Bab 4

81 13 9
                                    

! Kalau ada typo kasih tau ya sayangku

Untuk sebagian orang, rumah adalah tempat ternyaman, tempat terbaik untuk berpulang dan beristirahat dari berisiknya dunia, dan tempat bercerita dikala gundah. Tapi tidak untuk pemuda satu ini, jika orang berkata rumah adalah tempat yang hangat, maka tidak untuknya.

Bagi Manu hidupnya sungguh menyedihkan. Orangtuanya mencukupi segala kebutuhan Manu, tapi tidak dengan kasih sayang. Bagi mereka, uang adalah segalanya. Dingin, Manu tak pernah merasakan kehangatan rumah dan keluarga, sepi adalah temannya sedari kecil, sebelum ia menemukan sepakbola. Hanya sepakbola yang dapat mengalihkan perhatian Manu dari rasa sepi dan kekosongan hati.

Kali ini Manu berjalan gontai menuju ruang tamu rumahnya, mendudukkan diri di sofa dan menghela nafas panjang. Melelahkan, setiap hari rumahnya akan kosong seperti ini, orang tuanya sibuk dengan berbagai macam urusan. Dan Manu sudah tak memperdulikan mereka.

Pemuda itu menghela nafas lelah, merebahkan tubuhnya dengan nyaman, sebelum suara pintu dibuka membuyarkan kenyamanan Manu. Pemuda itu menoleh sejenak dan sedikit terkejut melihat ibunya datang dengan senyuman termanis.

"Mom," gumam Manu yang tentu saja tak akan didengar oleh ibunya. Manu lagi-lagi menghela nafas untuk kesekian kalinya. Lihatlah, ibunya seperti tak menghiraukan Manu dan langsung bergegas menuju lantai atas.

Mungkin jika ini Manu 5 tahun yang lalu, maka ia akan menangis jika ibunya mengabaikannya, namun kali ini berbeda. Manu sudah dewasa, Manu paham akan segalanya. Air matanya telah terkuras habis dimasa kecilnya. Untuk kali ini, Manu tak akan membuang-buang tenaga hanya untuk menangisi perilaku kedua orangtuanya.

"Marc," celetuk Manu tiba-tiba. Ntah apa yang dirinya pikirkan, tanpa sebab Manu menyebut nama itu. Nama yang selama hampir satu bulan ini memenuhi kepalanya. Manu dan Marc hanya beberapa kali saling berinteraksi dan itu saat sesi latihan tim sepakbola. Dan untuk kejadian kantin tadi siang, Manu akan berterimakasih pada Joshua juniornya, karena pemuda itulah Marc bisa berbicara panjang lebar padanya.

Untuk rencananya di pesta, Manu akan bermain-main sebentar dengan Marc, memberitahu Marc siapa seorang Manuel Neuer ini. Marc miliknya, mau satu dunia menentangnya pun Manu akan bersikukuh bahwa Marc adalah miliknya.

.
.
.

Suara langkah kaki menuruni anak tangga membuat atensi Manu teralihkan, tak perlu ditanya siapa, tentu saja ibunya. "Sayang," ucap ibu Manu pelan.

Manu tahu orang tuanya masih menyayanginya, selalu. Tapi apa boleh buat, Manu terlanjur sepi, dan sakit. Orangtuanya mana tahu segala penderitaan yang anaknya alami, mereka hanya tahu bekerja dan bekerja.

"Hm." Manu berdeham dengan enggan, dan tetap pada posisinya, berbaring di sofa dengan mata terpejam.

Ibu Manu menghela nafas, tersenyum kecut melihat sikap putranya. Ini hal yang biasa bagi ibu Manu, sudah tak ada lagi Manuel Neuer yang akan sangat antusias menyambut orangtuanya, dan tak adalagi Manuel Neuer yang menatap penuh binar pada orangtuanya.

Sudah berkali-kali ibu Manu menjelaskan dan meminta maaf pada Manu, namun nasi sudah menjadi bubur, hati Manu terlampau sakit, jiwanya terlampau kosong. Manu remaja tak lagi tahu cara mengekspresikan sebuah perasaan.

"Jika ingin menjelaskan tentang kesibukanmu, maka pergilah, aku sudah muak." Manu segera bangkit dan pergi acuh tak acuh.

"El sayang. Asal kamu tahu, ibu akan selalu dan selamanya menyayangimu," teriak ibunya berharap sang putra mendengarkan. Manu berhenti sejenak di anak tangga, dan menatap nyalang pada ibunya di lantai bawah.

"Sudah kukatakan, berhenti memanggilku El. Tak ada lagi El putramu nyonya Neuer," hardik Manu. Pemuda itu sangat membenci panggilan El. Sejak sekolah dasar Manu salah satu siswa aktif dan ceria, selalu menunjukkan hasil karyanya pada sang ibu dan ayahnya, namun semuanya nihil. Manu tak mendapatkan respon yang baik.

Manuel kecil sakit, dan hanya bisa menangis sendirian dalam kamar gelapnya. El, panggilan itu, orangtua Manu memberi nama panggilan itu padanya. Dulu Manu suka, tapi sekarang panggilan itu penuh luka bagi Manu.

Pintu kamar yang tertutup dengan kasar terdengar hingga bawah, lagi dan lagi, ibu Manu menghela nafas.

.
.
.

"Akh sialan!" Manu berteriak keras, merebahkan diri di ranjang besar miliknya, rambutnya ia jambak berharap semua rasa sakitnya akan usai begitu saja.

Sumber kebahagiaan Manu hanya bola, dan Marc. Maka dari itu mulai sekarang Manu akan bergerak cepat untuk memiliki Marc, seutuhnya. Dan mungkin rasa suka Manu pada Marc akan menimbulkan sebuah jurang masalah, ntah itu bagi Marc ataupun bagi Manu.

tbc~~~
anu itu, gak jelas hehehe. maaf ya kalo kurang ngefeel, aku gak sejago itu buat angst, padahal idupku juga angst wkwkwk

I'm Sorry, Marc. [Manuel Neuer x Ter Stegen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang