"Terkadang kita harus diam untuk menjaga hati seseorang."
Cakra meninggalkan resto setelah mengobati Luna dan berpamitan dengan Rendra dan Kara. Saat itu juga ada Jevan Jeremy dan Jefri yang sedang bercanda dengan Miko.
Sekarang, Cakra berada didalam mobil pribadinya, tidak tahu kemana tujuan selanjutnya, hanya mengendara tanpa arah, munyusuri keramaian atau sepi yang kerontang. Ini bukan pertama kalinya bagi Cakra.
Cara mendinginkan kepalanya memang sedikit boros. Buang-buang bensin agar hatinya tenang. Pernah waktu itu Cakra mengendarai sampai Bandung, padahal paginya ia harus ikut syuting ke puncak.
Pada hari itu, berisiknya isi kepala hingga memar hati yang terus dipukuli benda keras membuat Cakra meraung ingin bebas. Rasa sakit yang luar biasa selalu menewaskannya diusia muda, jahat. Semua isi pikiran orang dewasa sangatlah jahat, Cakra ingin kembali ke usia belia jika bisa.
Satu pesan masuk dari-
Sebastian Asteroid
Mas, boleh minta tolong nggak? Gue udah di lokasi syuting dari sore, tapi ada satu naskah yang ketinggalan di kantor. Bisa nggak Mas Cakra ambilin, besok bawain sekalian.Cakra menghela napas berat sebelum ia menggulir layar ponselnya dan menekan emoji tangan dengan kode 'ok' sebagai jawaban. Setelah melintasi lampu merah Cakra membelah keramaian jalan raya untuk menuju kantor, satu tangannya mengendalikan stir mobil, sedangkan salah satu tangan lainnya menggeledah dashboard, berusaha mencari sebungkus cemilan yang sering ia nikmati saat pikirannya kacau, menyulutnya hingga mengepulkan asap berbau mint, lalu membuangnya melewati celah jendela mobil yang sengaja ia buka.
Sebenarnya, mengapa bisa ia sekacau ini sekarang? Padahal harusnya tidak sebegininya, Luna saja sudah tak menginginkan duduk berdua bersamanya, bagaimana bisa ia berharap Luna masih punya rasa?
Cakra oh Cakra, entah seberapa besar gengsi yang hidup di kepalamu.
"Malam, Mas. Tumben ke kantor jam segini?" Saat Cakra baru keluar dari mobil, seorang penjaga menyapa.
"Mau ambil sesuatu, Pak. Udah pada pulang ya? Biasanya ada yang lembur."
"Ada, Mas. Timnya Pak Hendra masih meeting, Mas Cakra mau ke gedung berapa? biar saya nyalakan saklarnya?"
"Gedung satu kok, Pak." Gedung satu masih menyala, jadi tak perlu menambah pekerjaan penjaga, pun tak jauh dari tempat Cakra memarkirkan mobilnya.
Setelah memberi salam, Cakra melenggang masuk ke dalam kantor. Gedung dengan unit 7 tingkat ini memiliki beberapa julukan. Nama besarnya yaitu Leonard Entertainment, dikenal sebagai sebuah perusaan hiburan besar yang berdiri di ibukota. Memiliki 7 cabang, salah satunya tempat Marcell bekerja, Leopard Entertainment namanya.
Di dalam lingkungan perusahaan, gedung dinamai dengan angka, ada gedung satu sampai tujuh, masing-masing mengenai berbagai macam persoalan dunia hiburan. Gedung 1 untuk beberapa tim senior, biasanya dipakai oleh mereka yang jabatannya lebih tinggi, salah satunya Jevan. Gitu-gitu Jevan juga ambis, buktinya dia sekarang sudah sampai kepuncak, melewati Marcel, Jeremy dan temannya yang lain. Mereka sedang adu mekanik dengan Rendra karena artis mereka dikabarkan sedang naik daun. Tapi tidak dengan Haikala. Ya tau sendiri kan? Haikala sudah memiliki perusahaan sendiri sejak menikah.
Gedung lain biasa dipakai beberapa divisi yang melayani iklan dan ruang latihan training. Sisa gedung dipakai untuk dijadikan asrama oleh beberapa training sampai mereka debut. Setiap hari, Cakra selalu pergi ke semua gedung untuk menjadi tangan kanan Jevan. Bulan depan mereka siap meluncurkan band baru.
Setelah mengambil barang milik anak didiknya, Cakra menyusuri koridor untuk kembali ke mobil. Perasaan penat dihatinya seolah ingin diajak lelap, sepertinya malam ini Cakra ingin tidur yang panjang agar besok pagi energinya penuh lagi.
"Loh, Cakra?"
Suara yang begitu familiar terdengar, Cakra langsung berbalik tanpa basa-basi.
"Ngapain?" tanyanya penasaran, habisnya jarang melihat Cakra berkeliaran di gedung satu pada malam hari.
"Hai, ini ngambil naskahnya Sebastian. Lo lembur lagi?" Cakra tersenyum tipis saat seorang perempuan melangkah mendekat. "Sendirian?"
"Iya gue lembur, enggak, gue sama Zelline."
"Mana anaknya?" Cakra celingukan, mencari pemilik nama Zelline yang beberapa waktu lalu mematahkan hati sahabatnya.
"Tadi ada yang telepon, nggak tau kemana, mungkin belum kelar telponnya, gue rencananya mau nunggu di mobil aja."
Cakra mengangguk, lalu dengan otomatis berjalan bersebelahan dengan Arumi, perempuan yang diketahui bekerja di perusahaannya sebagai make up artist. Dia yang beberapa waktu lalu sering ikut Cakra untuk mengurusi beberapa soloist saat syuting. Dekat sih tidak begitu, tapi cukup kenal satu sama lain. Mungkin, karena Arumi tipikal gadis yang ramah, juga Cakra yang senang menanggapi cerita-ceritanya.
"Oh ya, Kra. Gue ada rencana mau mampir ke resto rekomendasi lo waktu itu, yang katanya ada risol mayo enak."
"Sekarang?"
"Besok aja kali ya? Sekarang udah malem."
Jam sudah menunjukkan pukul 10 dan ada firasat mengatakan resto sebentar lagi tutup.
"Oke besok malem ya gue jemput."
Awalnya Cakra bimbang. Tapi lama kelamaan ia merasakan sebuah peluang saat Arumi mengajaknya nongkrong dan menikmati risol mayo bersama.
Untung-untung ia bisa melihat respon Luna nanti, pasti seru.
"Boleh deh."
Setelah anggukan kepala, Cakra tersenyum tipis dan berpamitan untuk pulang.
Doakan saja Cakra berhasil agar ia tak lagi bimbang memastikan mantan kekasihnya itu. Yang selalu berisik saat Cakra tak punya pacar, tapi kerap membuat masalah dan memanggil Cakra seolah ia tak bisa jika tanpa Cakra. Sungguh bingung dan rumit diterjemahkan.
-Arumi Pramudya-
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Itu Sakit
RomanceLuna adalah orang yang terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Cakra adalah orang yang terus menggali dengan sekuat tenaga untuk menemukan cinta u...