"Kita sempurna, hanya saja mereka manusia tanpa hati yang berbicara seenaknya."
Malam ini, ia pasrah diliputi kekesalan yang mungkin bisa ia bawa sampai esok hari. Ia lelah, tapi yasudah. Mau diapakan lagi? Perasaan Luna memang sudah mati, tak seperti dirinya yang terus mengharapkan atensi.
Luna mungkin marah dengannya, itu pantas. Bagaimana rasanya dipetik saat bunga sedang mekar-mekarnya? Begitulah Luna dan perasaannya. Cakra mematahkan hati Luna saat ia sedang bersemi untuk Cakra. Harusnya, hari itu Luna siap untuk menghadapi keasingan yang luar biasa, atau keadaan ini, yang pada akhirnya mempertemukan mereka lebih sering.
"Punya pacar nggak guna," sungut Cakra.
"Gue lagi nggak punya pacar."
"Udah putus lagi?"
"Menurut lo?" Luna mengekor Cakra menuju dapur. "Daniel ternyata Chinese Buddhis, dindingnya tinggi banget."
"Mau yang dindingnya rendah?" Tanya Cakra sambil mengeluarkan bahan-bahan dari dalam kulkas.
"Mau yang nggak ada dindingnya, kaya gue kalau buka jendela terus lo juga buka jendela."
Mendengar itu, Cakra langsung menoleh kearah Luna.
"Maksud lo?" Tanya Cakra bingung.
"Iya, yang nggak ada penghalangnya. Kaya waktu kita kecil dulu, yang bahkan bisa main bareng meski dari kamar masing-masing."
"Aneh." Cakra hanya geleng-geleng. "Itu tetep ada penghalangnya, lo harus loncat dari jendela dulu buat nyamperin gue."
"Iya sih, tapi seru juga. Ada penghalang tapi nggak pernah dianggap penghalang. Meski ada dinding pembatas, bahkan pohon pagar dan parit kecil. Kita tetep bisa main bareng. Sekarang malah nggak bisa, padahal kita nggak punya penghalang lagi. Kita tinggal satu rumah."
Cakra menghentikan gerakannya memotong bawang dan menatap Luna. Alisnya naik sebelah.
"Lo sakit? Ngomong kok ngelantur."
Menyesal atau tidak, Luna tak ingin peduli. Yang ada dipikirannya hanya bagaimana cara menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa ia sudah selesai dengan Cakra. Kisah cinta manisnya yang merah muda, hanya bersemi singkat seperti pelangi setelah hujan panas.
Dan kini, Luna harus melangkah untuk tidak memaksa kisah itu sampai disini.
***
"Mau kemana?" Tanya Cakra yang berada diruang tamu bersama Rendra, melihat Luna berjalan keluar.
"Jay ngajak ketemuan. Ko, aku keluar bentar, cuma ke cafe depan kok."
"Jadi sekarang pacar lo namanya Jay?"
Luna melirik Cakra sekilas.
"Menurut lo, semua cowok yang gue kenal bakal jadi pacar gue?"
Cakra tersenyum mendengar jawaban Luna. "Nggak tau, tapi setiap nama yang lo sebutin biasanya bakal jadi pacar lo, kan?"
"Mungkin sih, gue juga nggak terlalu ingat."
Lagipula tak ada untungnya mengingat laki-laki yang singgah namun tak sungguh seperti yang sudah-sudah. Luna bahkan tak ingat berapa banyak laki-laki yang pernah mencoba menjalin hubungan dengannya. Jika ada yang bertanya siapa mantan kekasihnya yang paling berkesan, maka Luna akan menjawab Cakra orangnya.
"Selamat ya, udah ada pacar baru lagi." Tutur Cakra, hanya dijawab senyuman oleh Luna yang entah apa artinya.
Yang benar saja, Cakra memberinya selamat? Seharusnya dia marah, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Itu Sakit
RomanceLuna adalah orang yang terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Cakra adalah orang yang terus menggali dengan sekuat tenaga untuk menemukan cinta u...