Bab 5

76 12 4
                                    

! Kalau ada typo kasih tau ya, love.

Dering ponsel dipagi hari sedikit mengganggu pemuda yang baru saja tertidur 2 jam yang lalu. Dengan enggan ia meraba-raba laci samping, dan mengambil benda pipih persegi panjang itu.

Oh astaga, ternyata alarm miliknya yang berbunyi, lagi-lagi dengan enggan pemuda itu duduk bersandar disandarkan ranjang besar miliknya, mengucek matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

Manu tak tidur semalaman sejak perdebatan singkat dengan sang ibu, hal ini sudah biasa bagi Manu, pemuda itu akan susah tertidur usai bertemu dan berdebat dengan orangtuanya. Hatinya sakit, tapi apa pedulinya orangtuanya, dan sekarang mungkin saja ibunya sudah tak ada di rumah.

Tanpa pikir panjang Manu berjalan keluar kamar menuju lantai bawah guna untuk meredakan tenggorokannya. Dan tanpa Manu sadari pun, kedua orangtuanya sedang berada di rumah, tapi tak seperti bayangan kalian, orangtua Manu hanya sibuk dengan urusannya masing-masing.

Ayahnya yang sibuk menyesap kopi seraya duduk di counter dengan ponsel digenggamnya, dan sang ibu yang duduk manis di sofa dengan laptop di depannya, tak usah Manu menerka-nerka sudah pasti keduanya sedang sibuk dengan urusan pekerjaan.

Saat pemuda itu dengan sungguh sampai lantai bawah, suara berat ayahnya menginterupsi Manu. "Belajar dengan baik, jangan sampai mempermalukan keluarga, mengerti El?" desahan berat keluar dari mulut Manu.

Tak ada lagikah kalimat yang baik untuk dirinya? Tak ada tutur kata yang indah untuk dirinya? Apa ayah Manu tak sadar telah menyakiti hati buah hati satu-satunya itu. Hal yang biasa memang bagi Manu, tapi rasa sakitnya bukan hal yang biasa. Manu masih merasa sakit ketika ayahnya berkata dengan datar pada Manu, tak ada nada kasih sayang yang terselip dikalimat kalimat itu.

"Apa pedulimu tentang aku?" ucap Manu datar dan kembali lagi ke kamar usai menengguk segelas air putih.

"Manuel. Peter. Neuer." tekan ayahnya disetiap nama Manu. Pemuda itu segera berhenti dan menatap ayahnya yang tengah marah pada Manu. "Kau tahu nak, keluarga ini keluarga terpandang. Dan jangan pernah kau hancurkan dengan ego mu itu!" hardiknya pada Manu.

Manu mengepalkan kedua tangannya, ayahnya ini, bahkan ini belum ada jam 7 pagi dan sang ayah sudah mengoceh panjang lebar, menyebalkan. Manu menarik nafas panjang, dan membuka mulutnya. "Apa kau tahu? Siapa orang yang bertanggungjawab atas diriku yang saat ini?" tanya Manu dengan nada menyindir.

Ibunya yang tadi seperti tak menghiraukan pertengkaran keduanya, kini telah mengalihkan atensinya pada Manu sang putra. Sang ayah tetap diam dengan sorot mata marah pada Manu.

"Lihat? Kau hanya diam tak bisa menjawab kan!" Sentak Manu, nafasnya kini memburu, jari-jarinya memerah menahan amarah. "Kau! Kau dan wanita di sampingmu itu penyebab aku seperti sekarang, apa kalian paham!" Manu berteriak keras dari anak tangga, tangannya terulur menunjuk kearah ayahnya. "Kalian, kalian tak pernah ada untuk aku, untuk anak yang kalian panggil El."

Manu menutup matanya guna meredam emosi, namun semua itu nihil, Manu tak pernah bisa menahannya ketika dihadapkan dengan kedua orangtuanya. "Keparat! Kalian berdua,sialan!" Manu mengakhiri amarahnya dan kembali ke kamar dengan suasana hati yang buruk.

.
.
.

Manu keluar dari mobil Audi A4 miliknya, dan melihat sekeliling sekolah, mencari entitas temannya yang mengatakan akan menunggu Manu di tempat parkir tapi sepertinya bisa Manu duga pemuda itu terlambat.

Baiklah, lebih baik Manu tinggalkan saja sahabat karibnya itu, dan menuju kantin untuk mengganjal perutnya yang tak sempat ia isi di rumah.

Manu berjalan dengan wajah muram, ya walaupun sebenarnya hal yang biasa, tapi kali ini wajah muram Manu menyiratkan banyak hal, beberapa orang bisa merasakan perbedaannya. Hal ini pernah terjadi saat tim sepakbola sekolah kalah di turnamen antar sekolah, dan ekspresi inilah yang Manu tunjukkan.

Disisi lain, Marc yang melihat ada perbedaan di wajah kapten timnya itu segera menghampiri Manu yang hendak masuk ke kantin. "Hei! Are you okay?" tanya Marc pelan, kepalanya ia miringkan kearah Manu. Ingat, Marc masih sedikit takut pada kaptennya ini. Jadi Marc bertanya dengan pelan, takut Manu tak nyaman.

Manu sedikit terkejut dan tersenyum kecil saat mengetahui siapa yang mengejutkannya. "Oh sudah tidak sungkan lagi padaku, Marc?" goda Manu, masih dengan senyuman kecilnya, yang tentu saja Marc tak akan mengetahuinya.

Marc sedikit gelagapan saat ditatap Manu, tanpa sadar ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. "Ah, anu. Maaf Manu." Marc sedikit terbata-bata. Sialan sekali Manu ini, Marc sudah dengan senang hati berbicara dengannya tapi Manu malah seperti ini padanya. Marc menggerutu sendiri di dalam hati, hei Marc tak seberani itu untuk menentang Manu.

Yang lebih tinggi merangkul pundak Marc. "Bercanda Marc. Ayo ikut aku membeli makanan ringan." Manu menarik Marc dengan sedikit paksaan menuju kantin.

"Manu. Kamu sungguh tidak apa-apa?" Marc mencoba mencairkan suasana. Manu yang tengah meneguk cola sedikit mengangkat alisnya.

"Hanya masalah kecil Marc, tak perlu khawatir," jelas Manu saat Manu melihat raut penasaran Marc.  Cantik, Marc selalu cantik di mata Manu.

Marc mengangguk tanda paham, sedikit ragu untuk berbicara. "Manu," cicit Marc pelan. Menunggu Manu menghabiskan roti terakhirnya, Marc sedikit waspada melihat eskpresi dan tatapan tajam Manu. "Bicaralah Marc. Aku ini kaptenmu, jangan merasa ragu seperti itu," jawab Manu saat melihat Marc seperti ingin berkata sesuatu.

"Jika ada sesuatu yang mengganjal, bisa kamu ceritakan padaku, jangan dipendam sendiri, itu menyakitkan." Marc sesegera mungkin menghadap arah lain asal tidak melihat wajah Manu. Marc malu, sungguh.

"Terima kasih Marc. Tapi sungguh, ini hanya hal sepele," ujarnya. "Nanti ada latihan, jangan lupa datang kiper hebat," lanjut Manu dengan sedikit menggoda Marc.

Marc yang mendengarnya memicingkan matanya dan memberikan jari tengah pada Manu. "Kamu!" Marc merengut saat melihat Manu tertawa lepas. Eh tunggu, apa Manu tak marah dengan sikapnya? Dan justru tertawa? Oh God, Marc baru pertama kali melihat Manu bisa tertawa lepas seperti ini, dan itu karena dirinya.

"Aku pergi dulu. Terima kasih atas pujianmu tadi." Marc beranjak pergi dari kantin. Tidak, Marc tak marah hanya saja kelasnya sebentar lagi akan dimulai. "Dan aku akan menggeser posisimu Manu," akhir Marc seraya tersenyum lebar. Biasanya Manu akan marah jika ada orang yang dengan lancang menantangnya, dan ingin merebut posisinya, tapi ntahlah untuk Marc ini, Manu tak bisa marah dan hanya tersenyum.

Dan karena percakapan keduanya itu Manu jadi semakin ingin sesegera mungkin memiliki Marc seutuhnya, hanya untuk dirinya. Senyuman lebar itu, mata biru indah itu, semua hal indah pada diri Marc milik Manu, itu hal mutlak.

tbc~~
eh ha'ah lah. anu itu, gak nyambung maaf ya hehehehe

I'm Sorry, Marc. [Manuel Neuer x Ter Stegen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang