13- Menyesal Tak Berarti Cinta

13 2 0
                                    

"Kenapa penyesalan selalu datang diakhir?"

Pagi tadi Luna bangun siang karena tinggal di rumah sendirian, Rendra sedang keluar kota dan baru akan pulang besok sore. Sedangkan Cakra? Sejak terakhir kali bertemu, pemuda itu belum ada mampir lagi. Jujur Luna rindu, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk kembali menghubungi Cakra. Semenjak Cakra pulang, ia tidak muncul dan menghubungi Luna sama sekali. Marah? Memangnya Luna berhak marah? Luna ingin marah karena Cakra sibuk dengan Arumi saja akhirnya menyesal, lalu sadar, memangnya dia punya hak marah pada Cakra? Mereka berdua sama-sama tak punya hak satu sama lain, tak ada yang perlu diambil pusing dari pertemanan sialan ini.

Awalnya Luna hanya ingin istirahat, tapi lagi-lagi pikirannya tak tenang. Berulang kali menilik ponsel, nama Cakra masih menjadi yang paling ia tunggu notifikasinya. Terkadang, Luna ingin betulan menyerah saja berharap pada Cakra, toh cinta tak bisa dipaksa. Tapi ibarat sudah jatuh kedalam kolam, Luna tak bisa berenang. Ia tenggelam dalam rasa yang tak tau arahnya kemana. Berapa kali ia merasa ingin mati karena tenggelam? Berulang kali, tapi selalu ada alasan untuk bertahan, meski terombang-ambing kesana kemari, tanpa kepastian.

Sakit hati? Luna itu sudah kebal dengan segala rancauan Cakra. Menangis adalah jalan ninjanya. Entah kenapa perasaan sedihnya bisa meluap oleh tangisan, tapi menangis setiap malam pun tetap tidak membuatnya kembali menjadi miliknya, kan?

'Anjir dia mau kesini?'

Luna langsung meraih jaket yang beberapa menit lalu ia buka, menutup wajahnya sendiri, bersembunyi. Lagi-lagi ia hanya melakukan yang terlintas di kepala, untuk saat ini sepertinya lebih baik pura-pura tidur daripada ketahuan kalau ia sedang menunggu Cakra menemuinya.

Cklek.

"Tidur beneran kah?" Itu suara Cakra, bisa Luna rasakan sesuatu menyentuh lengannya. Diusap sekali, lalu benda diatas wajahnya tersingkap. Sial, Cakra malah membukanya.

Tak ada suara, Luna bingung harus bagaimana. Ia ingin melihat apa yang terjadi, tapi takut jika Cakra ada didepan wajahnya, Luna belum siap melihat wajah Cakra, belum siap sakit hati lagi, belum siap disangka gamon berat oleh mantannya yang super belagu itu.

"Maafin gue ya."

Deg!

"Karena udah mutusin lo sesuka hati gue."

Apa-apaan ini? Dia minta maaf? Saking belagunya Cakra, Luna bahkan tak pernah mendengar Cakra mengatakan maaf padanya. Maaf yang benar-benar kata maaf, maaf yang terurai dari rasa bersalahnya yang tak pernah bisa Luna ukur.

Padahal, jika Cakra meminta Luna menjadi pacarnya ketika hatinya sudah siap- mungkin ia tak akan memutuskan hubungannya dengan Luna. Sebab alasannya memutuskannya adalah karena perasaan dongkolnya sendiri, menganggap semua perempuan hanya makhluk Tuhan paling berisik dan banyak mau, hanya ingin didengarkan tapi tidak mau mendengarkan, selalu egois karena tak mau disalahkan. Luna sudah terlanjur ia lepaskan, tapi perasaan cintanya ternyata belum tuntas. Meminta balikan? Tentu saja Cakra enggan mengingat sebanyak apa sumpah serapah dilontarkan Luna karena memutuskannya tanpa alasan.

"Lun," Suara Cakra memanggil, pelan dan lembut. Suara yang begitu Luna suka, suara yang jarang sekali ia dengar beberapa waktu belakangan ini karena entah sejak kapan mereka berdua lebih suka saling berdebat dibanding bicara normal.

"Bangun, mau nasi goreng, nggak?"

Luna bisa merasakan sesuatu menyentuh pipinya, pelan.

"Luna, bangun ayo makan nasi goreng."

Kali ini, Luna bisa merasakan pipinya diusap sebanyak tiga kali. Lembut, tangan Cakra sangat lembut dan hangat. Lagi dan lagi, entah berapa lama tangan ini tak menyentuh pipinya selembut ini. Rindu di hati Luna sepertinya sudah ada diujung tombak, tak tertahankan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Itu Sakit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang