemukan jawaban atas perasaanmu itu, bukan?

Kalian tau rasanya dipaksa melepas padahal masih ingin bertahan? Tau rasanya mati-matian untuk melupakan padahal masih sayang? Dipaksa ikhlas padahal kepikiran terus? Itu posisi yang paling aku benci ketika gagal dalam membangun komitmen.

"Gue suka kalo lo senyum kaya tadi Lun, bukan yang kaya gini." ucap Jefri kepada Luna yang sudah usai dengan tangisnya.

Dengan matanya yang sendu Luna tersenyum kepada Jefri, dia memeluk Jefri dan berkata lirih, "Gue harus tetep senyum apapun yang terjadi kan, Jep? Sesakit apapun itu gue harus bisa nyembunyiin dengan senyuman kan? Padahal gue selalu ngelakuin itu, tapi kali ini nggak tau kenapa gue lagi pengen nangis aja."

"Gue tau, dan lo bisa dateng kapan aja kalo lo butuh tempat cerita. Gue ada buat lo."

"Makasih ya, Jep." Luna tersenyum dengan matanya yang penuh penderitaan itu.

"Teruslah tersenyum, jangan berpikir apa lo berhak tersenyum dan bahagia. Jangan terlalu banyak berpikir tentang hal yang sekiranya bisa ngebuat lo sakit hati. Lo harus bahagia, jadi tersenyumlah."

Ternyata menangis tidak membuat kita lebih baik. Menangis tidak membuat yang hilang menjadi kembali. Yang berlalu biarlah berlalu, jangan terlalu bersedih. Kita harus terlihat bahagia apapun yang terjadi.

"Kalo Cakra cinta sama lo, dia akan tinggal. Tapi, kalo Cakra nggak cinta sama lo, dia akan pergi. Jadi jangan terlalu terikat, biarkan dia memutuskan untuk memilihmu atau tidak. Cintailah sewajarnya."

"Sakit banget ya mencintai sendirian." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Nggak sakit kalo lo sama gue aja."

Mendengar jawaban Jefri, air mata Luna kembali naik.

"Anak anjing, lagi sedih malah bercanda."

"Gue serius."

"Udahlah nggak usah ngadi-ngadi."

***

Jevan terkikik melihat wajah kusut Cakra sambil menenggak air dingin yang baru ia ambil dari kulkas. Pemuda itu baru saja selesai mandi, bahkan masih memakai handuk dan membiarkan tubuhnya shirtless. Di sofa berwarna abu-abu, Cakra tampak menyandarkan tubuhnya dengan malas.

"Percuma dong tadi lo manjat paget biar bisa masuk." Jevan masih membayangkan bagaimana kesusahannya Cakra memanjat pagar karena pagar besi rumah Rendra dikunci. Lagian kenapa sih pagar segala dikunci? Dasar Rendra perfeksionis. "Tadi ngotot mau balik ke rumah Rendra, sekarang kenapa berubah pikiran?"

"Lo punya apa di kulkas? Gue laper."

"Selalu." Jevan menggeleng entah yang ke berapa kalinya selama Cakra muncul lagi dihadapan Jevan.

Sepertinya, merubah topik obrolan adalah keahlian Cakra.

"Ada mi instan, telur, nggak ada sayur tapi ada tomat."

Mendengar penuturan Jevan, Cakra melangkah mendekati kulkas yang beberapa menit lalu baru saja dibuka oleh Jevan. Setelah mengeluarkan dua butir telur dan dua buah tomat, Cakra menggeledah lemari pantri, lalu mengambil 3 bungkus mie instan rasa soto.

Cinta Itu Sakit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang