09- Semuanya Dipenuhi Kebohongan

18 4 0
                                    

"Manusia tidak bisa dipercaya dalam situasi apapun, bahkan ketika mereka sedang tidak baik-baik saja."

Rumah Haikara malam ini cukup ramai. Panggung selesai lebih awal, sekitar pukul 9. Dan sekarang Luna sudah duduk sekitar dua puluh menit di kursi pelanggan setelah turun dari panggung, hanya tersisa lagu-lagu yang di stell dari speaker dengan volume sedang, memutar lagu-lagu playlist milih Jefri, laki-laki yang sekarang tengah duduk disebelahnya sambil menikmati makan malamnya. Mereka hanya diam, menyimak pembicaraan teman sejiwa.

"Mau anter gue pulang, nggak?" Tanya Luna dengan suara lirih.

Awalnya Jefri bingung, habisnya mereka sedang terjebak dalam bisu alih-alih ikut nimbrung perbincangan itu. Dari pada bicara, Luna dan Jefri memilih untuk menjadi pendengar saja. Pembicaraan ini terlalu dalam dan dewasa, dan ada beberapa hal yang tidak Luna mengerti dan Jefri juga tidak tahu harus terlibat di bagian mana. Pada akhirnya, Jefri mengangguk pelan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit, akhirnya Jefri menarik diri dengan membawa Luna sekaligus.

"Pamit dulu ya, Bang." Jefri meraih tangan yang lebih tua bergantian. Mulai dari Marcel, Haikala, Jeremy dan berakhir di Rendra. Jangan tanya kenapa tidak ada Jevan dan Cakra, mereka sedang pergi ke Jogja. "Gue yang anter Luna pulang."

"Oke, Luna bawa kunci rumah kan?"

"Bawa, Ko." Luna mengangguk pelan setelah itu pergi, sedangkan Jefri mengekor dibelakang sambil membawa tas ransel yang ia bawa dari kantor.

"Mata lo kenapa?" Saat keduanya masuk kedalam mobil, pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Jefri. "Nggak biasa liat lo make kacamata, dan bengkaknya keliatan dari sini, nggak perlu lo tanya dari mana gue bisa tau."

Seperti biasa, Jefri memang peka. Tidak seperti Cakra. Andai Cakra sepeka Jefri, maka Luna pastikan dia akan mengejarnya semaksimal mungkin.

"Berantem sama Cakra?"

Luna tak menjawab, ia lelah karena menangisi Cakra, hampir setiap hari.

Apakah karena ia merasa harapannya kembali bersama Cakra terlalu tipis dan tak punya kemungkinan lagi?

"Apa gue nyerah aja ya, Jep?"

Jefri menoleh sekilas dan menemukan Luna dengan bibir bergetar menahan tangis. Menyedihkan sekali ya, melihat cinta yang tak pernah menemukan titik terang seperti ini. Jefri pernah ada disisi Luna pada suatu hari, ingin menyerah saja untuk mendapatkan Zelline. Tapi saat itu, Jefri menolak menyerah. Ia menyerah saat sudah mendapat jawaban jelas, bahwa Jefri tidak diizinkan masuk kesana. Sedangkan Luna? Dia bahkan tidak tau apa yang dirasakan Cakra padanya, tidak tau alasan apa yang membuat Cakra memutuskannya. Tak tau mengapa Cakra selalu ada disisinya dan seolah memberi Luna harapan untuk bisa kembali, meski laki-laki itu terus menjahatinya dengan kata-katanya yang tajam.

"Jangan dulu."

"Lagian dia udah punya pacar, kan? Gue cinta sama dia tapi gue nggak mau ngerusak hubungan orang. Rasanya sakit kalo sampe pacar kita direbut orang, apalagi temen sendiri yang ngerebut. Gue nggak sejahat itu, Jep. Gue masih punya hati."

"Cakra sama Arumi nggak pacaran, mereka cuma temenan."

"Serius?"

"Iya, gue serius mereka cuma sebates temen kerja. Sedangkan lo? Lo itu masa lalunya, jadi ada kemungkinan kalian bisa balik kaya dulu lagi."

"Tapi, nggak selamanya kita bisa menjadi pemenang, Jep. Ada kalanya kita kalah sama orang yang dia anggap hanya sebatas teman."

Hidup memang sebercanda itu ya? Bahkan orang yang cuma dibilang teman, bisa saja dia yang menjadi pemenang. Luna tidak akan menyalahkan takdir, karena dia tau. Semua yang hadir tidak selamanya menemani sampai akhir.

Cinta Itu Sakit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang