#Perjanjian
"Jadi, tersisa 4 kerajaan ini yang belum kita cari keberadaannya."
"Yang Mulia, prajurit dari Candalu akan saya kerahkan ke Matoraya dan Pengging."
"Baiklah. Prajuritku akan ke kerajaan lainnya."
"Jadi, Pangeran, ke mana kah kau akan menemani prajuritmu?"
"Hmm... Saya akan ikut pergi ke Pengging, Patih."
"Pasti ada alasan kenapa kau memilih ke sana."
"Ya, sebenarnya..."
°°°
Nyi Dyah tersenyum saat melihat sosok Bandung yang berdiri di hadapannya. Dia terlihat sangat siap untuk melanjutkan pendidikan di hari terakhir. Sedangkan, pria itu hanya menatapnya datar.
"Pergilah. Kembali besok atau lusa."
"Ada apa, Gusti Pangeran? Tidak biasanya kau menunda seperti ini," tanya Nyi Dyah penasaran.
Dengan tubuhnya yang besar, Bandung menutupi pandangan Nyi Dyah ke dalam kamar. Seakan menyembunyikan permata indah di sana. "Apa aku harus mengatakannya padamu? Aku tidak akan mengulanginya," katanya. Dia tidak suka jika ada yang mencoba mencampuri urusan atau mempertanyakan keputusannya.
"Ah, maafkan hamba, Pangeran-"
"Gadis itu tidak akan tinggal di rumahmu lagi." Dengan kalimat terakhir yang diucapkan, Bandung tak repot-repot menunggu reaksinya. Dia segera menutup pintu dan melangkah menuju tempat tidur.
Bandung duduk di sisi kiri, menopang berat badannya dengan bersandar ke belakang. Memandang lekat wajah damai seorang gadis yang tertidur di ranjangnya. Helaian panjangnya yang terurai berantakan di bantal, hampir menutupi sebagian wajah. Mata yang tertutup, memperjelas bulu mata lentik di sana. Setengah berharap agar mata itu terbuka, menampilkan manik mata cokelat yang berbinar karena cahaya matahari yang masuk melalui jendela.
Tanpa ragu, dia mengulurkan tangan dan menjauhkan surai lembut dari wajah Jonggrang. Ingin selalu melihat pemandangan ini tiap paginya. Bandung rasa dia bisa melakukannya sepanjang hari hingga malam sampai siang lagi dan seterusnya.
Tangannya bergerak merasakan kulit halus di bawah jemarinya. Sampai ia terhenti saat hampir mencapai benda kenyal berwarna merah muda, sangat kontras dengan kulit Jonggrang yang pucat. Menggunakan ibu jari, dia mengelus bibir bawah gadis yang ia pikir masih berada di alam mimpi. Bandung merasakan dorongan untuk berbuat sesuatu. Sesuatu yang tidak pantas dan tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Di sudut pandang lain, Jonggrang yang sebenarnya berada di kondisi sadar dan tak sadar menjadi agak gelisah. Dia mengira-ngira, apa mungkin itu adalah kecoak yang merayap di area bibirnya? Benar-benar tak berani untuk membuka mata dan melihat serangga menakutkan itu. Terutama, ketika dia masih merasa lelah. Tapi, bagaimana pun, memikirkan serangga di wajahnya, membuatnya merasa geli sekaligus jijik. Dia menangkap 'serangga' itu dan ingin langsung lempar membuangnya. Namun, 'serangga' itu rasanya memiliki beban yang sangat berat. Jonggrang membuka matanya dan melihat bahwa itu adalah... "Kau!"
*Byurr!
Jonggrang menikmati aliran air yang mengalir melewati setiap inci tubuhnya sambil menutup mata. Saat ini, dia sedang mandi di kolam pemandian yang berada di kamar tidur Bandung. Sedangkan, orang itu pergi untuk memberinya ruang privasi. Jonggrang mengingat-ngingat bagaimana dirinya tadi malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya untuk Prambanan
Historical Fiction"Hidupmu akan segera berakhir, orang Pengging." "Hidupku sudah berakhir sejak kau meninggalkanku saat 1000 candi hampir kuselesaikan." Bandung menyentuh wajah Jonggrang dengan lembut, menelusuri ciri-ciri yang selama ini dia kagumi. "Aku tidak menya...