10

93 12 2
                                    

#Tentang Semuanya

Mbok Sarti memperhatikan gerak-gerik gadis yang sudah ia anggap anak sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jonggrang tidak pernah absen untuk pergi ke kuil ini, berdo'a untuk mendiang ibunya. Selama itu, Mbok Sarti lah yang mengasuh Roro Jonggrang, menggantikan tugas Permaisuri Nawang Ayu.

Di sebelahnya, ada kedua puterinya yang bernama Marni dan Mira. Mereka ditugaskan untuk menemani Tuan Puteri yang cantik jelita itu. Usia mereka beberapa tahun berada di atas Jonggrang. Tapi bisa akrab selayaknya teman. Mbok Sarti sering kali mengingatkan kedua puterinya agar tidak melupakan kedudukan Roro Jonggrang. Bukannya mempermasalahkan jika ketiganya berteman. Mbok Sarti hanya tidak ingin hubungan antar mereka yang sebenarnya hilang. Anak pelayan dengan anak ratu tidak akan bisa berteman. Yang ada malah Marni dan Mira yang akan mendapat cacian karena terlihat seperti ingin mengubah nasib.

Marni sebagai anak tertua Mbok Sarti, mendekati tempat di mana patung Sang Hyang Tunggal yang di depannya ada Roro Jonggrang berdo'a. Marni menyalakan korek kayu dan membakar dupa yang baru. Setelah itu, dia mundur dan kembali ke tempatnya semula, duduk antara ibu dan adiknya. Dia menoleh ke belakang, melihat seorang pemuda yang dulu masih remaja hingga terlihat kekar seperti sekarang. Tiap kali menemani Gusti Ayu-nya, Marni sering melihat pemuda itu melewati kuil sambil menggotong kayu perolehannya. Dia tidak tahu kalau ada manusia yang masih tinggal di sekitar perbukitan seperti ini.

Jonggrang masih setia menyatukan tangan dan memejamkan mata. Bulu mata halus yang lentik menambah kesan cantik pada wajahnya. Bibirnya komat-kamit, tak lelah mengeluarkan serangkaian do'a untuk mendiang ibu, umur panjang sang ayah, serta kesejahteraan dan kedamaian untuk rakyatnya. Rambut panjang melebihi pinggang, ia biarkan terurai tak memakai hiasan. Dadanya ditutupi kemben putih, dipadukan dengan jarik biru tua yang warnanya hampir mirip dengan selendang dan kain di pinggangnya.

Sebelum ke kuil, biasanya Jonggrang melakukan ritual mandinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum ke kuil, biasanya Jonggrang melakukan ritual mandinya. Mandi yang berbeda dibanding mandi biasa. Lalu dia meminta para emban untuk menyebarkan wewangian di bagian rambut hitamnya yang halus. Menambahkan sedikit polesan pada bibir agar tetap lembab. Dan tidak memakan perhiasan apapun di tubuhnya. Jika boleh, dia sebenarnya ingin berjalan kaki menuju kuil ini. Namun ayahnya melarang, dia tidak ingin membuat Jonggrang kelelahan. Cukup Prabu Baka memberikan izin untuk pergi ke kuil terpencil seperti itu. Jadi Roro Jonggrang dibawa menggunakan tandu oleh para prajurit, dan ditemani beberapa wanita ke sana.

°°°

"Bandung."

"Ya, guru?"

Lindu Peringga Trianggala mendekati muridnya itu yang baru saja kembali mencari kayu. "Bela dirimu sudah mantap hingga aku hanya perlu mengajarkan ilmu kanuragan padamu. Semuanya sudah kuajarkan. Walaupun selama ini aku selalu bersikap keras terhadapmu, tapi aku bangga kaulah muridku. Aku tidak sabar menantikan kejayaan Pengging di bawah kekuasaanmu, Bandung; putera Damar Maya. Ingatlah pesan-pesanku padamu. Jangan kecewakan aku, Nak."

Bandung menatap serius pada gurunya yang menepuk pundaknya. "Aku berjanji, guru."

Dan aku juga berjanji akan menggunakan ilmu ini untuk kebaikan manusia di bumi," lanjutnya. Bandung menekuk salah satu lutut dan menyatukan kedua tangan di depan Lindu Peringga Trianggala. Pria berambut putih itu meletakkan tangannya di atas kepala muridnya seakan memberikan restu.

*koo-koo!

*koo-koo!

Mendengar suara merpati yang dikenalnya, Bandung mendongak; memandang langit. Dia mengulurkan lengan kirinya hingga Meratih bisa bertengger di sana. Lalu membuka ikatan pada kaki burung itu dengan tangan kiri. Lindu Peringga Trianggala hanya melihat apa yang dilakukan Bandung. Dia sudah tahu kebiasaan Prabu Damar Maya yang sering mengirim surat pada puteranya.

Meratih bergerak untuk bertengger di pundak Bandung, seperti menunggu sesuatu. Mungkin ayahnya menginginkan balasan darinya. Karena biasanya Bandung hanya membaca surat dari ayahnya tanpa mengirimkan surat balasan.

Damar Maya be like: "Biadab!" 😠👊

Lindu Peringga Trianggala berkata setelah Bandung membaca surat, "Prabu Damar Maya pasti menunggumu."

Bandung kembali menatap gurunya.

"Dia menitipkanmu padaku selama 7 tahun. Sekarang sudah waktunya kau kembali, Bandung. Katakan pada ayahmu bahwa besok kau akan kembali."

"Baik, guru."

Bandung menulis pada kertas baru di dalam gubuk. Dia mengabarkan bahwa dirinya akan kembali besok dan ayahnya tidak perlu membuat perayaan untuknya. Kalimat yang singkat. Bandung mengikatkan surat itu pada kaki Meratih menggunakan tali yang sebelumnya. Dia mengelus bulu halus burung itu sebelum membiarkannya terbang kembali.

°°°

"Benar, Kang. Gusti Pangeran akan segera kembali ke Pengging."

Senopati Patagama berbincang dengan kakangnya; Patih Geni (bacanya bukan lele, tapi sepet) di arena pertarungan. Mengawasi para prajurit Pengging yang sedang berlatih sudah menjadi tugas seorang senopati. Juga memimpin perang di bawah perintah raja dan patihnya.

Tujuh setengah tahun lalu, Patih Geni kembali membujuk Lindu Peringga Trianggala atas perintah Prabu Damar Maya, agar bersedia menjadikan Bandung sebagai murid. Tak terduga, Lindu Peringga Trianggala mengajukan syarat untuk menikahi putrinya. Patih Geni menolak syaratnya mentah-mentah.

Namun, maha guru memberinya tawaran untuk bertemu puterinya dulu. Dan, ya, kecantikan adalah segalanya. Lindu Peringga Trianggala tahu, seorang pria seperti Patih Geni, pasti akan terpesona oleh wajah puterinya; Kembang. Setelah Patih Geni berkata setuju untuk menikahi puterinya, si pria paruh baya mengajukan syarat kedua. Yaitu, Patih Geni harus tinggal selama 2 tahun bersama Kembang di rumah kecilnya. Patih Geni menjadi ragu, dia membicarakan hal ini dengan sang raja.

Memikirkannya matang-matang, Prabu Damar Maya akhirnya mengangguk setuju, memutuskan bahwa adiknya; Patagama yang akan mengurus pemerintahan untuk sementara. Mengemban dua tugas sekaligus, membuat Senopati Patagama kewalahan. Dia bersumpah akan menendang bokong kakangnya jika sudah pulang. Karena waktu itu, Patih Geni menolak memberikan penjelasan alasannya pergi. Patagama sendiri tidak berani bertanya pada Damar Maya, tugasnya hanya melaksanakan. Dia baru mengetahui semuanya setelah Patih Geni pulang dengan kuda hitamnya, dua tahun kemudian. Lalu bagaimana dengan isterinya? Sang ayah tidak mengizinkan puterinya tinggal di lautan kemewahan kerajaan, keputusannya mutlak. Sesekali, Patih Geni berkunjung ke rumah kecil; tempat istrinya tinggal.

°°°

"Berhati-hatilah, Bandung. Tolong sampaikan salamku pada suamiku," ucap seorang wanita yang dikenal sebagai puteri Lindu Peringga Trianggala.

Bandung menganggukkan kepalanya. Melangkahkan kaki setelah berpamitan dengan sang guru. Dia membawa bekalan makanan yang disiapkan Kembang untuk perjalanan. Berangkat pagi-pagi sekali dari tempat itu menuju asalnya. Dia sudah memotong pendek rambutnya yang panjang melewati bahu. Membuat ketampanannya bertambah, mampu membuat gadis atau wanita berteriak gila.

Tapi tidak ada perempuan di sekitar tempat itu. 😇

Yah, tentu saja selain Kembang dan...

Tuan Puteri yang dia temukan di kuil. Tapi bagaimanapun, gadis itu tidak pernah berbalik melihat wajahnya. Hanya menatap ke depan, ke tiga patung dewa utama umat Hindu. Huhh... Sekarang Bandung tidak akan melihat punggung itu lagi. Kakinya yang ditekuk di depan Hyang Widhi, membuat tubuhnya terlihat kecil dan rapuh.

Hanya untuk PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang